Oleh Hana Maulida
Pernah terlibat dalam satu diskusi eh malah berujung debat kusir? Atau lagi baca utas (thread) di Twitter terus ada yang balas dan berujung malah menjelek-jelekan si pembuat utas?
Rasanya sering banget kita nemuin hal-hal semacam ini di keseharian saat beradu argumentasi. Dan pernah nggak nanya kenapa sih pola ini hampir selalu terjadi? Kenapa kita nggak bisa berargumentasi atau berdebat secara sehat? Fokus sama ide yang dibawa dan tidak mudah tersinggung.
Kalau kita menilik lagi kenapa orang Indonesia sulit berargumentasi secara sehat, menurut saya, sebenarnya ada beberapa hal yang melatar belakangi hal ini.
Pertama, kita kurang dibiasakan cara bertukar pikiran yang baik.
Dua belas tahun bersekolah nggak menjadikan kita mampu berdiskusi secara sehat. Ini semua karena kita kurang dibiasakan untuk itu. Di sekolah, kita hanya mendengarkan guru menjelaskan materi, mengerjakan soal, dan sesekali bertanya. Meskipun beberapa guru menugaskan kita untuk kerja kelompok, itu nggak cukup membuat kita belajar cara menyampaikan pendapat yang berlawanan dan menghadapi perbedaan pendapat.
Sayangnya, hal yang sama masih terjadi di level universitas. Universitas yang diharapkan menjadi tempat “pertarungan gagasan” untuk melatih kemampuan berpikir kritis dan analitis peserta didik serta untuk mendukung kemajuan ilmu pengetahuan. Yang ditemui di lapangan, proses bertukar pikiran antara dosen dan mahasiswa masih terasa kurang. Pada akhirnya, proses pembelajaran mayoritas berjalan searah. Dosen memberikan materi dan mahasiswa menerima.
Proses belajar-mengajar satu arah dimana guru/dosen sebagai sumber pengetahuan dan murid sebagai penerima terjadi karena sistem pendidikan di Indonesia sebagian besar masih menganut sistem LOTS (Low Order Thinking Skill) atau kemampuan berpikir tingkat rendah. Sederhananya sistem ini hanya meminta murid untuk menghafal materi pelajaran, memahaminya, dan mengaplikasikan. Fakta menyedihkannya adalah terkadang sebagian besar dari kita sendiri hanya belajar untuk mendapatkan nilai. Artinya, kita belajar hanya menghafal. Tidak cukup memahaminya dan sering kali nggak bisa mengaplikasikannya.
Di sisi lain, kemampuan berargumentasi membutuhkan kemampuan untuk berpikir kritis dan analitis yang sayangnya kemampuan ini hampir nggak pernah diasah di sekolah. Agar murid mampu berpikir kritis dan analitis, kita perlu menerapkan sistem pendidikan HOTS (High Order Thinking Skill) atau kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam sistem pendidikan.
Dalam HOTS, murid dituntut untuk mampu menganalisis (membedakan fakta dan opini), mensintesis (mengaitkan antara satu sumber fakta dengan fakta lainnya), dan mengevaluasi (menilai apakah data yang ditemukan cukup untuk menyelesaikan masalah) apa yang telah mereka pelajari. Penerapan HOTS, yang dicetuskan oleh Benjamin Bloom, menjadi penting dalam kegiatan belajar mengajar karena mengasah kemampuan murid untuk berpikir mendalam demi memecahkan masalah. Kemampuan untuk memecahkan masalah inilah yang akan sangat membantu murid untuk menghadapi dunia yang sebenarnya.
Sayangnya, pendidikan di Indonesia saat ini sedang bertransisi menuju HOTS. Pemerintah sudah mulai menerapkan sistem ini di kurikulum 2013. Namun sayangnya, sistem pembelajaran dengan metode HOTS belum sepenuhnya diterapkan. Maka dari itu, nggak heran kalau masih banyak orang Indonesia yang nggak mampu bertukar pikiran secara sehat.
