Bahasa: Aksen & Kelas Sosial
Beberapa waktu lalu saya menyelesaikan buku People Like Us oleh Hashi Mohamed yang membahas tentang social mobility atau kemampuan seseorang untuk dapat naik atau turun secara kelas sosial. Bahasa secara spesifik dituliskan dalam satu bab tersendiri karena dianggap sebagai faktor penting dalam proses yang ia lalui sampai bisa ‘naik kelas sosial’. Ketika memenangkan lomba debat di tingkat sekolah menengah, kemudian mendapat kesempatan untuk makan malam di Oxford, ia menemui betapa orang terheran-heran bahwa ia bukan berasal dari Eton atau sekolah menengah elite privat lainnya. “You doesn’t sound like that” adalah respon yang ia sering dapatkan ketika menjelaskan bahwa ia adalah imigran pencari asylum dari Somalia, tinggal di daerah kumuh di London. Bahasa yang ia gunakan dianggap tidak mungkin disuarakan & digunakan kelas bawah dan miskin sepertinya.
Hashi juga menyebutkan contoh stigma yang terbangun atas dialek tertentu di Inggris. Queen’s English yang aristokrat atau Posh misalnya dianggap sebagai standar yang harus digunakan (RP atau Received Pronunciation), menunjukkan kepintaran & rasa modern. Kalau mau jujur, gambaran ini juga terpampang jelas di produk media yang kita konsumsi (tanpa sadar) selama ini. Untuk lebih mudah memahami, potongan video ini berasal dari serial Game of Thrones.
Tokoh Davos Seaworth yang membagikan ransum makanan menggunakan aksen Geordie, aksen spesifik dari pantai timur Newcastle-Upon-Tyne. Meski tidak ada penjelasan resmi dari HBO atau produser, banyak yang berasumsi aksen ini dipilih karena profesinya sebagai smuggler atau penyelundup. Aksen Geordie, yang memiliki & masih menggunakan banyak kata yang berakar dari Viking, identik dengan suara yang kasar & punya stigma sebagai jiwa pemberontak. Tokoh lain dalam cuplikan ini menggunakan aksen Yorkshire, daerah utara Inggris, sama dengan letak geografis asal tokoh di Game of Thrones itu sendiri, yang ditunjukkan oleh klan keluarga Starks, para bastards Snow atau the Crows yang menghuni The Wall hingga the Wildlings. Karakter yang dibangun pun tak jauh dengan stereotype pemilik aksen Yorkshire (di dunia nyata): ramah tapi keras kepala, tidak pretensius, loyal, bicara terus terang.
Permasalahan mulai muncul jika stigma ini diberi porsi utama & tidak mempertimbangkan faktor-faktor lainnya. Contohnya saja dalam proses merekrut pekerja. Artikel ini menunjukkan bahwa aksen berpengaruh erat dengan kelas sosial & bias yang masih ada terkait proses penerimaan karyawan. Hal ini dapat menjadi lingkaran setan yang tak berkesudahan, karena jika kelas miskin mendapatkan cap tertentu atas aksen mereka & tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang layak, maka akan semakin sulit mencukupi diri mereka sendiri.
Masalah yang juga umum adalah kebimbangan seseorang yang berada di persimpangan untuk ‘naik kelas sosial’. Bahasa terikat erat dengan identitas yang kita pelajari sejak kecil. Tidak sedikit rasa bersalah atau merasa ‘berdosa’ ketika menggunakan dialek & logat yang tidak sesuai dengan tempat asal kelahiran atau kelas sosial kamu berasal. Contoh mudah adalah para perantau yang ketika tinggal di Jakarta merasa gamang untuk mengubah aksen menjadi ‘elo-gue’ agar dapat membaur dalam pergaulan. Beberapa orang merasa hal ini wajar, beberapa mencibir. Hashi Mohamed menyebut hal ini sebagai accent pragmatist.
Ketika berefleksi 10-15 tahun ke belakang, bahasa dan aksen memegang peranan penting dalam perjalanan karir saya. Ada sebuah kutipan dari film lawas Casablanca yang dibintangi Humphrey Bogart, yang membuat saya tercenung dan kemudian memutuskan ingin belajar bahasa Perancis. "If you want to lose your accent, learn French". Dengan kemampuan ini pula saya mendapatkan pekerjaan pertama saya di kantor urusan internasional di Universitas Airlangga saat masih duduk di bangku kuliah. Karena lancar berbahasa Jawa kromo atau halus, saya bisa mendapat pekerjaan di Project Tobong yang didanai British Council.
Dalam memandang sebagai bahasa sebagai identitas, harus diakui, saya pernah berada di pihak yang mengkritik teman ketika ‘elo-gue’. Tapi saat ini saya sendiri bergeser & lebih kepada accent pragmatist dan berusaha untuk melihat beyond the accent itself. Hal ini membuat saya lebih sadar & berkewajiban mempertanyakan lebih jauh: apakah ketika saya menggunakan aksen tertentu akan mendapatkan privilese tertentu? Jika iya, maka apa tanggung jawab saya atas privilese tersebut?
Epilog
Meski bias, aksen, logat ini juga kita temui di Indonesia (contohnya, bagaimana elo-gue menjadi standar bahasa di media massa seperti saluran televisi nasional), sebenarnya saya melihat kita sudah punya solusi yang belum tentu dimiliki oleh semua negara: bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kolega kerja yang berasal dari Ghana misalnya terkagum-kagum pada fakta bahwa Indonesia memiliki bahasa persatuan yang BUKAN bahasa penjajah Indonesia di masa lalu (bahasa Belanda). Hal ini juga diamini oleh pengalaman kawan yang bekerja & bermukim di Norwegia, karena ada 2 bahasa besar dan tidak ada bahasa pemersatu yang dapat dimengerti semua orang di semua daerah. Pendeklarasian bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu yang disetujui oleh perwakilan berbagai daerah di Sumpah Pemuda adalah langkah & aset besar tak ternilai.
Fakta ini baru saya dapatkan ketika saya berada jauh dari Indonesia. Terkadang kita butuh lensa atau perspektif yang baru dan segar untuk dapat menghargai hal yang kita miliki. Dan tentu, memanfaatkannya untuk menghapus ketimpangan & jarak kelas sosial yang masih menganga lebar.