Saya baru saja menyelesaikan buku How to Break Up with Your Phone karya Catherine Price. Berbeda dengan apa yang saya ketahui sebelumnya tentang fokus, ada satu bagian penjelasan yang baru pertama kali saya temui di buku ini, dan tidak di buku produktivitas lainnya. Ia membahas tentang bagaimana otak kita bekerja saat engage dengan telepon pintar, yang memiliki 2 framework yang bekerja bersamaan yaitu fokus dan distraksi.
Fokus (Memberi Atensi)
Pekerjaan memberi atensi di dalam otak kita, terletak di bagian prefrontal cortex. Ia bekerja untuk tugas ‘eksekutif’ seperti membuat keputusan dan menahan diri (self-control). Bagian ini penting karena tanpa kemampuan yang dimiliki prefrontal cortex, kita tidak bisa berpikir abstrak dan memikirkan hal yang kompleks layaknya manusia.
Hal penting yang perlu dicatat, prefrontal cortex ini juga memiliki sifat seperti otot manusia lainnya. Ia akan merasa capek dan tidak bekerja dengan baik ketika kita memforsirnya dengan memutuskan terlalu banyak hal (decision fatigue). Saat capek dan stres melanda, ia dapat menyerah dan ‘melemparkan’ tanggung jawab ke bagian primitif dari otak kita (yang mana biasanya dalam keadaan seperti ini kita kembali pada kebiasaan bawah sadar, mengambil handphone & scrolling terus menerus).
Distraksi
Di saat kita memutuskan memberi perhatian pada hal tertentu, ternyata di saat yang sama ada bagian otak lain yang juga bekerja bersamaan: mengabaikan distraksi. Dalam kehidupan sehari-hari, bahkan tanpa gawai atau teknologi canggih buatan manusia, kita sudah menghadapi distraksi. Mulai dari percakapan keluarga, bau got yang menyengat, temperatur suhu yang lebih panas atau dingin dari biasanya. Otak kita memberitahu kita untuk tidak perlu menghiraukan hal-hal ini yang bisa menjadi distraksi saat kita berusaha fokus melakukan sesuatu. Fakta yang seringkali tidak kita sadari adalah, mengabaikan distraksi itu proses yang melelahkan dan membutuhkan kapasitas mental untuk melakukannya. Dan semakin kita jarang untuk melatihnya, semakin sulit untuk mempraktekkannya.
Contoh lain yang disebutkan oleh Catherine Price adalah perbedaan kemampuan kita dalam mengabaikan distraksi saat membaca buku atau koran (fisik) dibanding jika membaca artikel lewat smartphone. Saat membaca buku atau koran yang berbentuk fisik, otak kita akan lebih mudah membedakan mana yang distraksi (tukang bakso yang lewat, anjing yang menggonggong), dibanding membaca artikel yang punya tautan info tertentu, thumbnail untuk berita selanjutnya, iklan pop-up yang mendadak muncul, dst. Distraksi ini sudah menjadi sifat/natur alami dari telepon pintar yang kita miliki. Smartphone dengan banyak aplikasi lain dengan prinsip serupa ternyata melatih otak kita untuk terbiasa dengan distraksi dan menganggapnya wajar saja. Bahkan dengan intensitas penggunaan dan interaksi kita sehari-hari dengan telepon pintar, kita semakin ahli untuk fokus terhadap distraksi.
Solusi
Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi permasalahan ini? Tentu saja, Catherine Price membahas dengan detil, bahkan dengan program 30 hari untuk mendefinisikan ulang relasi kita dengan smartphone. Bagi saya sendiri, informasi di atas sangat berharga, karena bisa direfleksikan kembali tidak hanya untuk gawai atau electronic devices. Prinsip ini juga dapat saya aplikasikan untuk relasi kepada pasangan dan anak, misalnya. Bisa jadi saya perlu meningkatkan kualitas relasi kami tidak hanya dengan berusaha fokus pada rencana dan kegiatan baik yang kami lakukan, tetapi juga mengurangi potensi distraksi yang ada di sekeliling kami. Pun juga untuk bidang pekerjaan, saya rasa prinsip ini dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan kita fokus pada apa yang perlu dilakukan.
Bagaimana menurutmu, temans?