Kedua, ada pandangan bahwa berbeda pendapat = menyulut konflik dan orang Indonesia enggan berkonflik.
Pernah nggak kamu nemuin orang-orang yang cenderung diam saat berdiskusi atau saat ada 2 orang yang berbeda pendapat? Dan setelah kamu cari tahu ternyata diamnya orang-orang ini lebih karena mereka nggak mau berkonflik karena perbedaan pendapat.
Atau pernah nggak kamu ketemu orang yang hanya diam saja padahal dia nggak setuju sama sekali dengan apa yang disampaikan? Usut punya usut, dia diam aja meskipun nggak setuju, ternyata itu karena dia takut terjadi perselisihan dengan lawan bicara.
Dua kejadian ini adalah segelintir contoh ilustrasi bahwa seringkali kita menganggap perbedaan pendapat itu sumber dari konflik dan kita tidak nyaman dengan konflik.
Bagi saya, hal ini mungkin berkaitan dengan budaya “harus nurut” yang ditanamkan di banyak keluarga di Indonesia. Dari kecil, kita dididik untuk nurut dengan yang lebih tua. Anak harus nurut dengan orang tua. Adik harus nurut dengan kakak. Tidak boleh melawan. Bahkan di beberapa keluarga, mempertanyakan kenapa kita harus nurut aja bisa diartikan sebagai tindakan yang melawan. Maka dari itu, kita tidak bisa belajar untuk menyampaikan pendapat berbeda dan mengartikan perbedaan pendapat sebagai akar konflik.
Ketiga, orang Indonesia beranggapan bahwa pendapatnya adalah dirinya.
Saat ada orang yang berbeda pendapat dengan kita, seringkali kita seperti merasa diserang dan merasa orang tersebut nggak suka dengan kita. Padahal mungkin saja itu hanya emosi yang muncul karena kita tidak mampu menyanggah gagasan orang tersebut. Hal ini dapat terjadi karena kita menganggap argumen kita adalah kita. Sehingga saat ada yang tidak setuju atau argumen kita bisa dipatahkan orang lain, kita merasa sakit hati dan tersinggung.
Berbeda halnya dengan orang Eropa, terutama Eropa Barat. Dari pengalaman saya berrelasi dengan mereka, saya belajar bahwa mereka bisa berdebat sengit bahkan sampai “berantem” tapi setelah keluar ruangan mereka bisa bercengkrama seperti biasa. Begitupun di universitas. Dosen dan mahasiswa bisa beradu gagasan tentang suatu hal namun ini nggak membuat dosen merasa si mahasiswa tidak sopan dan terluka egonya. Di sana dosen terbuka atas semua gagasan dan jika ia keliru dan ada mahasiswa yang mengoreksi, ia bisa menerima tanpa merasa dirinya bodoh. Dan mahasiswa yang beradu argumentasi atau mengoreksi tidak serta merta merasa lebih pintar dari dosen dan menganggap dosennya tidak kompeten.
Ini semua bisa terjadi karena mereka memisahkan antara pendapat seseorang dan identitas orang tersebut. Pendapat hanyalah pendapat. Tidak mendefinisikan diri orang yang menyampaikannya.
Melihat ketiga hal ini, saya menyimpulkan dan belajar kenapa orang Indonesia sulit bertukar pikiran dan beradu argumentasi secara sehat. Hal ini memang bukan hal yang mudah karena menuntut penalaran kritis, nggak baperan, dan pembiasaan. Selama kita nggak membiasakan diri dengan perbedaan pendapat dan melihat hal itu sebagai sesuatu yang lumrah, kita akan tetap kesulitan untuk berargumentasi. Mungkin sebagian kita berpikir, ini hal yang nggak terlalu berarti. Tapi sebenarnya, kemampuan berargumentasi dan adanya kesempatan berargumentasi dengan sehat akan membantu kita untuk lebih kritis, tidak mudah terjebak hoax, dan tentunya kita bisa lebih baik dan bijak dalam mengambil keputusan.