Krisis Kekurangan Tidur
Selama 2 minggu terakhir saya merasa seperti zombie. Kekurangan tidur karena kewajiban mengikuti program dari penyelenggara beasiswa via daring, dengan jadwal yang disesuaikan dengan jam kerja di Indonesia. Hal ini berarti untuk agenda pukul 08.00 WIB, saya harus hadir di pukul 02.00 GMT. Meski mencoba untuk “membayar” hutang tidur ini di waktu yang lain di hari yang sama, tetap saja pengaruhnya cukup signifikan terhadap kemampuan berpikir, respon yang berjeda juga secara fisik merasa pusing dan mual.
Kondisi ini mengingatkan pada buku-buku yang telah saya baca tentang pentingnya tidur dalam hidup sekaligus akibat besar yang perlu kita tanggung saat kekurangan tidur. Tidak hanya dampak secara fisik, psikis tetapi juga pada mindset yang terbentuk darinya.
Penyangkalan atas Kurangnya Tidur
Berapa lama kalian biasa tidur? Anjuran yang sering kita dengar adalah 7-9 jam tidur malam untuk orang dewasa, umumnya mulai dari pukul 9 malam hingga pukul 5 atau 6 pagi. Tidur yang seperti ini tidak bisa serta merta diganti dengan tidur di waktu lain di hari yang sama, karena ada hormon-hormon tertentu yang hanya aktif di malam hari, juga hal lain yang hanya terjadi saat malam hari seperti bagaimana otak kita ‘dibersihkan’ dari toxin dsb. Kerja-kerja dalam tubuh ini memang sulit untuk kita lihat dengan mata kepala sendiri, sehingga terkadang membuat kita menyepelekan dampak yang timbul karenanya.
Tidak hanya itu, di benak kita, barangkali kekurangan tidur seolah-olah hanya bersifat insidental seperti yang saya alami di atas. Toh, hanya 2 minggu yang tidak terpenuhi tidurnya karena event tertentu. Tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Division of Sleep Medicine dari Harvard Medical School menyatakan bahwa kekurangan tidur dalam jangka pendek sudah cukup untuk menyebabkan penurunan kemampuan menilai, kemampuan belajar dan menyimpan informasi, mempengaruhi mood dan meningkatkan kemungkinan resiko kecelakaan pada seseorang. Dan jangan bayangkan kekurangan tidur ini hanya saat begadang sepanjang malam. Divisi yang sama mencontohkan bahwa jika kita tidur selama 6 jam saja selama 1.5 minggu (berarti kurang dari 7-9 jam seperti yang disarankan), maka di hari kesepuluh kita akan mengalami penurunan performa setara dengan orang yang tingkat alkohol dalam darahnya 0.1%. Sebagai perbandingan, angka ini sudah melebihi batas legal alkohol dalam darah untuk mengendarai mobil di Inggris, yaitu 0.08%.
Masih merasa hal ini tidak berlaku untuk diri kalian sendiri? Atau berpikir, “ah, saya gakpapa tuh Vin cuma tidur 5-6 jam tiap hari”. Hal ini sudah ditebak dan langsung ditampik oleh Catherine Price dalam bukunya How to Break Up with Your Phone:
Hidup dalam Keadaan Darurat
Fakta yang tidak banyak diketahui adalah pengaruh tidur dan keadaan alam bawah sadar yang kita miliki. Dalam buku Stolen Focus dari Johann Hari, ia menjabarkan bahwa saat kita tidak cukup tidur, maka tubuh mengartikan bahwa ada keadaan darurat yang sedang terjadi. Ia kemudian meresponnya dengan bergeser ke sympathetic nervous system zone yang berarti tekanan darah lebih tinggi, timbul rasa ingin mengonsumsi gula lebih banyak (untuk lebih banyak energi), detak jantung yang lebih cepat, seperti dalam keadaan tubuh yang siap siaga untuk menghadapi perihal buruk. Ada situasi yang memang membutuhkan kewaspadaan seperti ini dalam hidup, misalnya saat menghadapi bencana seperti badai atau banjir, saat orangtua menjaga anak yang sedang sakit. Tetapi hal ini tidak bisa kita lakukan terus-menerus, karena ada harga yang perlu kita bayar. Saat dalam keadaan siaga, kemampuan untuk fokus dalam jangka pendek dan panjang dipotong dan tidak dianggap penting oleh otak manusia. Ia juga mengurangi kemampuan memori kita.
