Dulu ketika masih remaja, dicap sebagai rebel, pemberontak, berbeda sendiri, tidak mau ikut aturan adalah emblem yang saya sandang dengan bangga. Saya merasa bahwa ia adalah konsekuensi logis dari pemikiran yang bebas dan jiwa yang kreatif. Saat ini sebaliknya, saya meyakini bahwa untuk berkarya dan menumbuhkan ide-ide secara kontinyu itu butuh constraint alias batasan. Kok bisa? Mengapa kita membutuhkan batasan?
Constraints unlock creativity
Kreativitas bisa tumbuh dengan batasan? Ketika pertama kali mendengar hal ini, saya seperti tidak percaya. Bagaimana mungkin, sesuatu yang dikekang malah bisa menumbuhkan kreativitas? Dickie Bush dalam utas Twitter di atas menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan kemampuan kita dalam mengambil keputusan. Terlampau banyak opsi dapat membuat kita mengalami decisions fatigue. Alih-alih berfokus pada hasil yang ingin kita capai, malah pusing sendiri pada hal-hal yang kurang penting. Hal yang serupa juga diungkap oleh Austin Kleon dalam bukunya Steal Like an Artist:
Kebebasan apa yang dimaksud? Tentukan waktu, ruang, sumber daya yang kamu miliki saat ini dan buatlah karya tanpa mencari-cari alasan. Baca buku selama 20 menit setelah bangun tidur. Tulis puisi di 10 menit pertama saat istirahat makan siang. Lukis dengan cat air yang sudah dipunya. Setelah menentukan batasan kita sendiri, kita tidak lagi perlu menanyakan apa, bagaimana, di mana dan kapan. Kita hanya perlu fokus dalam aksi/membuat karyanya saja.
Constraints = good habit to lean on
Ketika membaca buku Make Your Bed dari William H. McRaven, nasihat pertama adalah yang menjadi judul buku itu sendiri, merapikan tempat tidur. Bagi McRaven, dan juga di Navy SEAL, merapikan tempat tidur dengan standar detil yang harus dicapai adalah hal yang sangat penting. Sudut lipatan sprei, penempatan bantal, peletakan selimut. Mengapa hal yang biasa dianggap orang sepele ini berarti untuk mereka?
Rutinitas untuk merapikan tempat tidur menjadi struktur yang dapat diandalkan di setiap harinya. Ada rasa senang, kepuasan karena telah menyelesaikan satu tugas untuk mengawali hari. Dan jika harimu berjalan kurang baik, ranjang yang tertata rapi menyambutmu di malam hari, memberimu kesempatan untuk beristirahat dengan nyaman, bersiap untuk menghadapi hari esok.
Rutinitas yang memberikan batasan pada apa yang wajib dilakukan dapat memberikan kita struktur & sense of accomplishment dari hari ke hari. Bagi saya sendiri hal itu adalah sholat dan meditasi. Sholat shubuh menjadi momen yang reflektif & intensional di pagi hari, bertanya kepada diri sendiri apa yang ingin saya lakukan hari ini. Sholat di waktu lain juga menjadi momen reflektif pada hari yang saya jalani. Sedangkan meditasi, biasanya saya lakukan ketika anak sedang diantar sekolah oleh bapaknya dan ada jeda sebelum bersiap untuk bekerja. Ia membantu saya dalam acknowledging & melepaskan emosi dan pikiran yang lalu lalang. Melakukan keduanya dapat membantu saya dalam menjalani hari dalam keadaan sadar & tidak terlarut pada situasi atau keadaan.
Constraints = What’s ‘Done’ Looks Like
Dengan memberi batasan, akan mudah menentukan apa itu ‘completed task’. Kita tidak akan terjebak pada perfectionism, mengejar kesempurnaan yang sebenarnya fana, karena yang sempurna itu tidak mungkin atau abstrak saja.
Menulis untuk Lagi Ngulik misalnya, adalah dimana saya menerapkan constraint untuk mendefinisikan apa itu ‘selesai’. Artikel yang saya tulis di Lagi Ngulik adalah hasil belajar selama 2 minggu terakhir, punya poin praktis dan bisa saya kerjakan kurang dari 5 jam. Saya tidak perlu menulis ilmiah layaknya jurnal akademisi, atau meniru standar tulisan orang lain. Di sini saya tahu seberapa jauh yang harus saya eksplor dan juga tidak perlu ingin ‘sempurna’ dulu untuk publish tulisan di sini. Batasan ini-lah yang membuat saya bisa menulis untuk Lagi Ngulik hingga edisi ke-29 saat ini tanpa terlewat.
Apakah kamu juga percaya bahwa batasan berkaitan dengan kreativitasmu? Jika iya, apa batasan yang kalian terapkan? Sila tuliskan di kolom komentar di bawah!