Cara Mengikhlaskan Sesuatu yang (Mungkin) ‘Tidak Cocok’ Bagi Kita
Jam sudah menunjukkan pukul 12.31 WIB tengah malam, tapi aku belum terlelap setelah tidak sengaja menggulir tanganku untuk melihat highlight IG story seseorang yang berkuliah di Harvard. IG story-nya berisikan kegiatan yang dilakukan selama ia berkuliah di Harvard. “Seru ya, sepertinya” gumamku. Tapi, kalau aku ada di posisi dia, apakah aku bisa menjalaninya? Apakah aku mampu melakukan seperti yang Ia lakukan? Bagaimana kalo aku mampu, tapi ternyata memang tidak ditakdirkan untuk menjalani semua itu? Pikiranku tertegun di pertanyaan terakhir.
Aku jadi teringat kalimat motivasi yang sering diutarakan oleh para motivator untuk selalu berusaha, bekerja lebih keras agar impian kita tercapai, salah satunya (mungkin) berkuliah di universitas bergengsi di dunia (Harvard, Stanford, MIT, Cambridge, dll.). Lalu, bagaimana jika setelah segala usaha yang kita lakukan, ternyata kita gagal? Tentu saja meremehkan segala usaha terbaik kita bukanlah hal yang bijak. Terkadang, sekuat apapun usaha yang kita berikan, tapi jika Sang Maha berkehendak lain maka memang bukan jalannya, bukan takdir kita.
Pada kenyataannya, tidak semua takdir yang kita alami akan langsung kita terima dengan ikhlas. Beberapa orang awalnya akan menolak nasib pahit ini, mereka tidak terima jika ternyata mimpi mereka tidak terwujud. Lalu bagaimana caranya agar kita bisa menerima nasib dan mengikhlaskan sesuatu yang mungkin ‘tidak cocok’ bagi kita? Ada sedikit strategi yang pernah aku lakukan dan bisa aku bagikan, siapa tahu strategi ini membantu teman-teman.
Menuliskan pikiran-pikiran mengganggu kita
Strategi pertama ini sangat sederhana dan kita bebas menggunakan peralatan apa saja untuk menulis. Bisa menggunakan pensil, pulpen, pensil warna, bahkan krayon. Caranya pun terbilang cukup mudah, hanya menuliskan pikiran-pikiran yang berseliweran di kepala tanpa perlu teknik menulis yang baku; intinya seperti coretan saja. Tujuannya yaitu untuk memindahkan pikiran kita dari kepala yang membuat kita tidak nyaman ketika memikirkan hal tersebut terus-menerus.
Menulis jurnal
Populer dengan sebutan journaling, strategi ini lebih terstruktur dari yang pertama. Walaupun begitu, kita bebas menggunakan format journaling seperti apa asalkan nyaman dan sesuai dengan tujuan kita menulis jurnal. Contohnya, menggunakan format gratitude journal, menulis minimal 3 hal yang kita syukuri pada hari ini atau bisa gunakan format Plus, Minus, Next seperti yang dilakukan oleh Anne-Laure Le Cunff; pendiri website Ness Labs. Manfaat dari menulis jurnal sudah terbukti dalam berbagai penelitian, beberapa manfaatnya yakni menulis jurnal mampu meningkatkan suasana hati dan membantu kita menjadi lebih sadar pada hal-hal positif yang terjadi di sekitar kita (Sumber: The Power of Journaling, Psychology Today).
Melihat dari perspektif yang lebih netral
Salah satu filsuf stoik, yaitu Epictetus dalam bukunya ‘Enchiridion’ menuliskan “Bukan peristiwa tertentu yang meresahkan kita, tapi penilaian kita terhadap peristiwa tersebut”; artinya, nasib pahit yang kita alami sebenarnya adalah peristiwa netral dan yang membuat kita sulit mengikhlaskan dan menerima peristiwa tersebut adalah pikiran/penilaian kita sendiri. Strategi ini sangat berkaitan dengan mindset yang kita miliki sebab kita seringkali memberikan penilaian pada suatu peristiwa tanpa mengetahui bahwa ada alasan di setiap peristiwa yang terjadi, entah itu menghindarkan kita dari hal yang buruk di masa depan atau kita akan diberikan skenario yang lebih baik dan lebih cocok bagi kita. Untuk mendalami lebih lanjut tentang strategi ketiga ini, teman-teman bisa mendengarkan salah satu episode podcast ‘StoicastID’ yang menceritakan tentang kisah Petani Tua.
Mengambil jeda sambil merefleksi pengalaman yang telah kita lalui
Apa yang dimaksud dengan mengambil jeda? Apakah dengan melakukan meditasi? Menurutku, mengambil jeda tidak selalu dengan bermeditasi. Ada kalanya kita dapat mengambil jeda dengan melakukan ketiga strategi yang telah aku jabarkan di atas. Menulis jurnal, menuliskan pikiran-pikiran berkecamuk di kepala kita, merupakan aktivitas yang membuat kita dapat menyadari tak hanya keberadaan kita saat ini, tetapi juga turut merasakan emosi-emosi yang hadir serta pengalaman apa yang terlintas dalam pikiran kita.
Selain itu, kita juga bisa melakukan strategi zoom in-zoom out terhadap proses perjalanan di kehidupan kita. Gambar dari @visualizevalue di atas aku terapkan menjadi gambar latar belakang untuk tampilan laptop. Gambar ini memiliki arti bahwa nasib pahit adalah bagian dari proses kita menjalani hidup, adakalanya dalam sehari tidak hanya satu kali kita menemui batu sandungan. Tapi, jika kita melihat dari sudut pandang yang lebih luas, ternyata grafik hidup kita terus bergerak naik; menandakan bahwa kita sedang berproses.
Tidak ada cara yang instan untuk menerima dan mengikhlaskan nasib pahit yang kita alami. Keempat strategi di atas hanyalah beberapa dari sekian banyak cara yang bisa kita lakukan untuk berproses bersama menuju tahap ikhlas dan menerima. Tidak ada yang bisa menjamin dalam waktu sekian tahun kita bisa sepenuhnya menerima dan mengikhlaskan. Barangkali proses ini butuh waktu seumur hidup. Secepat atau selambat apapun proses kita, jangan pernah lupa untuk berterima kasih kepada diri sendiri karena telah mau berusaha menjalani proses ini bersama.