Seminggu terakhir, saya membaca buku Four Thousand Weeks karya Oliver Burkeman. Subjudulnya cukup mencuri perhatian, Time Management for Mortals, alias manajemen waktu untuk yang manusia (yang tidak abadi). Saya merasa penekanan ini unik dan lucu. Memangnya, selain manusia, adakah makhluk lain yang butuh manajemen waktu?
Setelah membaca lebih lanjut, ternyata penekanan yang dimaksud oleh penulis adalah kembali kepada asal-usul kata mortal itu sendiri, yaitu mortalis (dari bahasa latin) yang berarti kematian. Ia mengungkapkan hal ini blak-blakan sejak di awal buku, bahwa kunci pengaturan waktu (atau bahkan banyak hambatan yang dialami manusia dalam hidup) adalah dari penerimaan manusia atas keterbatasan yang sudah pasti, yaitu kematian. Jika manusia telah memahami, legowo, serta terus-menerus akan fakta ini, maka akan banyak kesulitan yang dapat dipecahkan.
Pemikiran ini membawa saya mengembara di catatan serta tulisan yang telah saya buat. Ternyata, tidak sedikit yang mengamini sekaligus memberikan gambaran lebih luas tentang penerimaan & keterbatasan di berbagai topik. Berikut beberapa di antaranya.
Resistance vs Acceptance
Dalam buku Haemin Sunim, The Things You Can See Only When You Slow Down, ada kutipan yang telak membahas efek penerimaan dalam hidup. Seperti yang dapat kita baca, Haemin Sunim menyebutkan efek yang kita alami jika terus menerus resisten, menolak realita yang terjadi dalam hidup kita. Dari situ, jiwa kita akan terus menerus berada dalam pergerakan untuk menyesuaikan dengan kehendak kita, yang seringkali berujung pada ketidak-puasan & ketidak-bahagiaan.
Sebaliknya, untuk tidak mengalami hal ini, maka yang perlu dilakukan adalah 'complete acceptance of what is'. Penerimaan yang utuh & seluruh. Dari penerimaan inilah, pemikiran dan jiwa kita akan mampu rileks sekaligus teguh, meski dunia berubah-ubah dengan sangat cepat di sekitar kita.
Marriage & Unsolvable Problem
Dalam pernikahan, ada fakta yang tidak banyak diketahui orang tentang argumen dan penyelesaian masalah yang dihadapi. Riset dari John Gottmann membuktikan rasio antara masalah yang dapat diselesaikan dan yang tidak, 69%:31%. Ya, kalian tidak salah baca. Permasalahan & argumen dalam pernikahan itu sebagian besar tidak dapat dipecahkan (unsolvable).
Menerima rasio ini saja, cukup sulit bagi sebagian orang. Karena di kepala mereka, sudah terpatri standar ideal versi masing-masing. Permasalahan pernikahan 'harusnya' begini-begitu, berbenturan dengan kenyataan yang menunjukkan hal sebaliknya. Pertanyaannya tentu: lalu, apa yang perlu dilakukan?
Menerima perbedaan argumen masing-masing adalah hal yang ditawarkan Dr. Gottman sebagai solusi. Dibanding menghabiskan waktu untuk beradu argumen, perbedaan itu perlu diterima, diakui, sehingga kemudian bisa ditelusuri hal mendasar yang menjadi penyebab dari konflik tersebut. Tidak mungkin seseorang dapat saling mendengarkan dan menerima pengaruh/nasihat dari satu sama lain, jika ia tidak merasa diterima dan dimengerti (pendapatnya). Dari sini pula akan terbuka kemungkinan langkah selanjutnya, untuk saling menghormati dan kemudian memiliki 'shared meaning' dan tujuan pernikahan yang sejalan.
Manusia itu Mortal
Judul buku Four Thousand Week yang saya sebut di awal, tahukah kalian apa alasannya? Empat ribu minggu, berasal dari pembulatan rerata rentang hidup manusia jika mencapai umur 77 tahun. Terasa singkat? Ketika pertama kali membaca, saya pun merasa seperti itu. Sulit rasanya membayangkan kehidupan dengan batas yang jelas. Untuk itu saya mencoba cara saya sendiri, agar dapat menerima keterbatasan, dengan cara memvisualisasikannya.
Setelah melihat barisan kotak-kotak tersebut, ada yang berbeda. Saat itu saya memilih untuk berfokus pada apa yang bisa saya lakukan dengan waktu yang saya miliki.
Tetapi, setelah membaca buku ini, ada lagi pergeseran mindset yang saya coba mulai. Alih-alih menganggap bahwa waktu adalah entitas yang saya miliki, saya mensyukuri dan mengapresiasi bahwa saya mendapat kesempatan untuk hidup dan hadir di dunia sebagai manusia (yang juga dilimpahi kemampuan berpikir, memilih, dst). Dengan meletakkan kesempatan untuk hidup ini adalah anugerah itu sendiri, not taken it for granted, karena waktu tersebut tidak pernah betul-betul milik kita sejak awal.
Terdengar filosofis? Atau religius? Sila tuliskan komentar & pendapat kalian di bawah, temans!
Terimakasih sudah menyadarkan Mb Vinka.