Selama 3 tahun terakhir, saya membiasakan diri untuk melakukan Annual Review atau refleksi atas apa yang terjadi di tahun tersebut, mencoba mencatat apa pelajaran yang saya dapatkan, kemudian menyimpulkan apa yang dapat saya lakukan ke depannya. Ada perubahan yang juga signifikan atas simpulan yang saya buat. Tahun-tahun sebelumnya saya menggunakan target atau daftar apa saja yang ingin dicapai, biasanya diawali dengan kata: I should…, I have to…. Sejak 2022, saya mencoba mengubah pendekatan ini dengan menggunakan kalimat tanya dan menetapkannya sebagai tema untuk tahun tersebut. Contohnya what if I'm braver? What if I'm not afraid? Kedua pertanyaan ini menjadi tema karena saya ingin lebih berani mencoba. Mencoba hal baru, mencoba berusaha lebih keras, mencoba pendekatan dan mindset yang berbeda, dst.
Tema tentang keberanian ini seolah-olah diuji oleh semesta. Di awal tahun 2022, saya menghadapi permasalahan besar yang saya tahu tidak mungkin dapat diselesaikan sendirian. Tetapi, konteks persoalan tersebut seringkali dianggap tabu dan dapat memposisikan saya untuk kemudian merasa malu, lemah dan rendah diri. Saat itu kedua pertanyaan di atas seolah menjadi mantra yang saya ulang-ulang. Mereka membuat saya berusaha menggali opsi-opsi yang tidak terbayang sebelumnya. Jika saya tidak takut kata-kata orang lain, apa yang bisa saya lakukan? Jika saya lebih berani dan memilih teguh di jalan kebenaran, apa yang akan saya perbuat?
Di tahun 2023, dari Annual Review yang saya lakukan, saya kemudian memilih pertanyaan berikut: what if I'm less hesitant? Pertanyaan ini bermula dari kesadaran bahwa saya sering kali menunda atau berpikir terlampau lama sehingga ada kesempatan baik yang terlewat. Tak jarang pula saya menyadari momen dimana saya enggan untuk menerima tawaran, bukan karena saya tidak menyukainya, tetapi pertimbangan lain yang terlalu banyak. Saya sadar betul bahwa berhati-hati itu perlu, tetapi terlalu berhati-hati pun punya resikonya sendiri.
Enam bulan berjalan di tahun ini, saya merasa sangat terbantu dengan tema tersebut. Saya membuat check-list sederhana untuk membantu saya menghitung pro-kontra dari situasi yang saya hadapi atau membuat keputusan. Saya belajar menata ulang perkara prioritas dalam hidup saya saat ini dengan lebih mudah. Saat kesempatan datang, saya pun menjadi lebih tatag/jejek. Dari pengalaman menjadikan pertanyaan yang unik tiap tahun sebagai tema, saya menyadari ada kekuatan-kekuatan yang dimiliki “Pertanyaan”.
Resolusi yang Tahan Banting
Tidak seperti sebuah pernyataan, saat membuat resolusi dalam bentuk pertanyaan, ia memberikan opsi yang cukup luas dan adaptif di berbagai situasi. Ia memberi batas, tetapi juga memiliki ruang yang fleksibel di dalamnya.
Filter yang Efektif
Dalam bentuk sebuah pertanyaan, saya merasa ia dapat menjadi filter yang efektif. Contohnya ketika mendapat tawaran untuk memimpin diskusi buku lalu rasa enggan muncul. “What if I’m less hesitant?” Jika saya memang menginginkan kesempatan ini, apa saja prioritas yang mungkin bertentangan? Beberapa kali menggunakan filter ini, saya kemudian mengenali bahwa saya enggan untuk mengiyakan tawaran tersebut saat berhadapan dengan kepentingan keluarga. Dari sana saya menyaring apa saja opsi yang mungkin dan tidak mungkin. Misalnya, tawaran insidental hanya boleh di pagi hari jika weekend, jika weekdays tidak melebihi 2 jam, dst.
Saat menulis artikel ini, saya kemudian membaca sumber-sumber lain yang juga membahas tentang kelebihan dari menggunakan pertanyaan. Misal saja TEDTalkx dari Steve Aguirre yang secara spesifik membahas keuntungan untuk karir, relasi dan diri sendiri. Hal tersebut juga saya tangkap dalam kutipan berikut dari buku Empowered ME dari Puty Puar, yang pas sekali untuk menutup artikel ini:
Nowadays, it's so EASY to look for an ANSWER. In fact, everybody is giving answers. They often make you feel lost. So now, think about WHAT THE QUESTION IS. What is *your* question? Then decide what is needed to be answered. Take some time to think about your question. Own your question.