Saat mengikuti Ngulik Bareng (Kenapa Kita Banyak Mau?) di hari Sabtu minggu lalu, ada pertanyaan yang terngiang di kepala saya. Mayoritas peserta diskusi merasa sudah mengetahui apa yang mereka inginkan dan kesulitan yang dihadapi adalah bagaimana menyikapinya, seperti bagaimana untuk memilih, memprioritaskan keinginan yang mana terlebih dahulu. Tetapi, ada juga yang mengalami sebaliknya. Tidak tahu apa yang sebenarnya diingini, karena selama ini lebih sering manut, mematuhi atau iya-iya saja terhadap permintaan dan keinginan orang lain. Lalu, bagaimana cara untuk betul-betul tahu apa yang diinginkan diri sendiri? Tulisan ini berusaha melihat kembali apa yang pernah dan telah saya lakukan selama ini untuk mengetahui apa yang saya inginkan.
Muse & Visualization
Dalam acara Ngulik Bareng, dalam buku Wanting karya Luke Burgis yang dibahas Alfons, mengemukakan teori Mimetic Desires yang dicetuskan Rene Girard. Secara umum teori ini menyatakan bahwa keinginan seseorang itu dipengaruhi model atau orang lain, baik yang berjarak (selebriti, tokoh penting) maupun yang berada di sekitar kita. Saya menyetujui hal ini dan juga mengamini bahwa dalam hidup saya sendiri, keinginan-keinginan yang saya miliki terpengaruh oleh orang lain. Dari perspektif religi misalnya, nabi Muhammad dan Khadijah menjadi teladan yang saya tiru secara keseluruhan lalu kemudian berpengaruh pada hal yang saya ingini (ingin menjadi dermawan, pemaaf, rendah hati, dst). Untuk model yang lain, saya juga memiliki muse, sosok-sosok yang menginspirasi di bidang-bidang tertentu. Misal saja Diana Rikasari yang saya kagumi sisi kreativitas & kesukaannya untuk terus belajar, Michelle Elman yang saya sukai cara berkomunikasi & pemahamannya atas boundaries.
Dari muse yang saya pilih, saya kemudian memvisualisasikan, membayangkan jika saya dapat mempraktekkan kekuatan mereka dalam versi hidup saya. Misal saja saya pernah membayangkan jika saya memiliki kelancaran & skill komunikasi seperti Michelle Elman, maka bagaimana saya menyampaikan topik yang tabu dengan lugas di podcast saya sendiri. Dari berbagai visualisasi ini, saya berusaha merasakan bayangan yang mana yang paling saya sukai. Kemudian dari situ diurai lebih lanjut, apa langkah kecil yang bisa saya lakukan untuk mewujudkan hal tersebut. Latihan visualisasi ini membantu saya tidak hanya mengetahui mana hal yang paling saya inginkan, tetapi juga untuk menentukan realisasi yang paling mungkin dalam keadaan saya yang sekarang.
Patah Hati & Aksi
Meski terdengar kontradiktif, berangkat dari apa yang membuat kita patah hati dan merasa sakit karenanya, dapat menjadi titik awal dan niat yang tulus untuk menginginkan dan kemudian melakukan sesuatu. Hal-hal ini memang bersifat personal dan pribadi, tetapi apa yang kita pilih lakukan selanjutnya belum tentu hanya memiliki impact pada diri sendiri. Contohnya tentang bagaimana awal mula membuat podcast VIP Talks bersama dengan mbak Iphip, saya ungkapkan secara jujur bahwa hal ini diawali bagaimana saya sangat sedih setelah dicurhati oleh teman yang pernikahannya harus kandas dikarenakan banyak topik & pertanyaan sulit yang tidak dibahas sejak sebelum menikah. Kesedihan ini kemudian membuat saya bertanya pada diri sendiri, apa yang bisa saya lakukan? Dari situlah podcast VIP Talks tercetus dengan harapan bahwa paling tidak, satu orang saja mendapat manfaat dari apa yang saya dan mbak Iphip bicarakan, dapat menambah perspektif dan lebih bijak dalam memutuskan pilihan dalam pernikahan, perempuan dan relasi yang ada di sekitarnya maka tujuan saya membuat podcast sudah tercapai.
