Harga yang Harus Dibayar
Artikel ini ditulis tepat untuk memulai tahun ke-3 Lagi Ngulik. Di saat yang sama, di Indonesia sedang gonjang-ganjing pengungkapan aparat-aparat negara yang terindikasi menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri dan/atau kerabatnya. Kita kemudian bisa melihat seberapa rendah manusia dapat berperilaku untuk mendapatkan uang, materi dan kekuasaan. Padahal saat sudah mendapat keduanya, justru kesombongan dan rasa pongah, seolah tak ada yang dapat mengalahkan, itulah yang dituai. Hal yang mengerikan dan jelas-jelas salah. Dua momen ini membuat saya mempertanyakan kembali pada diri sendiri: mengapa saya (mau) merintis dan membangun Lagi Ngulik selama 2 tahun terakhir? Padahal tidak ada imbalan materi atau uang yang kami dapatkan (?).
Invisible Price Tag
Di dunia ini sebetulnya semua hal punya ‘harga’ yang perlu dibayar. Kalimat ini punya turunan beberapa prinsip yang kita perlu pelajari. Misalnya, tidak semua hal dalam hidup punya label harga yang terang-terangan (tangible). Bahkan, kita juga tidak membayar hal tersebut dengan pergi ke kasir, menyerahkan uang. Untuk menjalin dan mempertahankan relasi misalnya, kita perlu ‘membayar’nya dengan mengalokasikan waktu, perhatian, usaha untuk mempelajari apa yang perlu dilakukan, kemauan untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Saat kita lalai, ada harga lain yang kadang tidak kita sadari. Pertengkaran, perselingkuhan, perpisahan, perceraian, adalah contoh intangible ‘price’ for a committed romantic relationship.
Apakah tidak ada materi atau uang sama sekali yang diperlukan? Tentu ada, tentu perlu. Tetapi perlu kita pahami, bahwa harga yang kita bayar itu tidak HANYA berupa uang saja.
Prinsip lain yang juga berlaku adalah, jika kita tidak membayarnya langsung, maka di lain waktu kita pasti akan perlu membayarnya. Terkadang dalam bentuk yang sama, terkadang dalam bentuk lain. Terkadang nilai yang dibayarkan bisa sama, terkadang bisa berlipat-lipat. Contoh paling mudah adalah kesehatan. Bapak saya meninggal di umur 65 tahun. Beliau menjadi atlit bola voli dan sepak bola tarkam hingga tingkat kabupaten di masa muda. Di umur dewasa, beliau juga disiplin & teratur menyempatkan untuk berolahraga. Tetapi di saat yang sama beliau adalah perokok berat. Sehari minimal 1 kotak rokok habis, bahkan 3 kotak pun bisa di saat stress pekerjaan melanda. Harga yang perlu beliau bayar adalah di masa tua adalah kesehatan di paru-paru dan jantung beliau yang tentu tidak hanya berupa materi, tetapi waktu, rasa sakit dan kebahagiaan.
Prinsip berikutnya adalah, jika sebuah harga yang nikmat/keuntungannya kita nikmati tetapi tidak ingin kita bayar, maka akan ada pihak lain yang membayar (konsekuensinya). Contoh secara global misalnya adalah produksi fast fashion dan kecelakaan runtuhnya Rana Plaza di Bangladesh. Pakaian yang berharga murah dengan kualitas baik bisa sampai di tangan konsumen dengan jumlah yang masif dan mencetak keuntungan bombastis untuk perusahaan, nampak too good to be true. Nyatanya kita tahu bahwa ribuan pekerja yang berperan sebagai penjahit borongan di negara dunia ketiga harus membayarnya dengan gaji yang tidak manusiawi, tingkat keselamatan kerja yang rendah dan resiko kesehatan.
Prinsip yang disebut terakhir ini seringkali terjadi saat seseorang yang seharusnya membayar harga tersebut lari dari tanggung jawabnya. Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip ini perlu kita sadari agar dapat menjadi keberanian untuk menghadapi tanggung jawab, yang meski berat, tetapi akan jauh lebih baik saat dihadapi sendiri. Dibanding ketika pihak lain yang kemudian ‘membayarnya’ dengan implikasi yang bisa lebih rumit dari yang mampu kita perkirakan.
Lagi Ngulik
Apa hubungan prinsip-prinsip ini dengan alasan kamu membangun Lagi Ngulik, Vin? Dalam menjalani proses menulis selama 2 tahun ini, prinsip-prinsip ini membantu saya untuk dapat lebih paham tujuan dan konsekuensi, sekaligus tanggung jawab yang perlu saya penuhi.
Sejak awal memulai Lagi Ngulik, kami telah setuju sama lain, seperti yang disebutkan Devon di sini:
Hal ini sudah kami sepakati di awal, sehingga pertanyaan tentang materi, ekspektasi, efek, konsekuensi pun mengikuti saja dengan lebih mudah. Saya juga paham betul bahwa dengan berkomitmen untuk menerbitkan nawala tiap dua minggu, maka saya perlu mengalokasikan waktu, pikiran dan energi untuk memenuhinya. Jika saya berusaha lari dari komitmen ini tanpa usaha untuk memenuhinya, tentu akan ada harga yang saya bayar. Bisa jadi ia berupa perasaan yang tidak enak, kepercayaan yang rusak atau perihal lain yang tidak bisa saya bayangkan.
Dalam perjalanannya, tentu saja ada keadaan menantang yang membuat saya kesulitan untuk bisa tepat waktu menyelesaikan tulisan. Saya pastikan Devon tahu situasi yang saya hadapi terlebih dahulu. Saya rasa hal ini adalah the bare minimum I should do sebagai rekan berkarya. Saya perlu memahami tanggung jawab saya dan tidak lari darinya, karena saya tahu saya memang menginginkan nawala ini terus berlanjut dan bertumbuh. Menyirami bibit yang kami tanam agar ia tidak layu.
I don’t run to catch the train
Di bagian penutup buku The Black Swan karya Nassim Nicholas Taleb yang saya baca, ada nasihat yang menarik dari kawannya, seorang novelis bernama Jean-Olivier Tedesco. Jean menghentikan Nassim ketika ia berusaha mengejar subway. Katanya, “I don’t run to catch the rain”.
Nasihat ini nampaknya sederhana, tetapi maknanya mendalam dan sejalan dengan pengertian ‘harga’ di atas. Jika saya tidak ingin mengejar kereta, maka saya perlu pastikan sudah membayar harga yang diperlukan: datang awal sebelum waktunya, mengecek tiket sudah siap atau belum, dst. Jika saya ingin Lagi Ngulik berkembang, maka saya perlu melakukan apa-apa yang memang penting untuk ditempuh. Jika saya adalah aparat negara yang telah melakukan kejahatan korupsi, maka sudah sepantasnya saya tahu bahwa bui menanti dan hukuman yang lainnya.
Selama kita terus berusaha untuk belajar, agar dapat mengenali invisible price tag dalam hidup yang perlu kita bayar di setiap keputusan, I believe we’re on the right track.
Harga apa yang kamu siap untuk bayar sekarang?