Ketika berdiskusi & berbagi bersama teman-teman di #NgulikBareng Membangun Habit Menulis di hari Jumat lalu, ada satu pertanyaan yang terngiang hingga beberapa hari kemudian:
Bagaimana meluangkan waktu untuk menulis?
Saat itu saya menjawab berkaitan dengan pertanyaan lain, bahwa selain menjadwalkan waktu, perlu juga untuk meninjau seberapa banyak energi, kapasitas mental yang dimiliki & dibutuhkan.
Selang beberapa waktu, pertanyaan ini tetap muncul di kepala saya dan memicu untuk retrospektif sejenak tentang apa yang biasa saya lakukan untuk bisa berkomitmen pada satu atau beberapa tujuan dalam satu waktu. Sebagai seseorang yang mudah penasaran dan banyak kemauan, ada kutipan yang sering jadi pengingat bahwa saya bisa melakukan apa saja, tapi bukan semuanya.
Dari kutipan di atas kita bisa menurunkan 3 prinsip ke dalam pertanyaan. Jawaban pertanyaan ini dapat membantu untuk menentukan langkah apa yang perlu kita lakukan
Only a few things really matter: apa hal-hal yang paling prioritas dalam kehidupan sehari-hari kita? Sudahkah kegiatan sehari-hari sejalan atau menunjukkan urutan prioritas ini?
I can do anything but not everything: apa resource yang dimiliki sekarang? Dari semua keinginan atau tujuan, mana yang paling mungkin dikerjakan?
I choose to: ketika goal sudah dipilih, bagaimana cara agar langkah menuju tujuan tersebut bisa berkelanjutan?
1. Only a few things really matter
Jika ditanya, apa prioritas hidup kita, rerata orang akan menjawab keluarga, pasangan, cinta, kesehatan, dst. Jawaban ini perlu dicek ulang dalam bentuk riil di kehidupan sehari-hari, karena terkadang antara jawaban & apa yang dilakukan masih kurang sejalan. Jika memang keluarga adalah yang utama, berapa banyak waktu yang disediakan untuk memberi undivided attention untuk mereka? Pernahkah menanyakan apa bentuk kehadiran yang mereka inginkan dari kita?
Lalu, bagaimana cara mengeceknya? Saya merasa terbantu sekali karena menggunakan interstitial journaling dimana saya dapat melacak seberapa banyak waktu yang saya habiskan tiap hari atau tiap minggunya. Jika kalian sudah terbiasa dengan teknik journaling lain, bisa juga dengan menambahkan waktu atau durasi. Misalnya saja ketika journaling di malam hari, bisa refleksi dengan mengingat hari yang sudah dilalui, berapa lama yang dihabiskan untuk kerja, masak atau makan di luar, dan seterusnya. Jika kalian menggunakan jadwal yang tercatat seperti di Google Calendar, hal ini juga bisa membantu dengan menuliskan realisasi dari jadwal yang sudah ditentukan. Apakah ada yang overtime? Apakah bisa mematuhi semua jadwal tersebut?
Dari sini kemudian dievaluasi, aktivitas mana yang betul-betul penting & perlu kita lakukan. Awalnya sungguh berat untuk bisa jujur pada diri sendiri, bahwa saya menganggap keluarga & kewarasan adalah prioritas, tetapi dari evaluasi kegiatan sehari-hari nampak jelas bahwa masih banyak porsi yang (malah) memberi pressure berlebihan & memancing rasa panik. Mengeliminasi hal-hal tersebut membebaskan saya & waktu yang saya miliki untuk hal lain yang perlu atau ingin saya lakukan.
2. I can do anything, but not everything
Setelah memiliki list prioritas, waktu yang dimiliki serta kapasitas mental yang dipunyai dari poin pertama maka kita sudah punya data resource yang ada saat ini. Pernahkah kalian mendengar istilah causation & effectuation? Istilah ini dicetuskan oleh Saras Sarasvathy dari University of Washington (2001) dalam risetnya terhadap 30 entrepreneur berpengalaman tentang bagaimana mereka menerima & merealisasikan ide tersebut agar menguntungkan. Ternyata sebagian besar entrepreneur itu memiliki mindset effectuation dibanding causation. Bagaimana itu?
