Bermula dari sekitar 2019 akhir-2020 awal, aku didiagnosis dengan kecemasan dan depresi. Hal ini sejujurnya tidak mengagetkanku karena dari awal sudah merasakan perubahan dari kegiatan sehari-hari seorang Sitta. Bisa dibilang, perubahan yang paling mencolok adalah jam tidur. Jam tidur yang biasanya jam 11, saat itu berubah dan aku baru bisa tertidur jam 12 hingga paling lama jam 3 pagi. Padahal pagi jam 8 aku harus berangkat kerja.
Kalau ditanya kenapa gak bisa tidur? Jawabannya adalah karena aku memikirkan banyak hal atau kata populernya overthinking. Mulai dari hal random seperti “besok akan bikin konten apa ya?” (karena kebetulan saat itu aku bekerja sebagai social media specialist) sampai “kok bisa ya teman seusiaku udah pada nikah dan sudah melanjutkan pendidikan S2”. Kalau sudah sampai overwhelmed dan gak bisa nemu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul, aku akan menangis dan baru bisa tertidur. Hal yang paling menyiksa adalah masalah ini terjadi hampir setiap malam dalam kurun waktu 3 minggu.
Karma Baik
Saat jaman kuliah, aku paling anti dengan mata kuliah Filsafat Manusia dan Filsafat Ilmu. Aku merasa pada saat itu belajar filsafat bukanlah suatu hal yang penting, toh bukan mata kuliah wajib dan cuma sekadar ada ketika semester awal pikirku. Akan tetapi, pikiranku berubah ketika aku berkenalan dengan Stoikisme melalui Filosofi Teras.
Sebelum memutuskan untuk membeli salah satu buku om Henry Manampiring ini, aku cukup skeptis karena ada kata “filsafat” di dalamnya. “Ini kan buku filsafat, emangnya bisa bikin mental kita makin tangguh?” cibirku dalam hati saat itu. Ketika akhirnya aku membeli Filosofi Teras dan membaca bab pertama, semua pikiran burukku tentang filsafat selama kuliah hilang. Ternyata Stoikisme sangat sejalan dengan prinsip terapi psikologis yang aku jalani dengan psikologku. Dari sinilah aku merasa harus mempelajari filsafat, terutama Stoikisme. Well, bisa jadi memang benar apa yang sering disampaikan bahwa jangan berlebihan apabila kita membenci sesuatu, pun sebaliknya ketika kita menyukai sesuatu karena kita tidak tahu apakah hal itu baik atau buruk untuk kita.
Alternatif Laku Hidup
Setelah sesi terapiku berakhir dengan psikolog, aku memutuskan untuk mempelajari dan mempraktekkan ajaran-ajaran Stoik. Satu hal yang aku suka dari ajaran Stoik adalah tidak ada yang bertentangan dengan ajaran agamaku. Apa yang aku pelajari dari kitab suci agama, ada juga dalam ajaran Stoik. Padahal filsafat ini adalah filsafat kuno yang sudah ada sebelum kehadiran agama. Beberapa orang berkata kalau belajar filsafat bisa membuat kita sesat bahkan ateis. Tapi, menurutku tidak semua seperti itu dan tergantung individu tersebut apakah sudah memahami batasan-batasan antara filsafat dan agama. Batasan tersebut terletak pada jangkauan wilayah filsafat yang meliputi fisik dan metafisik (Tuhan, manusia, alam) tapi, kebenaran dari jangkauan metafisik filsafat tidak bisa disebut absolut. Sementara ajaran-ajaran agama (baca: agama wahyu) yang terkandung dalam kitab diyakini kebenaran absolutnya.
Tujuanku mempelajari Stoikisme pun mengalami perubahan, awalnya aku mempraktekkan ajaran Stoik agar menyembuhkan cemas dan depresiku. Tapi sekarang aku berlatih Stoik sebagai alternatif laku hidup yang bisa berjalan beriringan dengan keyakinanku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk berbagi pengalaman-pengalamanku ketika latihan Stoikisme dalam bentuk jurnal digital melalui media podcast. Aku berbagi di “StoicastID” dengan tujuan merekam proses belajar dan berlatih Stoik serta berbagi pengalaman dengan orang-orang yang mungkin mengalami hal yang sama dengan apa yang aku alami.
Aku menyadari proses belajar dan berlatih Stoikisme ini tidaklah mudah dan belum mendekati sempurna. Masih sangat jauh jika menyebut diri sebagai seorang “Stoik”. Oleh sebab itu, aku dan teman-teman lain yang mempelajari Stoikisme lebih suka menyebut diri kami sebagai “Prokopton” yaitu seorang yang terus bergerak/berproses.