Konversasi dalam Persahabatan Dewasa
Pandemi COVID-19 dan kepatuhan saya dalam mengikuti anjuran pemerintah untuk mengurangi intensitas aktivitas di luar rumah membuat saya rindu banyak hal. Salah satunya adalah konversasi tatap muka dengan kawan-kawan (wow, saya merasa keren sekali pakai kata konversasi :D). Saya orang yang privat, berusaha tidak mengunggah setiap detil kehidupan di media sosial. Sebelum pandemi, saya biasa menghabiskan waktu di akhir pekan untuk bergantian bertemu kawan di lingkaran pertemanan (yang sebenarnya tidak banyak). Kadang sengaja dandan dan pakai baju rapi, tapi seringkali juga pakai celana belel, kaos oblong dan sandal buluk. Intim dan apa adanya, rasanya hangat.
Kalau diingat kembali, tahun ketiga pandemi ini saya dan kawan-kawan berhasil beradaptasi dalam keterbatasan. Beberapa bulan terakhir, saya mulai bertemu lagi dengan mereka. Merayakan ulang tahun, menghadiri undangan pernikahan, melayat kepergian orang tua teman, atau sekadar belanja kebutuhan harian bersama. Perasaan hangat yang sudah saya rindukan selama ini menyeruak kembali, dan saya mensyukurinya.
Kebetulan (walaupun tentunya tidak ada yang kebetulan di dunia ini) beberapa bulan lalu saya membaca buku Conversations on Love dari Natasha Lunn. Buku tersebutmembuat saya menyadari tidak ada yang sederhana dalam mempertahankan persahabatan di usia dewasa ini. Layaknya dalam hubungan romantis maupun hubungan keluarga, konversasi ternyata adalah salah satu kunci mengapa hubungan pertemanan kami tetap erat. Sebagai ungkapan syukur atas lingkaran pertemanan yang sehat, saya ingin mengingat kembali konversasi seperti apa yang berhasil merekatkan kami di usia dewasa ini:
1. Friendships are unique relationships because unlike family relationships, we choose to enter into them. And unlike other voluntary bonds, such as marriages and romantic relationships, they lack of formal structure. (How Friendships Change Over Time - The Atlantic)
Sebagai konteks, teman atau sahabat yang saya sebut dalam tulisan ini rata-rata telah mengenal saya minimal enam tahun lamanya, dan usia kami akhir 20an hingga awal 30an. Hari ini saya menggulir whatsapp, ada banyak grup dari lingkaran pertemanan yang berbeda. Lucunya dan saking tidak formalnya, nama grupnya benar-benar asal, hanya supaya tidak kosong. Anggotanya mantan rekan kerja di kantor lama, isi chatnya hanya seputar tautan tiktok lucu yang kami komentari dan berakhir saling janji bertemu di sebuah kedai ayam goreng.
Selama bertemu ternyata tidak ada konversasi berbobot. Kami menertawakan kehidupan saya di kabupaten (ya, mereka orang kota), gosip di kantor, menghibur teman yang baru menjadi yatim, dan memuji keramahan petugas kedai yang tak henti menawarkan bantuan. Selepas makan es krim, kami pulang. Lingkaran pertemanan di era digital memang unik, kami tidak harus ada dalam grup whatsapp, bisa kapan saja keluar grup jika tidak mau, tidak ada perjanjian formal untuk saling bertemu, tapi kami memutuskan untuk bergabung.
2. In a world where women are constantly told to make themselves small, a courageous pursuit of interdependence in relationships is a radical rebellion. (How to Be Interdependent Without Being Codependent - archive (darlingmagazine.org))
Saya belum punya pasangan, maka selain menghabiskan waktu bersama rekan kerja, teman, dan adik, saya sering pergi sendiri. Saya sudah biasa menonton film, makan, belanja, liburan, dan ke kafe sendirian. Hemat waktu, cepat dapat barang yang saya cari, dan minim distraksi. Sampai suatu hari seorang teman bertanya mengapa saya tidak minta ditemani belanja, padahal tempat tujuan saya dan tempat tinggalnya relatif dekat. Saya bingung, minta ditemani rasanya asing untuk saya ketika saya merasa mampu beraktivitas sendiri. Mengingat saya ingin punya pasangan dan saya perlu belajar untuk mau saling bergantung, maka saya sekarang berlatih untuk minta tolong.
Konversasi di lorong rak bumbu dapur; di antara furniture raksasa, di depan gunungan jeruk Sunkist beda merek; di antrian kasir toko kue sambil membawa goguma; jadi konversasi yang saya suka sekarang. Memang waktu belanja jadi lebih lama karena pertimbangan memilih bawang putih bubuk jadi ditentukan dua kepala, kadang saya juga tergoda beli barang yang tidak dalam rencana. Saya jadi belajar kapan saya mau pergi sendiri, kapan minta ditemani, dan juga menawarkan diri untuk menemani.