Ke-patah hati-an yang lain, baru-baru ini juga terjadi untuk saya sendiri dan setelahnya membuahkan keinginan & juga komitmen. Saya mengalami ujian hidup yang membolak-balikkan kewarasan baik secara fisik dan mental dalam 3 bulan terakhir. Fluktuasi emosinya bahkan lebih besar dari momen kehilangan Bapak saya 6 tahun lalu. Yang berbeda adalah bekal yang saya miliki. Ketika ujian ini datang, saya memetik buah dari semua buku yang pernah saya baca, pelatihan dan sertifikasi mental health yang sudah saya jalani, artikel dan topik-topik yang telah saya pelajari untuk menyusun podcast, kesemuanya membantu saya untuk bangkit & melewatinya. Melihat kembali yang saya alami dalam 3 bulan terakhir, saya bersyukur karena memiliki bekal-bekal tersebut dan di saat yang sama ingin melakukan sesuatu untuk orang lain yang sedang mengalami patah hati serupa agar tidak terpuruk dan hancur. Seperti gayung bersambut, saat keinginan ini terbersit di kepala, saat itu pula saya melihat open recruitment volunteer di @bbbbookclub. Dengan nilai yang sejalan dengan keinginan saya, yaitu membuat ibu-ibu pada khususnya dan perempuan pada umumnya untuk lebih berdaya lewat kegiatan membaca buku dan critical thinking, saya pun bergabung menjadi volunteer. Jika kita mampu mengetahui apa yang membuat kita bersedih lalu mentranslasikannya menjadi aksi yang bermanfaat, paling tidak untuk diri kita sendiri, maka keinginan itu pun dapat menjadi berwujud (tangible) & bukan sekadar angan.
Memberi waktu & refleksi
Dengan membaca 2 bagian di atas, apakah berarti saya tidak pernah bingung mengetahui apa yang sebenarnya saya ingini? Tidak juga. Saya menyadari ada kecenderungan seseorang untuk tahu segala sesuatunya secepat mungkin, instan, termasuk dalam mengetahui apa yang saya ingini. Padahal terkadang proses yang perlu dilalui itu butuh waktu yang tidak sedikit, tenaga dan pikiran juga perlu dialokasikan dengan sadar. Karena hal ini pula, di tahun 2020 saya mengambil gap year untuk memberi diri saya sendiri waktu, keleluasaan dalam mengenal diri sendiri dan mengetahui apa yang saya ingini untuk ditempuh ke depannya.
Selama menjalani gap year, hal yang jauh lebih sering saya lakukan dibanding waktu-waktu sebelumnya adalah refleksi. Dari sini perlahan saya mencoba mengenali diri sendiri lebih dalam, memahami permasalahan yang saya hadapi lebih jauh, kemudian mengurai apa yang masih kusut di kepala saya secara perlahan. Saya paham bahwa saya berada di tempat yang beruntung karena dapat memutuskan mengambil gap year (bukan pencari nafkah utama, masih dapat bekerja paruh waktu, kebutuhan dasar dalam hidup sudah terpenuhi). Tetapi mengalokasikan waktu untuk diri sendiri tidak harus dalam bentuk gap year. Secara teratur tiap minggu atau tiap bulan misalnya, masih sangat mungkin untuk dilakukan tanpa perlu meninggalkan komitmen/kewajiban besar seperti pekerjaan.
Untuk menutup tulisan ini, saya sadar bahwa apa yang saya paparkan sangat bersifat subjektif. Bukan sebuah keharusan untuk menyetujui atau mempraktekkan apa yang saya sebutkan di atas. Tujuannya hanya memberi perspektif dan berbagi pengalaman yang mungkin dapat memantik ide untuk kalian lakukan sendiri. Untuk kamu yang sedang membaca, bagaimana kamu memahami keinginanmu?
Terima kasih Vin.
Semakin percaya setidaknya bertanya ke diri sendiri dahulu merupakan langkah yg baik.
Sepekan Perlahan juga jadi cara untuk terus paham diri, termasuk keinginan yg mungkin susah habis juga. Hehehe.