Beberapa hari lalu saya memasak Lasagna, menu kesukaan saya dan anak gadis. Yang berbeda, proses memasak kali ini jauh lebih panjang dibanding saat saya berada di Inggris. Hal ini bermula saat membeli bahan-bahan untuk Lasagna, saya tertegun dan terkejut membaca komposisi saus bolognese instan yang tersedia di supermarket terdekat. Banyak sekali zat dan bahan aditif yang ada di dalam saus tersebut. Di bawah ini adalah perbandingan foto dan bahan penyusun saus serupa yang saya gunakan di Inggris.


Wah, jangan bandingin gitu dong Vin. Harganya sama nggak? Jangan-jangan yang di Inggris lebih mahal. Atau bahan penyusunnya kan lebih mahal di Indonesia kayak tomat dan basil.
To be fair, sebenarnya perbandingan harganya tidak jauh. Saus yang saya tunjukkan itu 69p atau 14 ribu rupiah. Apakah harga bahan di sana lebih murah dibanding di Indonesia? Tidak juga, karena saus yang saya beli hanya tomat saja dan tidak menjanjikan ada rasa daging di dalamnya. Tetapi, yang ingin saya soroti di sini adalah banyaknya bahan aditif seperti pengawet, penyedap rasa, perasa sintetis, dsb. Saya teringat prinsip mudah yang saya baca di buku 'Work Fuel' karya Graham Alcott dan Colette Heneghan, bahwa sebaiknya bahan dalam makanan yang dikemas adalah kurang dari 5 bahan.
Tidak berhenti di saus bolognese, ketika saya membeli keju, saya baru menyadari bahwa yang umum (dan mayoritas) beredar di toko sekitar tempat tinggal saya adalah keju xx olahan. Ganti xx di sini dengan macam keju, seperti cheddar atau mozzarella. Misal cheddar olahan, maka cheddar-nya hanya berapa persen saja, bukan seluruhnya. Lagi-lagi saya jadi teringat dengan pengalaman konsumsi saya di Inggris, dimana biasanya bahan penyusun keju ya hanya susu saja. Di sana susu masa kadaluwarsa hanya sekitar 1-2 bulan dan harus ditaruh di chiller. Sedangkan di sini, ditaruh di rak biasa pun masih tahan karena ada tambahan pengawet.



Saya paham alasan yang menjadi justifikasi (misal) tentang bahan pengawet. Bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan, yang mana distribusi logistik akan sangat mahal jika tanpa diberi pengawet. Tetapi, dengan fenomena protes mandi susu para peternak sapi perah di Boyolali beberapa pekan lalu, saya juga menjadi bertanya-tanya: apakah sebenarnya kita punya resource mentah yang melimpah di tingkat lokal, tetapi tidak cukup skill-pendidikan-sistem pendukung yang membuat tidak ada produsen lokal yang bisa berjaya dan dimonopoli oleh pabrik-pabrik besar saja?
Wilayah-wilayah tertentu di Inggris dapat memiliki keju khas seperti Cheshire Blue, Red Leicester atau Somerset Brie; mengapa kita tidak bisa punya Boyolali Cheddar atau Boyolali Brie? Butuh beberapa waktu lamanya berselancar di internet untuk mendapatkan produk keju lokal tanpa banyak bahan aditif yang saya ingini, tetapi di tempat yang tak terjangkau.
Semakin saya rajin melihat ingredients di makanan kemasan, semakin saya tergagap dengan banyak hal yang menurut saya tidak perlu ada dalam makanan yang saya konsumsi. Misal saja ketika memasak pagi ini ayam goreng dengan gochujang, pasta cabai merah dengan merk lain yang tidak biasa saya gunakan. Ternyata dengan keterangan kecil tertulis bahwa ia menggunakan pemanis buatan fenilalanin yang dilarang untuk ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita. Karena saya memiliki keadaan fisik tertentu, sehingga akhirnya tidak bisa menikmati masakan ini. Yang membuat saya tercengang adalah, bahan masakan ini target pembeli-nya siapa sih? Bukannya ibu-ibu atau yang suka memasak? Besar sekali kemungkinannya untuk kemudian dinikmati bersama keluarga dengan kemungkinan umur atau kondisi yang dikecualikan tadi. Apakah tidak ada bahan pemanis lain yang lebih aman untuk semua kalangan? Yang semakin sedih, karena bahan pemanis ini ternyata juga jamak saya temukan di makanan ringan dalam kemasan yang bersegmen anak kecil.


Tulisan ini tidak sedang menawarkan solusi, hanya bercerita dan ingin melempar pertanyaan dari keresahan ibu-ibu rumah tangga dengan makanan kemasan yang ada di sekitarnya. Solusi yang biasa ditawarkan dengan mudah: udah bikin sendiri aja saus/keju/bahan yang kamu perlukan. Ya, tentu saja solusi ini benar, tetapi tidak membantu untuk orang-orang yang prioritas waktunya sempit. Jika pemerintah punya kekuatan dan peraturan yang lebih tegas, kecemasan dan kekhawatiran pada makanan yang kita konsumsi ini tidak perlu hadir. Atau, barangkali kamu punya solusi lain yang lebih bernas?