Belajar di jurusan dengan titel ‘Poverty’ di dalamnya membuat saya banyak berefleksi tentang kehidupan sendiri. Kemiskinan dapat dinilai ‘buruk’ atau memiliki imej negatif saat diucapkan, tetapi ada juga hal-hal baik yang dapat kita pelajari dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Minggu lalu salah satu mata kuliah yang saya ikuti mendatangkan 2 orang pemimpin federasi/komunitas (Muungano wa Wanavijiji) yang tinggal di kawasan kumuh Nairobi, Kenya. Seorang lagi adalah dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) (Slum Dweller International - Kenya), yang menjadi partner federasi tersebut untuk mengatasi masalah-masalah penting yang dihadapi komunitas tersebut. Mereka sudah menjalani kerjasama antar 2 organisasi ini selama belasan tahun, serta mendapat capaian-capaian yang besar seperti mampu memetakan penduduk, bernegosiasi dengan pemerintah untuk penyediaan lahan, juga membeli lahan bersama dengan simpanan kolektif. Dengan luas area mereka sekaligus banyaknya penduduk yang tinggal mencapai 100.000 orang, usaha mereka ini dinilai sukses dan dijadikan model di banyak tempat lainnya di dunia.
Selama 2 hari penuh kami belajar dari mereka, melalui banyak perspektif, bagaimana usaha ini dapat berhasil. Tetapi, artikel ini ingin berbagi 2 hal yang saya rasa penting kita pikirkan kembali, dan jika kamu juga setuju, untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Resiliensi
Saya sempat bertanya, bagaimana kalian dapat gigih terus bertahan dan berjuang selama belasan tahun? Memperjuangkan hak-hak warga di kawasan kumuh yang tidak selalu dianggap sehingga harus menggunakan banyak strategi, mulai dari yang ‘lunak’ seperti bernegosiasi dengan pemerintah sampai yang ‘keras’ dengan berdemo dan mencegat pejabat di pintu atau bahkan parkiran kantornya, tanpa ada jaminan bahwa hal tersebut akan berhasil. Bukankah itu melelahkan? Bagaimana cara agar bisa terus kembali bersemangat, kembali mencoba dan meneruskan perjuangan?
Jawaban mereka sederhana: karena kami tidak punya pilihan lain selain mencoba. Kemiskinan menyederhanakan pilihan yang ada dan perlu dijalani. Jika aku tidak bernegosiasi, bisa jadi besok rumahku akan digusur paksa. Jika aku tidak berdemo di balai kota, maka minggu depan aku tidak lagi mendapat subsidi. Jika aku tidak meminta bantuan kepada LSM untuk advokasi pembelian tanah, maka sampai kapan pun komunitasku tidak punya posisi legal di mata hukum.
Menyadari keterbatasan opsi yang dimiliki dapat diterjemahkan dalam aksi yang segera dan tidak ditunda-tunda. Barangkali, untuk orang-orang yang cenderung overthinking seperti saya, pelajaran ini menjadi penting. Untuk tidak mudah terjebak dalam keresahan berlarut-larut, yang perlu segera dilakukan adalah menyederhanakan pilihan, sesedikit mungkin hingga mudah yakin dalam memutuskan. Karena semakin lama tenggelam dalam keresahan justru membuat kita kehilangan yang tak dapat dibeli: waktu.
Melepaskan diri dari label
Temans, apa yang kalian pikirkan tentang kemiskinan? Tidak punya uang? Merasa terbatas untuk melakukan sesuatu? Saya meminjam kutipan dari Jack Monroe, penulis buku resep makanan ‘A Girl Called Jack: 100 delicious budget recipes’:
‘Poverty isn’t just having no heating, or not quite enough food, or unplugging your fridge and turning your hot water off. Poverty is the sinking feeling when your small boy finishes his one Weetabix and says, ‘More, Mummy? Bread and jam please, Mummy,’ as you’re wondering whether to take the TV or the guitar to the pawn shop first, and how to tell him that there is no bread and jam.’
Kemiskinan rumit karena ia terkait dengan harga diri, perasaan tak berdaya dan ketidak-mampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah. Perasaan tersebut dapat berlipat efeknya ketika kemudian mereka memilih untuk tidak melakukan apa-apa, mengubur diri dengan pikiran-pikiran negatif, yang tidak sepenuhnya benar.
Kawan dari Muungano menekankan bahwa hal yang terpenting dalam berkomunitas adalah ada orang lain yang dapat mengingatkan apa saja yang bisa kita lakukan atau bahkan mengajari bagaimana untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Problem sehari-hari yang dihadapi manusia itu tidak unik, hal serupa hampir pasti dialami oleh orang lain. Dengan orang lain yang memberikan pandangan objektif pada masalah kita, maka kita tidak mudah terjebak dalam label-label tertentu. Bahwa kita miskin, maka berarti kita lemah dan tidak berdaya, misalnya. Atau jika tidak bisa menyelesaikan sesuatu masalah maka seseorang tersebut adalah pecundang, dst.
‘Probably you failed to solve that problem, but you’re not a failure.’
Kalimat ini menyadarkan saya bahwa ada banyak label-label yang kita sematkan pada diri sendiri tanpa betul-betul kritis, apakah label tersebut benar? Apakah label tersebut penting? Atau bahkan, apakah perlu diberi label tertentu?
Tulisan ini memang bersifat reflektif, sehingga lebih tepat rasanya untuk diakhiri dengan pertanyaan: apakah ada hal yang mengena di hati kalian tentang kemiskinan, temans?