Memutuskan Langkah ke Depan
Beberapa kawan dekat akhir-akhir ini menanyakan kepada saya, mengapa memilih lanjut sekolah lagi? Ada pertanyaan lanjutan yang kemudian membuat saya menuliskan artikel ini: bagaimana cara memutuskannya? Bagaimana cara agar yakin bahwa meneruskan studi adalah keputusan yang benar? Perbincangan kami membuat saya refleksi kembali terhadap proses yang saya lalui. Saya menyadari ada dua prinsip tentang pengambilan keputusan yang selama ini tidak banyak dipahami dan menimbulkan keragu-raguan.
Decisions Create Confidence
Biasanya, kita diajarkan untuk memilih jalan atau opsi yang paling kita yakini. Tetapi dalam buku Amy Cuddy (Presence), ia mengungkap bahwa hasil penelitian menunjukkan hal sebaliknya. Saat manusia telah memutuskan sesuatu, maka justru dari situlah tumbuh kepercayaan diri dan keyakinan untuk menjalani apa yang telah diputuskan. Setelah mengambil keputusan, maka energi-pikiran-sumber daya kemudian dapat difokuskan ke arah tersebut.
Apakah hal ini berarti kita tidak perlu mencari pendapat orang lain, tidak menghitung resiko, apa saja yang pro-kontra? Tentu tidak. Tahapan-tahapan tersebut tentu penting untuk dilalui, karena dapat membuat kita sadar betul apa yang sedang kita hadapi, apa efek yang mungkin terjadi dan bagaimana memitigasinya di kemudian hari. Tetapi berlarut-larut dalam mencari opsi “terbaik” kerap kali justru menjerumuskan diri dalam upaya eskapis, berlari dari konsekuensi yang akan kita tanggung saat sudah menentukan pilihan.
Apabila kita telah mengetahui dan memikirkan dengan baik tiap-tiap pilihan yang tersedia, saya meyakini bahwa pilihan yang mana pun itu baik. Toh, kita telah paham konsekuensi yang mungkin terjadi, melakukannya dengan sadar dan menimbang dengan faktor-faktor yang ada. Pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar bisa menjamin “ketepatan” sebuah pilihan, tanpa menjalaninya. Jikalau pada akhirnya opsi tersebut tidak sesuai dengan harapan, tidak cocok dengan apa yang kita mau, maka pelajaran yang bisa diambil adalah kelak jangan dilakukan/dipilih lagi. Mungkin terdengar simplistik, tetapi hal ini dapat memudahkan kita untuk menerima apa saja yang bisa diusahakan sendiri sekaligus melepaskan perihal yang sudah berada di luar kuasa kita.
Proses Memilih
Keputusan melanjutkan studi buat saya adalah konsekuensi logis, sehingga ia adalah pilihan yang sederhana. Di tahun 2013, saya pernah mengalami keguguran, tanpa asuransi kesehatan, dalam keadaan bokek, menunggu berjam-jam dokter yang mau memeriksa dan harus berhutang untuk tindakan kuret membuat saya paham bahwa menjadi miskin itu tragis dan menyedihkan. Saya bertekad bahwa anak saya harus hidup cukup. Ia tidak harus jadi bilyuner, tetapi ia tidak boleh miskin.
Maka saya mulai belajar personal finance, financial planning dan mempraktekkan dengan tekun. Sampai saya pada satu titik menyadari bahwa there’s only so little I could do with this. Perencanaan keuangan itu penting, membuat keputusan finansial itu krusial, tetapi kemiskinan adalah perihal sistemik yang jauh lebih besar dibanding seorang individu seperti saya. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi seseorang itu dapat kaya ataupun tetap miskin. Dari sini saya berkenalan dengan topik social mobility (kemampuan seseorang untuk berpindah kelas sosial) dan inequality (ketimpangan sosial). Dari situ pula saya kemudian mengetahui Raj Chetty, yang membuat Atlas of Opportunity dari data catatan pajak Amerika Serikat beratus tahun lamanya. Atlas ini dapat memetakan, mengamati pola dan kemudian memprediksi, kemampuan seseorang untuk berpindah kelas sosial, dari miskin menjadi menengah, misalnya. Ia dapat memperkirakan seorang anak umur 5 tahun, lalu penghasilannya saat berumur 30 tahun.
Mempelajari hal ini membuat saya memiliki pertanyaan-pertanyaan favorit, yang terus-menerus terngiang di kepala:
Apa yang perlu kita lakukan untuk dapat membuat Atlas of Opportunity versi Indonesia? Jika kita tidak memiliki catatan pajak beratus tahun, berapa lama atau berapa besar data minimum yang perlu dibangun untuk dapat mewujudkannya?
Pertanyaan ini menuntun saya dalam pencarian jawaban yang kontinyu. Saya membuat kurikulum sendiri, membaca buku-buku yang saya anggap membantu, mengikuti course, bertanya pada kawan yang bekerja di biro statistik, peneliti di level nasional, tetapi hingga sekarang belum menemukan jawabannya. Melanjutkan studi master adalah konsekuensi logis, opsi ini belum saya coba untuk dapat mengetahui jawaban dari pertanyaan di atas. Jurusan dan universitas yang saya pilih untuk mendaftar dan diterima, memang hanya yang dapat menawarkan ilmu dan pengalaman atas ketimpangan sosial, bukan yang lain.
Memiliki pertanyaan favorit bisa jadi salah satu alat bantu untuk memutuskan langkah ke depan, meski saya paham ini bukan satu-satunya cara. Selamat memilih!