Manusia & Prediksi
Bagaimana kabar kalian temans menjelang akhir tahun 2022 ini? Bulan lalu berjalan ekstra cepat bagi saya, karena hanya satu goal besar yang saya canangkan untuk terpenuhi: moving out. Berpindah dari Inggris untuk kembali pulang ke Indonesia memiliki banyak konsekuensi dan catatan panjang atas hal-hal yang perlu dilakukan. Sejak menggunakan Daily Manifest untuk menetapkan fokus sehari-hari, urusan pindah tempat tinggal ini sudah saya cicil sejak 2 bulan sebelumnya. Toh, di dua minggu terakhir masih terasa kelabakan juga.
Kemampuan manusia untuk memprediksi sesuatu hal di masa depan, adalah sebuah teka-teki bagi saya. Ia adalah kemampuan yang membedakan kita dengan primata yang lain, tetapi di saat yang sama, sering membuat kita jumawa, overconfident dan bahkan terjerembab sendiri karena ekspektasi yang terlampau tinggi. Tulisan ini ingin mengeksplor lebih dalam beberapa hal yang pernah saya ulik tentang forecasting.
Human Bias & Error in Planning & Forecasting
Dalam merencanakan dan memprediksikan sesuatu, manusia memiliki bias tertentu yang seringkali luput untuk disadari. Misalnya saja seperti disebutkan dalam Parkinson’s Law: pekerjaan akan memenuhi waktu yang telah dialokasikan, meski sebetulnya ia dapat selesai kurang dari waktu tersebut. Jika kita mengalokasikan 2 minggu untuk menyelesaikannya, maka 2 minggu pula ia akan rampung.
Contoh lain yang disebutkan oleh Nassim N. Taleb dalam bukunya Black Swan adalah tunneling dan anchoring. Tunneling adalah bagaimana manusia mengabaikan sumber-sumber ketidak-pastian yang terjadi di luar rencana yang kita buat. Contoh yang ia berikan adalah seorang penulis yang mendapat kontrak untuk menyelesaikan sebuah buku dalam jangka waktu 2 tahun. Beberapa bulan sebelum batas waktunya, ia meminta kelonggaran kepada penerbit karena tidak mampu memenuhi target dan akan terlambat menyelesaikan bukunya. Penulis tersebut yang menetapkan tenggat waktu itu sendiri, tetapi tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan di luar apa yang ia bisa kendalikan seperti tragedi 11 September yang mempengaruhinya, keadaan keluarganya yang sakit, dst. Contoh ini dapat dengan mudah saya hayati jika melihat selama 3 tahun ke belakang, dimana terjadinya pandemi di seluruh dunia tentu menggagalkan prediksi dan rencana-rencana saya untuk berlanjut memiliki karir sebagai knitting pattern designer meski sudah membangun jejaring selama beberapa tahun sebelumnya. Ketidak-pastian hampir selalu luput dari perencanaan dan upaya membuat prediksi.
Selanjutnya adalah anchoring, sebuah mekanisme mental dimana kita menetapkan sebuah informasi (yang seringkali acak saja) untuk mengurangi kecemasan, kemudian menggunakannya sebagai ‘anchor/jangkar’ untuk berpegangan. Meskipun data atau informasi tersebut belum tentu benar atau akurat, manusia cenderung akan tetap ‘kekeuh’ dengan informasi tersebut. Contoh yang diberikan adalah dari penelitian Daniel Kahneman dan Amos Tversky dimana partisipan diberi kesempatan memutar roda undian berisi angka-angka. Partisipan kemudian diberi pertanyaan untuk menebak, berapa jumlah negara Afrika yang bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hasil riset membuktikan bahwa orang-orang yang mendapat angka besar di roda undian, akan menebak dengan jumlah yang besar, juga sebaliknya.
Jika kita telah mengetahui bahwa keterbatasan ini dapat mempengaruhi bagaimana kita memprediksi, memutuskan dan merencanakan sesuatu, maka apa yang perlu kita lakukan?
Active Open-mindedness
Psikolog Philip Tetlock yang telah banyak meneliti dan menuliskan tentang forecasting menyebutkan hal penting yang menjadi sifat dari para ‘best forecasters’.
Tidak hanya sekadar berpikiran terbuka, tetapi ada kata active di situ. Hal ini berarti orang tersebut akan secara proaktif berusaha mencari pandangan yang lain, perspektif yang berbeda dari waktu ke waktu. Perumpaan yang digunakan Tetlock adalah selayaknya rubah yang memiliki mata capung. Kita tahu bahwa capung memiliki mata majemuk, dengan ratusan sudut pandang yang berbeda yang kemudian diolah dan dimaknai oleh otak capung. Analogi ini membuat kita memahami betapa banyak perspektif yang perlu untuk dicoba pahami dulu sebelum memutuskan atau memprediksi sesuatu.
Best forecasters juga memperlakukan pemikirannya seolah-olah seperti hipotesa yang perlu diuji. Hal ini menunjukkan bagaimana mindset yang ia miliki itu tidak saklek, lentur, memperhatikan feedback yang masuk dan bisa saja salah. Bisa dibilang, penjelasan ini menunjukkan tanda yang serupa dengan growth mindset.
Apakah setelah mengetahui hal-hal ini maka saya dapat mempraktekkan semua. Tentu tidak. Tetapi saya merasa mendapatkan inspirasi yang mampu menyentuh hati saya, untuk kemudian tergerak mengubah diri sendiri agar dapat menjadi dan memiliki kualitas tersebut.
Bagaimana menurut kalian tentang prediksi dan karakter yang mendukungmu menjadi best forecasters?