Orang dengan causally minded biasa menentukan tujuan terlebih dahulu, baru kemudian memenuhi apa yang diperlukan. Bayangkan kamu mau masak pancake, maka kamu bikin list untuk beli tepung terigu, telur dan susu & bahan lainnya. Sedangkan orang dengan effectually minded akan melihat bahan-bahan apa yang dimiliki di kulkas, lemari. Eh ternyata yang kamu punya adalah beras ketan, daun pisang dan daging ayam, maka kamu memilih membuat lemper.
Dalam causation, awalnya orang merasa karena tujuannya jelas maka akan mempermudah prosesnya. Tetapi yang sering luput adalah gap, jarak yang harus ditempuh menuju tujuan tersebut. Terkadang jaraknya terlampau jauh, ‘pengorbanan’ yang diperlukan terlampau banyak, hal ini dapat membuat seseorang putus asa & patah arang. Sedangkan dalam effectuation, karena berangkat dari apa yang sudah dimiliki maka yang perlu ditempuh lebih realistis, berfokus pada ‘kerugian’ apa yang mampu ditanggung, serta lebih fleksibel terhadap ketidak pastian.
Ketika melihat kembali ke belakang, saya menyadari bahwa saya sering menggunakan effectuation ketika memilih jalan di persimpangan. Saat itu saya memilih hal yang kerugiannya paling bisa saya tanggung saja. Kalaupun sampai patah hati, bisa cepat move on-nya (eh?).
3. I choose to
Jika sudah memilih tujuan & berkomitmen untuk melalui prosesnya, ada teknik goal setting yang selama ini ramai digaungkan: SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Timely). Teknik ini bagi saya memiliki banyak celah untuk dipertanyakan & kurang efektif untuk saya pribadi. Misalnya poin achievable, bagaimana kita bisa tahu sesuatu itu bisa dicapai kalau belum dicoba?
Anne Laure Le-Cunff menawarkan teknik alternatif yaitu PACT (Purposeful, Actionable, Continuous, Trackable).
Purposeful. Tujuan ini bermakna & mendukung tujuan jangka panjang hidup kita, sehingga tidak hanya relevan untuk saat ini.
Actionable. Tujuan perlu diturunkan ke dalam aksi atau aktivitas nyata yang bisa dilakukan. Hal ini membuat kita memiliki kontrol atas output yang diinginkan.
Continuous. Penting untuk merealisasikan tujuan dalam aksi simpel yang dapat dilakukan terus menerus. Dengan berfokus melakukannya secara berkelanjutan, kita dapat menyesuaikan seiring berjalannya waktu. Biar bisa berjalan terus, apa yang perlu ditambahkan atau dikurangi?
Trackable. Dengan tracking, titik tekannya adalah apakah sudah kamu lakukan atau belum? Bukan measurable. Poin ini berfokus pada apa yang dilakukan diri sendiri, bukan impact dari pihak lain yang sulit diukur.
Contoh pengaplikasian yang diberikan Le-Cunff misalnya:
SMART version of a goal: Get 5.000 subscribers in 25 weeks.
PACT version of a goal: Publish 25 newsletters over the next 25 weeks.
Dari sini kita bisa belajar perbedaan dari keduanya dan bagaimana PACT berfokus pada usaha yang bisa dilakukan secara berkelanjutan. Saat ini teknik PACT pula yang saya gunakan untuk menghadapi tes bahasa Inggris: “Berlatih materi tes selama 1,5 jam setiap hari selama 17 hari ke depan”. Saya tidak berfokus pada nilai atau band berapa yang ingin saya capai, tapi saya tahu jika saya melakukannya setiap hari maka saya melakukan continuous improvement.
Jika kamu sedang berusaha menentukan goal, barangkali kamu bisa mencoba langkah-langkah ini untuk memilih goal. Selamat mencoba!