Akhir minggu lalu, seperti biasa, Lagi Ngulik mengadakan Bincang-Bincang Buku. Namun, tidak seperti biasanya, gw sendiri bulan lalu lagi ga baca buku apapun, apapun.
Sebenarnya bukan karena lagi ga ada buku atau ga ada waktu membaca, tapi lagi males banget untuk baca. Ada beberapa buku yang gw coba baca atau lanjutin dari bulan-bulan sebelumnya, tapi sampai saat itu gw ga baca sama sekali.
Mungkin bahasa kerennya ya reading slump, tapi seperti yang gw sampaikan pada Bincang-Bincang Buku yang lalu, gw merasa baca buku itu komitmennya terlalu lama sementara gw ada pekerjaan lainnya. gw bisa mendapatkan hal yang sama dengan baca artikel.
Cukup mixed feeling, di sisi lain gw merasa baca buku juga perlu, karena apa yang ada di internet informasinya bisa jadi tidak sepenuhnya dan tidak runut, sementara buku lebih teratur. Selain itu, ada perasaan bahwa kalau baca buku lebih kredibel.
Pada bincang buku tersebut, gw dapet informasi dari Al untuk mencoba audiobook dari Storytel. Al pun menulis pengalamannya menggunakan platform ini di Storytel.
gw pun akhirnya mencoba menggunakan audiobook untuk mulai mendengarkan buku. Ada beberapa aplikasi yang gw download, mulai dari Storytel yang tadi sudah disebutkan lalu Blinkist, Audible, dan Scribd.
Dari hasil mengulik beberapa aplikasi tersebut dan gw memutuskan untuk stay di Storytel. Setelah gw mempelajari, Blinkist ternyata hanya menyediakan rangkuman dari buku dengan format audio dan teks jadi ga benar-benar baca buku seutuhnya. Audible gw skip karena biaya subscription-nya terlalu mahal untuk gw, apalagi bukan buat gw yang belum bertransformasi jadi dragon, bookdragon. Dan Scribd, sebenarnya oke juga, harga lebih tinggi dari Storytel, tapi ada satu fitur Storytel yang bikin gw lebih pilih Storytel, gw jelasin di paragraf selanjutnya ya.
Jadi, satu fitur Storytel tersebut adalah bisa switch antara audiobook dan reading mode. Walaupun ga semua buku ada kedua fitur ini, tapi ini cukup bantu gw dalam 2 hal. Pertama, kalau ada kata-kata yang kurang jelas, gw bisa baca versi teksnya. Karena bukan native speaker, tentu ada kata-kata yang kurang familiar, ketika baca teksnya bisa kita cari lebih lanjut. Kedua, untuk pencatatan. Dari bookmark audiobook kita bisa loncat ke reading mode lalu gw copy ke Readwise untuk disimpan sebagai highlight bacaan.
Sayangnya, sekali lagi, ga semua buku punya kedua mode ini, tapi gw rasa ini cukup bisa jadi poin plus pada Storytel. Selanjutnya, gw mau bahas lebih ke pengalaman mendengar buku, untuk lebih lanjut soal Storytel, bisa ke artikelnya Al.
Tentu ada plus dan minus dari pengalaman membaca ini, yang gw mau highlight ada 3 dari plus dan 2 minus-nya. gw ga akan bahas dari sisi harga, karena itu relatif.
Poin plus:
Bisa Baca Kapan Saja
Setelah gw pikir-pikir, ternyata gw lumayan punya banyak aktivitas di luar rumah, misalnya olahraga. Dengan pakai audiobook, gw bisa tinggal pasang headphone lalu jalan pagi aja. Membaca sambil olahraga. Akan sulit ketika bawa buku sambil jalan ya.
Skenario lainnya, jika lagi di perjalanan, kalau baca buku di taksi sering kali mabuk darat, bahkan bukan cuma buku kadang main HP aja udah mabuk, apalagi taksinya dengan wewangian jeruk ya. Lagi-lagi pasang headphone, dan langsung dengerin aja.
Satu lagi sebagai perbandingan, di kereta yang berdesak-desakkan kita masih bisa mengonsumsi buku, jika menggunakan format audio. Karena mau garuk telinga aja susah kalau lagi ada di kereta yang penuh, gimana keluarin buku.
Kecepatan Membaca
Kalau membaca sendiri, gw bisa menghabiskan waktu sebulan atau lebih, sementara dengan audiobook sejauh ini gw bisa dapet 1 minggu paling cepet. Alasannya juga karena poin pertama dan karena bisa sambil beraktivitas hal lainnya, paling kalau tiba-tiba lost, bisa ulangi ke beberapa detik sebelumnya. Jadi bisa dibilang, dengan mendengar buku bisa meningkatkan 3-4x lipat kecepatan membaca.
Dibacain
Sebenernya, gw ga mau terlalu melabeli diri, tapi mungkin gw lebih efektif belajar ketika menggunakan telinga, ya. Kalau bisa membuktikan ya gw lebih seneng nonton, denger podcast, ketimbang baca teks yang panjang-panjang. Jadi, ketika dibacain, gw malah dapet feel yang lebih berasa, gw bisa ngebayangin isi buku sambil narator membacakan.
Poin minus:
Pencatatan
Karena dalam bentuk audio, untuk highlight seperti yang biasa gw lakukan dalam bentuk teks agak sulit atau agak lama jadinya. Untuk mencatat, gw memaksimalkan fitur bookmark audio atau langsung tulis di buku catatan poinnya. Ini berbeda dengan versi teks yang gw bisa langsung highlight di Kindle dan semua langsung tersinkronisasi ke Readwise.
Dalam mencatat, gw butuh waktu lebih. Kalau ada versi audio dan teks, maka gw akan bolak balik, lalu baru copy ke Readwise. Jadi, gw butuh satu waktu sendiri untuk mencatat.
Belum lagi kalau misalnya tidak ada versi teksnya, gw mungkin perlu trik-trik lain biar gw enak punya rekap dari buku tersebut.
Oh ya, ini untuk buku non-fiksi ya, kalau buku fiksi gw lebih tenang, karena ga banyak yang perlu ditulis.
Pilihan Terbatas
Ga semua buku ada versi audionya, jadi pilihan bukunya terbatas, terutama di platform Storytel ya. Mungkin kalau gw mau lebih banyak pilihan bisa beralih ke aplikasi lain. Walaupun begitu, itu juga masih terbatas, ga semua buku langsung disediakan dalam 2 versi.
Cuma, menurut gw ini ga terlalu masalah, ya justru gw mau maksimalin dari keterbatasan tersebut. Baca yang ada dulu aja, nanti baru “naik level”. Yang penting adalah, kebiasaan membaca (atau mendengar) buku ini gw tingkatin dulu aja.
Nah, itu dia hasil ngulik gw di edisi kali ini. Untuk sekarang goal-nya adalah gw punya buku untuk dibagikan setiap Bincang-Bincang Buku dan gw juga rencana untuk buat konten review buku biar makin rajin dan ada tanggung jawabnya.
Jadi, goodbye 😚👆and good night 👉💥