Suatu malam sebelum tidur, aku menonton sebuah video akun Greatmind berjudul Weak Ties: Cukup Ya. Jika teman-teman asing dengan akun Greatmind, ini adalah media yang mengeksplorasi pemikiran para influencer tentang ide, aspirasi, advokasi terhadap berbagai topik kehidupan.
Video ini dibuat oleh kontributor bernama Kartika Anindya, yang dalam website Greatmind menulis dirinya adalah kurator ide. Pada video tersebut ia membahas tentang ambisi yang ibarat rasa lapar, dan bahayanya jika tidak tahu kapan merasa kenyang.
Sebuah kalimat "sulit mengenali tanda-tanda berkecukupan" terngiang dan membuatku ingin berefleksi atas bagaimana aku menjalani hari-hari selama dua minggu terakhir. PPKM (apapun plesetan kepanjangannya, tapi aku paling suka Pelan-Pelan Kita Miskin) kali ini rasanya berbeda dengan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar, usaha pemerintah menekan mobilitas masyarakat saat pandemi) tahun lalu.
Kalau dibilang lebih santai, mungkin iya tapi juga tidak. Aku tidak lagi panic hoarding: menimbun buku dan tautan sumber bacaan, mengunduh tautan untuk nonton film gratis, membeli bahan makanan untuk dikonsumsi seminggu penuh, selalu ikut webinar agar makin luas wawasan, dan cara-cara lain untuk mengisi waktu. Kali ini aku berusaha sedikit rileks, alasannya ya karena kondisi sebenarnya sudah cukup mencekam. Anggota keluarga meninggal, tetangga dan kerabat mulai tumbang, rekan kerja tidak lagi fit seluruhnya. Sudah kena mental, begitu istilah populernya.
Aku berusaha untuk sebaik mungkin mencukupkan diri pada apa-apa yang ada dalam kendali. Aku tahu badanku lelah bekerja hingga sore hari, jadi untuk mengisi waktu kupilih hiburan yang tidak melulu menghadap layar gawai. Maka dari itu, kuputuskan tidak lagi ikut webinar di hari kerja.
Aku tahu asupan bergizi penting, tapi tidak perlu membeli banyak vitamin dan suplemen. Kucukupkan pada penggantian jenis sarapanku menjadi berbentuk smoothies isi aneka sayur dan buah. Buahnya kubeli dari pedagang di pasar yang tidak pernah berhasil kurayu untuk memberi diskon.
Aku tahu ada banyak teman dan kerabat yang terpapar virus ini. Pada kondisi normal, aku selalu ingin menyemangati dengan mengirimkan makanan untuk mereka. Namun, akupun harus memikirkan kondisi terburuk untuk diriku sendiri. Kucukupkan perhatianku pada mereka dengan bertanya kabar diiringi doa, dan mengirim hantaran pada beberapa orang saja. Namun, mencukupkan diri saat berbelasungkawa rasanya masih sulit. Ada orang-orang yang ingin kupeluk dan kugenggam tangannya saat mereka berduka. Ada pula yang ingin kuantarkan hingga ke peristirahatan terakhir, namun harus kucukupkan dengan melantunkan doa-doa dari tempatku tinggal.
Pada konteks menjadi produktif pun, aku lihat banyak orang bisa punya karya yang rutin walaupun mobilitas terbatas. Kucukupkan persepsiku pada menjadi produktif dalam ranah domestik. Akhir pekanku isinya menyiapkan sarapan, menjemur bantal, menjemur diri, mencuci alat makan, membersihkan kamar mandi, menyapu dan mengepel kamar, mencuci dan menyetrika pakaian, memilah skincare yang sudah tidak prima dan kegiatan lain yang bisa dilakukan sambil pakai daster longgar.
Praktek yang kulakukan untuk merasa cukup di atas mampu membuatku tetap waras, setidaknya hingga hari ini. Aku setuju dengan cuitan Kunto Aji "Bersyukurlah kalo kamu selalu bisa merasa cukup, sepertinya itu superpower." Apakah teman-teman sedang belajar untuk merasa cukup saat ini? Mari berbagi cerita, siapa tahu teman-teman juga melewati perasaan yang sama sepertiku.