Being resilient in the adulthood
Tahan banting saat dewasa itu ternyata berbeda..
Kemarin, saya mulai mendatangi tempat yang memungkinkan untuk menitipkan bayi saat saya dan suami harus bekerja secara luring. Berdasarkan dari info di media sosial dan juga komunikasi yang saya mulai, tempat ini sangat cocok secara umur dan kriteria untuk anak saya. Alangkah mengagetkan, saat datang langsung dan mencoba layanan lain yang ditawarkan, tempat tersebut pengap, berdebu, lengang, seolah 'mati segan, hidup tak mau'. Jauh dari imaji atas daycare yang ramai dan ceria dengan celoteh anak atau tangis bayi. Tentu seketika saya coret tempat ini dari daftar, tetapi perasaan kecewa itu sempat terngiang-ngiang dalam diri saya seharian. Bisa jadi karena ekspektasi yang terlanjur terpasang tinggi. Atau karena pertanyaan 'what if' yang beruntun tentang tempat-tempat lain jadi lebih banyak. Hal ini membuat saya berefleksi tentang menjadi tangguh-tahan banting, atau resilient. Saya merasa bahwa tumbuh dewasa, maka definisi tangguh pun bergeser. Seperti apa maksudnya?
It's not only bounce back and carry on
... but bounce back while carrying others.
Ketika masih bersekolah dasar atau masa remaja, menjadi tangguh itu sederhana. Merasa terpukul karena nilai mata pelajaran yang buruk, maka kembali belajar dengan lebih semangat adalah bentuk ketangguhan. Atau setelah kalah mengikuti lomba tertentu, memotivasi diri karena yakin akan segera ada kesempatan lain untuk memperbaiki. Sedangkan ketika dewasa, perhitungannya menjadi lebih rumit dan lebih panjang. Ada orang lain di ekosistem terdekat kita yang wajib dipertimbangkan. Bukan hanya keluarga kecil seperti yang saya rasakan, tetapi rekan kerja atau bisnis, lingkungan sosial, dst. Pertanyaan-pertanyaan untuk memperkirakan efek dan akibat dari sebuah keputusan berderet jauh lebih banyak. Yang mana hal ini sangatlah wajar, karena semakin dewasa, biasanya kita sudah memiliki tanggung jawab sekaligus hak yang berjumlah lebih besar dan lebih luas areanya. Ditambah, kita telah mengakumulasi pengetahuan dan pengalaman dari hidup yang dijalani selama ini.
Maka bagaimana menjadi tangguh di usia dewasa ini? Sifat pertama yang disebutkan oleh Paul Jarvis dalam bukunya Company of One adalah, dengan menerima kenyataan. Memang yah, terdengar sederhana dan mudah, tapi prakteknya sering melibatkan emosi-emosi yang besar atau tidak nyaman. Selanjutnya, saya mengambil dari buku Growing Sustainable Together, adalah kemampuan critical consciousness atau memahami akar masalah dari fenomena yang sedang dihadapi. Kemudian, memelihara critical hopefulness, atau mampu mengambil waktu dan jarak dari suatu masalah dan menjalani aktivitas lain. Yang terakhir ini dapat membuat seseorang tidak terpancang melulu sampai secara berlebihan terpuruk di dalamnya.
Untuk saya pribadi, critical consciousness adalah yang paling membantu. Dalam kasus daycare, saya menuliskan kembali perasaan-perasaan yang menyelimuti, memetakan apa yang sebenarnya membuat saya merasa 'dihantui' oleh kejadian yang sebenarnya hanya sebentar, dan seterusnya. Dari sana, saya memahami bahwa akar masalahnya memiliki banyak cabang. Termasuk karena saya masih merasa asing di Tangsel, bahwa keputusan menitipkan anak ini adalah yang pertama (anak sulung full kami asuh berdua, dan hanya kondisional meninggalkan dengan sanak famili), dan betapa krusial tempat ini untuk fase hidup anak. I want the best and not ready to let go the outcomes (yet).
Toh, pada akhirnya, hasil yang saya ingini itu adalah sesuatu yang berada di luar kendali saya. Yang perlu saya lakukan adalah menyisihkan waktu, membuat appointment dengan daycare lain dalam daftar yang telah saya buat, mengunjunginya dan membuat keputusan. The actual result is none of my (present) business. We'll see!




