Setahun terakhir jumlah buku yang saya baca cukup meningkat. Jika tahun lalu di Goodreads saya mencanangkan membaca 9 buku sepanjang 2020, saya berakhir di angka 13 buah buku. Tahun ini saya memasang target 11 buku dan hingga saat ini menyelesaikan 20 judul.
Membaca buku tentu bukan perihal angka belaka. Tantangan ini lebih kepada usaha untuk tracking semata. Di awal tahun saya berefleksi banyak terhadap bagaimana relasi saya terhadap buku. Ia selalu saya anggap sebagai teman baik & setia, ia juga seperti kendaraan untuk menuju pengetahuan baru yang terletak di antah berantah, belum pernah saya jelajahi.
Alat Telepati
Delapan bulan berjalan ternyata ada beberapa hal lain yang saya temui dari interaksi yang hangat dengan buku. Salah satunya adalah sebagai penerima pesan telepati dari penulis. Terdengar aneh? Hahaha.
Stephen King mendeskripsikan menulis sebagai ‘act of telepathy’. Penulis mendeskripsikan apa yang ia ingin pembaca lihat. Maka saya sebagai pembaca, adalah penerima pesan tersebut. Yang menarik, telepati ini tidak bersifat rigid, kaku & mendikte. Akan selalu ada ruang kosong yang perlu diisi pembaca untuk membantu memaknai pesan yang dikirim penulis. Ia bisa diisi dengan fakta pendukung, irisan pengalaman hidup atau bantuan dari sumber pengetahuan lainnya. Hal ini juga yang menjadikan diskusi & pandangan dari pembaca buku menjadi menarik, saat wawasan yang satu dan lainnya saling berjalin kelindan.
Pernah dengar ungkapan “mengosongkan gelas sebelum diisi” sebelum membaca buku atau mempelajari sesuatu? Dahulu saya pernah memegang prinsip ini ketika akan membaca. Tapi faktanya sulit sekali untuk lepas dari bias & benar-benar ‘kosong’. Setelah membaca penjelasan Stephen King di atas, sekarang saya menyadari, akan selalu ada ruang pemaknaan yang berakhir di benak pembaca. Alih-alih gelas, analogi yang saya pakai sekarang adalah kacamata. Pernahkah kalian datang ke optometrist, yang memiliki kacamata & sekotak lensa untuk mengetes mata? Saya bayangkan bahwa membaca buku yang baru adalah sebuah lensa di kotak tersebut. Ia belum tentu yang paling tepat untuk pandangan kita, bisa jadi butuh bantuan lensa untuk semakin mempertajam kemampuan melihat kita atas sebuah subjek. Pengetahuan & pengalaman pribadi kita yang lalu pun adalah lensa yang lain. Dengan meletakkan pengalaman membaca seperti ini, saya lebih mudah untuk mengolah & memahami buku yang saya baca.
Bagaimana Cara Membaca itu Penting (Lebih dari Yang Saya Kira)
Di Lagi Ngulik, saya sudah pernah membahas bagaimana kita bisa mengolah pengetahuan. Hal ini mengubah banyak aspek ketika saya membaca. Mulai dari proses anotasi/pencatatan, review & pengintegrasian dengan pemahaman sebelumnya, saya ubah sedikit demi sedikit agar mencapai hasil yang maksimal. Sistem inilah yang menjadi cara baru dalam membaca & menikmati pengetahuan.
Sepuluh bulan berjalan, saya merasa ada progress dari sistem yang telah dibangun, ketika beberapa pengetahuan dari topik yang sama sekali berbeda ternyata memiliki pola yang serupa. Bisa juga ternyata memiliki relasi yang lebih dekat dari yang saya kira. Teknologi yang terlibat dalam sistem juga membantu untuk ‘menemukan’ hal baru yang lebih sesuai. Ketika menggunakan aplikasi Readwise, ada fitur Daily Review & Mastery. Daily Review muncul setiap hari, secara acak menampilkan sejumlah highlight/catatan kita dari buku yang telah dibaca. Mastery berfungsi seperti flash card, menunjukkan pertanyaan yang kita buat dan jawaban yang bisa diambil dari catatan kita. Kira-kira seperti memberi diri sendiri kuis untuk topik tertentu. Keduanya mengambil prinsip spaced repetition, saat kita mengulas lagi materi dengan jeda di antaranya, maka kita akan lebih mudah mengingat materi tersebut.
Dahulu saya cukup defensif terhadap spaced repetition, karena saya antipati pada perihal ‘hafalan’. Tetapi setelah membaca bagaimana orang-orang yang terlibat dalam perkembangan Personal Knowledge Management seperti Andy Matuschak berargumen bahwa spaced repetition dapat membantu membangun pemahaman, saya pun mencoba untuk menantang pemikiran saya sendiri. Ternyata efeknya cukup signifikan, beberapa topik ‘sulit’ dapat lebih mudah terurai dibanding sebelumnya1.
Saya rasa perjalanan ini baru awal mula. Kalau kamu, punya relasi seperti apa dengan buku?
Jika tertarik lebih jauh tentang topik ini, essay panjang dari Michael Nielsen & Gwern Branwen patut kalian baca