Pernahkah kalian mendapati topik problematis yang dibahas berulang tanpa ada ujung penyelesaian atau berputar-putar saja? Ada beberapa topik yang bisa kita amati selalu muncul lagi, ramai lagi, surut sementara, kemudian ketika ada yang memantik, akan ramai kembali. Salah satunya adalah perihal privilej, seperti yang dibahas oleh Fellexandro Ruby dan lewat di linimasa saya beberapa waktu lalu. Dari post tersebut, saya kemudian bertanya-tanya, apakah ada kerangka berpikir yang menjelaskan fenomena interaksi semacam ini?
Drama Triangle dari Stephen Karpman
Saya kemudian teringat model interaksi sosial Drama Triangle yang dicetuskan oleh Stephen Karpman untuk memahami role/peran disfungsional yang kita ambil saat berhadapan dengan konflik. Ada 3 peran di dalamnya: victim (korban), rescuer (penyelamat), persecutor (penganiaya). Mengapa disfungsional? Karena sebenarnya masing-masing peran hanya berfungsi sebagai pelarian (eskapisme) dari perasaan kita yang sebenarnya, yang kemudian menahan kita untuk benar-benar menyelesaikan akar permasalahan.
Dalam postingan Ruby di atas, ia mengisahkan tentang komentar netizen yang kerap muncul: "Check your privilege". Di post itu juga ia mengutip Winahyu Anggoro tentang niatan sharing tetapi enggan karena mendapat respon yang ujungnya sambat "check your privilege".
Dinamika ini menunjukkan interaksi yang minim solusi sekaligus mencerminkan kutub-kutub dalam Drama Triangle:
“Kamu aja yang tidak tahu, aku sebenarnya sudah mengalami xxx” — Victim
“Netizen nih cuma bisa nge-judge aja!” — Persecutor
“Aku ini niatnya baik, ingin membantu xxx” — Rescuer
Di dalam prosesnya, interaksi tersebut dapat menjadi saling adu, siapa yang 'lebih menderita'. Ditambah, seseorang bisa saja memilih tidak hanya satu peran yang disebut di atas. Terkadang dapat bergeser dengan cepat dari peran satu ke peran yang lainnya. Satu hal yang pasti, yaitu peran mana saja yang dipilih, hasil yang didapat akan sama: drama. Lalu bagaimana cara untuk menghindari Drama Triangle?
The Empowerment Dynamics dari David Emerald
Salah satu penawar situasi dan interaksi berdasar model Drama Triangle ditawarkan oleh David Emerald. Ia mencetuskan The Empowerment Dynamics, dimana ketiga peran dalam Drama Triangle dimanfaatkan sisi positifnya dan ditambahkan tugas yang berbeda sehingga dapat membangun interaksi yang membuahkan solusi.
Dalam model The Empowerment Dynamics, ketiga peran diminta untuk menjadi ‘Adult’, seorang dewasa yang mau mengakui masalah tersebut dan menerima (kewajiban) untuk bertanggung jawab, tanpa memaksakan power kepada peran yang lain. Artinya, tiap-tiap peran perlu memiliki self-awareness, memahami pola interaksi yang berjalan dan mau mengubah apa yang ada di dalam peran mereka sendiri.
Victim dapat menjadi Creator dengan menunjukkan fakta permasalahan, mengerti posisinya yang rentan (vulnerable) tanpa perlu mengasihani diri sendiri. Rescuer dapat beralih menjadi Coach dengan mendengar dan peduli dan di saat yang sama sadar diri untuk tidak menabrak batasan untuk terburu-buru ingin menjadi pahlawan. Persecutor bisa bergeser menjadi Challenger dengan cara menggunakan komunikasi asertif, dibanding agresif. Apabila ada yang ingin di-challenge, maka pendekatan yang dipakai Challenger adalah konstruktif. Bukan kritikal.
Perspektif Personal
Minggu lalu saya mengunjungi pameran seniman Eileen Agar yang berjudul Angel of Anarchy di Leeds Art Gallery. Pameran dikelompokkan berdasarkan fase umur & kejadian yang mempengaruhi seperti terjadinya Perang Dunia. Keterangan pembuka dimulai dengan menceritakan bagaimana Eileen terlahir di keluarga kaya & flamboyant di Argentina, yang kemudian mengirim Eileen bersekolah di Inggris di umur 6 tahun, sendirian.
Keterangan di fase hidup selanjutnya adalah bagaimana di umur 30an ia memutuskan untuk berpindah ke Paris, untuk berguru kepada seorang seniman untuk mempelajari aliran surealis. Saya spontan berbisik ke suami "Kayaknya enteng banget ya memutuskan pindah-pindah seperti Eileen ini". Komentar pak Rendy, "Ya, kalau dia sudah disebut dari kalangan borjuis, udah ga perlu mikir duit juga sih. Jangan dibandingkan sama kita."
Jika diamati, pernyataan saya di atas hampir mengarah ke peran Persecutor. Tetapi dengan komunikasi asertif & keterangan privilej yang dimiliki Eileen di keterangan pameran, saya bisa memahami opsi & konteks yang lebih luas dari seniman tersebut. Hal ini membuat saya bergeser ke peran Challenger. Ketika privilej dicantumkan, bukan lagi dipilih untuk diungkapkan atau tidak, konteks itu lebih mudah dipahami karena utuh & menyeluruh. Ketika sudah disebutkan & diakui bersama, constructive challenge pun bisa diajukan dengan lebih mudah: apa yang ia lakukan atas privilej yang ia miliki?
Untuk Eileen Agar, apa kontribusi yang ia lakukan atas privilejnya? Eileen disebut sebagai tokoh penting seni surrealis, seni yang merupakan pergerakan budaya, menampilkan gambaran 'illogical', menunjukkan kekuatan mimpi & imajinasi, agar dapat mengekspresikan apa yang ada di unconscious side.
Memahami Drama Triangle dan The Empowerment Dynamics dapat membantu kita untuk memahami pola interaksi dalam konflik tidak hanya dalam konteks luas di sosial media, bermasyarakat atau tempat kerja. Dalam scope yang lebih kecil seperti keluarga, pasangan dalam relasi romantis pun bisa digunakan. Sehingga kita tidak berkutat dalam masalah yang sama, lagi dan lagi.