Membongkar Kebuntuan Kreativitas
Mencoba Metode Reading Deprivation untuk Mendobrak Kemacetan Berkreasi
Sebagai seseorang yang menaruh deskripsi ‘Ulasan Buku & Pengalaman Belajar’ untuk menjelaskan akun Instagram saya, ajakan untuk berhenti membaca tentu terasa aneh dan bertentangan. Tetapi, saya tidak menemui perihal yang melanggar nilai yang saya yakini, maka saya pun tertarik untuk mencoba mempraktekkannya. Artikel ini akan menjelaskan konsep Reading Deprivation, seperti yang dikenalkan oleh Julia Cameron dalam buku “The Artist’s Way”, apa yang saya rasakan saat menjalani dan manfaat apa yang saya rasakan terutama untuk mengatasi creative block.
Berhenti Membaca Selama Sepekan
Sebelum melompat ke dalam konsep Reading Deprivation, mari memahami sedikit konteks terlebih dahulu. Konsep ini disebutkan Julia Cameron dalam bukunya “The Artist’s Way: A Spiritual Path to Higher Creativity”. Buku ini memiliki ide dasar bahwa kita bisa meningkatkan kreativitas dengan menggunakan pendekatan dan perspektif spiritual. Ia memberikan poin penjelasan secara bertahap, sekaligus langkah-langkah yang dapat diikuti selama 12 minggu untuk membongkar kebuntuan dan mengembangkan kreativitas yang kita miliki.
Konsep Reading Deprivation, atau jika saya terjemahkan secara bebas sebagai memiskinkan diri dari aktivitas membaca, ditawarkan Julia di minggu ke-4. Setelah di 3 minggu sebelumnya secara bertahap menyanggah berbagai miskonsepsi dan bias yang kita miliki terhadap kreativitas, di minggu keempat ini ia mengajak pembaca untuk berhenti membaca selama seminggu, dan mulai ‘bermain’.
No reading? That’s right: no reading. For most artists, words are like tiny tranquilizers. We have a daily quota of media chat that we swallow up. Like greasy food, it clogs our system. Too much of it and we feel, yes, fried.
Ilusi Produktivitas
Ketika kita menyelam ke dalam dunia buku-buku yang dipenuhi dengan pemikiran dan pengalaman orang lain, seringkali kita terjebak dalam ilusi produktivitas. Dalam perumpamaan makanan, kita begitu rakus menyerap kata-kata orang lain tanpa mencerna pikiran dan perasaan kita sendiri. Kita lupa untuk mengolah sesuatu yang orisinal dan berasal dari diri kita sendiri.
Melalui eksperimen Reading Deprivation, kita menantang kecanduan tersebut dan menghadapi rasa takut yang muncul. Dengan sengaja meninggalkan kebiasaan membaca untuk sementara waktu, kita memberi diri kita kesempatan untuk mengeksplorasi dan mengolah pikiran dan perasaan kita sendiri. Dalam proses ini, kita menciptakan ruang untuk menyelami kreativitas yang selama ini tersembunyi.
Pengalaman dalam Praktik
Saya sudah melakukan metode Reading Deprivation minggu lalu. Seperti yang mudah ditebak, sulit sekali temans. Apalagi ketika membaca dan buku sudah menjadi bagian besar dalam kehidupan sehari-hari, kesulitan itu menunjukkan bagaimana aktivitas membaca telah tertanam dalam identitas saya. Namun, saya sendiri merasa sangat terkejut ketika saya mengikuti saran-saran Julia Cameron dalam metode ini. Banyak sekali hal penting yang sebelumnya saya tunda, kemudian secara ‘kebetulan’ (serendipitously) mengemuka dan dapat tercapai.
Sepekan lalu, saya dapat menghadapi (atau mendorong) diri saya untuk memenuhi penolakan dan keengganan untuk melakukan hal-hal tersebut. Saya menata ulang dapur , mengaudit barang-perabot yang saya dapatkan sebagai hadiah, membeli tanaman yang sudah diinginkan selama bertahun-tahun yang lalu (tapi entah kenapa tidak pernah terealisasi untuk membeli, bahkan meski harganya sangat terjangkau), lebih banyak berolahraga, berhasil menyelesaikan project bersama suami, dan saya memasak menu yang sudah masuk daftar ingin dimasak sejak lampau. Hal-hal ini menunjukkan bagaimana Reading Deprivation membantu saya untuk kembali fokus dan melakukan hal-hal yang saya rencanakan tetapi tidak pernah dilakukan.
Fokus dan Menyelaraskan Diri
Saat menyusun artikel ini, jujur saya merasakan paradoks: menulis konsep yang mengajak untuk berhenti membaca, padahal tinggal di negeri yang tingkat membaca dan literasinya masih rendah. Tetapi pemikiran ini misleading, tidak tepat. Setelah menjalani Reading Deprivation, saya menyadari bahwa yang dimaksud Julia Cameron di sini bukan hanya membaca buku, tetapi juga pola konsumsi media, informasi, atau aktivitas yang sebenarnya tidak sejalan dengan apa yang kita ingini dan tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Distraksi yang berebut perhatian kita itu nyata kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari, membuat kita terlena dan bahkan kesulitan mendengarkan apa yang ingin disampaikan benak-hati kita. Ia juga dapat mengaburkan apa yang sebenarnya jadi kebutuhan kita saat ini.
Secara tidak langsung, saat menjalani Reading Deprivation saya menjadi lebih mawas diri. Saat membuka telepon genggam misalnya, ketika memencet aplikasi sosial media, seakan ada alarm di kepala berbunyi “Kenapa harus baca dan scroll timeline? Apa kamu benar-benar butuh, Vin?”.
Eksperimen ini juga menyadarkan saya betapa banyak waktu yang sebenarnya saya miliki, jika saya mampu fokus menyadari dan melakukan kegiatan yang menjadi prioritas. Tak hanya itu, banyak rencana yang dulu enggan saya jalankan ternyata tidak sesulit yang saya kira atau membutuhkan waktu lebih singkat untuk terlaksana, jika saya memiliki keberanian dan mengacuhkan resistensi yang muncul lebih dahulu.
Apakah setelah membaca artikel ini, kamu tertarik untuk mencoba metode Reading Deprivation? Share pendapatmu di kolom komentar ya!