3. Lean into vulnerability (Why do we find making new friends so hard as adults? (theconversation.com))
Saya menyukai fakta bahwa saya dan sahabat saya saling tumbuh menjadi dewasa. Suatu hari di tahun 2012, seorang teman kuliah menghubungi saya ingin bermalam di indekos saya. Ia lantas bercerita singkat, dengan ekspresi sedih bahwa ada masalah keluarga. Saya tahu masalahnya besar, tapi saat itu saya berusaha menghibur tanpa punya pengetahuan bagaimana menghibur yang “benar”. Lagi pula, saat itu yang saya tahu tidak baik untuk tanya apa yang terjadi jika yang ditanya menunjukkan mimik wajah enggan.
Sepuluh tahun kemudian, di sebuah restoran Italia, kami saling bertukar cerita. Sebuah berita buruk meluncur dari bibir, dan ia merespon dengan baik. Ternyata kami sudah punya pengetahuan tentang kesehatan mental. Kami bersedia untuk lebih terbuka, juga tahu kapan dan bagaimana merespon cerita orang lain.
4. Part of growing up is learning about disappointment and giving up grandiosity and not seeing yourself as the centre of the world. Because you are the centre of your world, but you are not the centre of the world-Susie Orbach (Conversations on Love-Natasha Lunn)
Pertengahan usia 20, teman perempuan saya sudah mulai banyak yang menikah. Kami memaknai rasa turut bersuka cita dengan segala yang tampak. Seragam bridesmaid, kado-kado bagus, berfoto dengan anggota lingkaran lengkap, dan unggahan di seluruh sosial media. Kehadiran di hari istimewa adalah penting, jika tidak maka siap-siap saja pertemanan putus. Tentu saya mengalami “putus” dengan teman karena masalah hadir tidak hadir ini.
Sekarang, hampir satu dekade lebih tua, ritual-ritual itu sepertinya tidak begitu penting. Kami lebih banyak berbincang soal apa makna relasi, dan relasi seperti apa yang kami harapkan. Mereka yang sudah menikah banyak bercerita bagaimana realita kehidupan pernikahan. Saya dilibatkan dalam pemilihan vendor acara, tapi sama sekali tidak membahas seragam bridesmaid dan tetek bengeknya. Mereka senang kami datang dan turut membantu. Bahkan, undangan pernikahan bukan lagi suatu acara wajib dengan ancaman jika tidak hadir.
“Kalau bisa datang ya,” yang terdengar manis, karena kami saling paham bahwa kami sudah punya kesibukan masing-masing. Tentu saya langsung mengosongkan jadwal di kalender untuk hadir.
5. “From Friends to Living Single to Grey’s Anatomy to New Girl, TV reinforces the fantasy that true friendships are and should be deeply close but require no real effort to maintain.” (The “Friends” reunion and the illusion of perfect adult friendships - Vox)
Juli lalu, saya liburan singkat dengan mantan rekan kerja saya. Saya tinggal di Jawa Timur, ia menetap di Jakarta. Kami memutuskan bertemu di tengah, sekaligus nostalgia tepat lima tahun lalu kami rekreasi kantor ke Jogjakarta. Hanya dua malam tiga hari (termasuk perjalanan), kami bersenang-senang. Acara wajibnya hanya makan di pizzeria dan kedai gelato yang kami kunjungi tahun 2017, sembari mengingat betapa hidup telah banyak berubah sejak terakhir kali bertemu. Kami saling traktir coklat hangat dan makan malam, sebagai ucapan terima kasih telah ada dan bertahan.
Kami tidak saling main ke tempat tinggal masing-masing seperti Meredith Grey dan Cristina Yang, juga tidak setiap hari bertemu seperti Rachel Green dan Monica Geller. Kami hanya saling video call saat harus lembur di kantor sendirian dan mulai ketakutan. Saya tidak pernah tanya love language dia apa, tapi dia selalu menyelipkan kue dalam paket-paket kado ulang tahun. Kadang nastar buatannya, kadang wafer, coklat, dan kudapan lain. Tidak ada yang mahal, tapi menyenangkan saat tahu ia masih selalu ingin berbagi hal kecil yang ia suka.
Saya setuju tulisan Afu di blognya: People have different analogies but I think conversations are like a thought-mining site—one that works best when reciprocity is conceived. (VI. On Conversations | The Conundrum Journal (afuta.me). Saya memang tidak banyak punya teman baru karena fokus bekerja, namun ketika ada meme lucu saya tahu harus membaginya pada teman yang mana. Pada hari-hari tertentu saat mulai bosan menjalani aktivitas, saya mengeluh pada teman lain untuk mendapat suntikan semangat. Konversasi memang tidak harus selalu serius, dan tidak harus intens berlangsung setiap hari. Ada juga hari-hari kami tersinggung dengan candaan satu sama lain, bosan menasehati teman yang sedang jadi budak cinta, juga merasa terlalu banyak intervensi pada pilihan pribadi. Seperti kisah cinta pasangan romantis, persahabatan dan konversasinya juga perlu dianggap sebagai kisah cinta yang berhasil. Seperti kata CJ Hauser ini:
“It’s important to you to name these other connections as love stories, because they haven’t been recognized in that way.” (A conversation on love, dating, friendship and family with CJ Hauser (campaign-archive.com))