Tubuh manusia tidak merespon terhadap alasan mengapa kita begadang atau tidak tidur. Ia hanya merespon pada keadaan yang terjadi dalam tubuh kita. Jadi, antara menunda tidur karena menjaga keluarga yang sedang sakit ataupun tenggelam scrolling di dunia maya itu efek dan responnya sama saja. Jika untuk manusia dewasa, kurang tidur akan membuat rasa kantuk terus-menerus, sebaliknya untuk anak-anak. Mereka akan menjadi hiperaktif dan tidak mampu memusatkan perhatian.
Ketidak-adilan sosial dan rasial
Data-data menunjukkan bahwa waktu tidur manusia menurun secara global selama satu abad terakhir. Mengapa? Terjadi pergeseran yang subtil dari waktu ke waktu pada pola berpikir dan persepsi yang dimiliki manusia atas tidur. Tidur dianggap lebih dekat pada kemalasan, kegiatan yang tidak produktif. Ia dirasa bertentangan dengan semangat kapitalisme yang mengutamakan produktivitas di atas segalanya. Ia bukan lagi hak dasar yang wajib dipenuhi dan mudah dipinggirkan demi memenuhi target-target karir, ambisi yang belum tentu penting dan mengenyampingkan faktor kesehatan.
Dalam buku Rest is Resistance karya Tricia Hersey, ia menggaris bawahi fakta bahwa kurangnya tidur adalah perkara kesehatan masyarakat dan ketidak-adilan sosial terutama dari sudut pandang ras. Riset menunjukkan bahwa terdapat jarak besar antara waktu tidur penduduk kulit hitam dan kulit putih Amerika Serikat. Yang mengalami kekurangan tidur paling banyak pun bisa ditebak, kelas ekonomi bawah dan kelas pekerja. Dan hal ini menjadikan efek spiral ke bawah, semakin miskin, semakin kurang tidur, semakin tidak bisa berpikir jernih, semakin tidak sehat, dan seterusnya.
Tidak salah jika kemudian sekarang sangat penting untuk kita perlu berpikir sebaliknya: menempatkan tidur cukup sebagai prioritas untuk dipenuhi. Karena dari fakta-fakta yang disebutkan di atas kita tahu bahwa dengan tidur cukup, kita dapat fokus, menjadi lebih sehat, mampu belajar dan menyimpan memori dengan lebih baik, tenang dan jelas dalam berpikir yang kesemuanya dapat membuat manusia memutuskan dengan kepala dingin. Dari situ kita bisa memiliki keputusan yang terbaik, yang kita pahami betul efek dan akibat yang akan dihadapi, sehingga dapat lebih bertanggung jawab untuk masa depan yang kita pilih dan perjuangkan.
Tak heran pula jika Dr Charles Czeisler dari Harvard Medical School menyatakan jika kita semua dapat mencukupi tidur sesuai dengan apa yang tubuh kita butuhkan, maka:
‘It would be an earthquake for our economic system, because our economic system has become dependent on sleep-depriving people. The attentional failures are just roadkill. That’s just the cost of doing business.’
Jika kita tidur cukup, tingkat stress menurun, tenaga kembali penuh, benak kembali jernih, bisa jadi kita tidak merasa perlu untuk makan-makanan cepat saji. Dengan mudah membuat keputusan dan menghadapi permasalahan yang berat dengan tenang. Fokus dalam meraih mimpi yang kita idamkan, tanpa perlu berusaha melebihi batas yang dimiliki fisik dan psikis dan memaksakan diri. Jadi pertanyaannya adalah, sudahkah kita mengusahakan hak tidur yang cukup?