Minggu lalu, saya mengikuti pelatihan di perpustakaan kampus tentang proofreading. Proofreading adalah proses menyelaraskan tampilan, tata bahasa, ejaan dan hal-hal teknis di akhir penulisan. Kata instrukturnya, proofreading adalah proses mempercantik penampilan. Meski biasanya orang bilang, don't judge a book by its cover, tetapi kata beliau, untuk tulisan mau tidak mau kita pasti melihat dari tampilannya. Muka kami para peserta mungkin nampak bingung, sehingga kemudian ia berikan 2 contoh tulisan yang isinya sama tetapi berbeda tampilan. Salah satunya menggunakan font yang berantakan ukuran dan jenisnya, banyak ejaan yang salah, penggunaan grammatikal yang tidak tepat, juga jarak antar paragraf yang tidak seragam.
Ternyata hal ini sangat berpengaruh pada kenyamanan pembaca, juga kesulitan untuk memahami isi dari tulisan, karena secara tidak langsung visual yang mengganggu itu menimbulkan rasa enggan untuk melanjutkan membaca. Proofread dianggap menjadi katalis, memperbesar kemungkinan agar pembaca mau meluangkan waktunya untuk memahami apa yang tertulis di sana. Agar mempermudah proses proofread, instruktur memperkenalkan style guide. Apa itu? Menurut saya, ia adalah gabungan check list dan aturan baku yang perlu diperhatikan saat melakukan proofread. Jika menulis untuk essay tugas kuliah atau jurnal akademik, maka akan ada aturan tertentu yang harus diikuti: ukuran font, spasi antar baris, jumlah minimum kata, dsb. Style guide ini dirancang untuk kita pasang di samping laptop dan kita cek secara kronologis, apakah tulisan tersebut sudah 'lolos' memenuhi semua kriteria. Style guide ini bisa kita buat sembari menyebutkan kesalahan-kesalahan yang sering kita buat secara spesifik, yang mana tiap-tiap orang bisa jadi sangat berbeda polanya. Style guide akan menghemat waktu dan energi kita, agar tidak perlu berulang-ulang memeriksa, takut ada yang terlewat dan kekhawatiran lain yang tidak perlu.
Setelah menerima materi ini, terlintas di benak saya bahwa akan mudah juga jika punya style guide tapi untuk kehidupan sehari-hari. Atau jangan-jangan, saya sudah punya?
The check list ✅ & the rules 📑
Menulis check list barangkali adalah hal yang sudah biasa kita lakukan sehari-hari, mulai dari daftar belanja, barang yang harus dibawa, tugas yang harus dikerjakan, dst. Saya menganggap check list adalah satu alat yang bisa dibongkar pasang dengan alat yang lain, misalnya pemberian batas waktu (deadline), hukuman jika tidak menyelesaikan semuanya, hadiah jika sudah melakukan jumlah tertentu, dsb. Bagaimana saya akan menggunakan alat ini adalah aturan alias the rules. Dalam style guide di atas, ia menggabungkan keduanya. Sebagai standar, ia telah memiliki check list, apa saja yang harus diperiksa seperti ukuran font dan jarak spasi. Tetapi aturannya, personal dan bisa disesuaikan.
Dalam kehidupan sehari-hari, saya memiliki check list tentang hal-hal yang perlu saya penuhi agar dapat berjalan lancar. Misalnya, logistik, perihal anak, suami, juga diri sendiri. Jika dijabarkan lebih panjang, untuk logistik adalah apa yang harus tersedia di rumah, seperti makanan untuk keluarga baik dari cemilan sampai ke makanan berat. Untuk dapat berjalan lancar, dari pengalaman yang sudah-sudah, saya perlu membuat meal-plan untuk seminggu ke depan. Dari rencana tersebut saya dapat menyusun daftar belanja yang bisa saya lakukan sembari melakukan kegiatan lain seperti pulang dari kuliah. Jika saya tidak membuat meal-plan, banyak waktu akan terlewat hanya untuk menimbang-nimbang 'mau masak apa hari ini?' di tiap pagi atau keraguan saat berada di luar rumah 'perlu beli apa ya untuk makan di rumah?'.
Untuk hal lain seperti dengan suami dan anak, kami perlu kalender bersama sehingga dapat tahu jadwal masing-masing. Untuk diri sendiri, saya perlu melakukan journaling agar lebih waras dan chill. Dalam prosesnya, kami menetapkan aturan agar check list ini dapat tercapai. Untuk dapat masak tiap hari, maka kami membuat aturan untuk cuci piring. Untuk membentuk meal plan, maka ada whiteboard untuk menampung ide masakan yang akan dibuat minggu depan. Aturan ini juga memberi perhatian untuk mencegah kesalahan-kesalahan yang sering kami lakukan. Piring bersih harus segera dilap dan dimasukkan lemari, agar tidak enggan mencuci yang kotor karena raknya penuh. Hal-hal kecil seperti ini biasanya berulang, mengganggu, tetapi tidak teratasi jika tidak pernah dijadikan 'aturan' secara intensional.
Banyak anggapan yang muncul saat ini, bahwa check list tidak begitu efektif untuk digunakan terkait produktivitas. Karena tanggung jawab yang kita miliki terus akan bertambah, kewajiban yang perlu dipenuhi, daftar pekerjaan akan selalu ada yang baru. Anggapan ini sah-sah saja, tetapi bisa jadi penerapan dan mindset yang mengiringi kurang tepat. Seperti alat lain pada umumnya, jika ia tidak membantu saya mencapai apa yang saya inginkan, maka kita bisa mencoba alat lain yang lebih efektif dan cocok. Tetapi, poin paling mendasar yang saya pelajari dari Style Guide adalah kita perlu berniat dan refleksi sejenak, apa kesalahan yang biasa saya lakukan? Bagaimana mencegahnya di kemudian hari? Baru kemudian kita dapat menetapkan aturan untuk diri kita sendiri dan punya Style Guide yang akan membantu dan mempermudah hidup kita.