Pagi ini, di linimasa akun sosial media saya banyak berseliweran potongan video perbincangan Cinta Laura di podcast yang diampu oleh Deddy Corbuzier. Salah satu yang banyak di-repost adalah bagaimana Cinta menolak untuk mengikuti standar/konstruksi sosial, apa yang harus dicapai oleh seseorang di umur tertentu. Melihat banyaknya yang mengunggah ulang, mendukung dan mengamini pendapat Cinta, membuat saya teringat dengan beberapa pertanyaan reflektif di buku Four Thousand Weeks karya Oliver Burkeman. Tulisan ini ingin membahas lebih dalam tentang standar dan penerimaan diri.
Are you holding yourself to, and judging yourself by, standards of productivity or performance that are impossible to meet?
Pertanyaan ini jawabannya sederhana, iya atau tidak. Tetapi proses menuju jawaban tersebut barangkali yang lebih rumit dari kelihatannya. Dibutuhkan kejujuran untuk mau mengakui, apakah standar yang kita pegang itu memang tidak mungkin, atau butuh waktu lebih lama untuk dicapai. Juga diperlukan pikiran yang kritis untuk menanyakan kembali, mengapa aku menerapkan & menilai diriku sendiri dengan standar A, bukan B, misalnya. Kemudian keteguhan hati untuk meyakininya, tanpa perlu menggubris omongan orang lain & tanpa perlu merasa tertinggal (Fear of Missing Out).
Mengutip Cinta Laura, konstruksi yang ‘dicanangkan’ oleh masyarakat, belum tentu sesuai dengan keadaan dan kehidupan yang sedang dijalani tiap individu. Perlu disadari mana yang sifatnya subjektif dan objektif, mana yang mungkin atau tidak. Saat melihat pengalaman saya pribadi ke belakang, saat umur 27 - 28 tahun misalnya, banyak yang menanyakan kenapa tidak segera memiliki anak kedua. Mumpung umurnya pas, anak pertama sudah disapih dan alasan-alasan lain. Yang lebih ‘menyengat’ hati adalah memberi saran ini agar saya bisa terdistraksi dari kesedihan atas meninggalnya ayah saya. Dari sini kita bisa respon dengan 3 langkah di atas, apakah sejujurnya saya bisa bertanggung jawab dengan hadirnya anak kedua, mengapa perlu menanggapi atau mengikuti saran ini dan bagaimana saya dapat meneguhkan hati untuk menjalani hasil evaluasi tersebut.
In what ways have you yet to accept the fact that you are who you are, not the person you think you ought to be?
Dua minggu lalu saya membahas tentang menerima keterbatasan dengan beberapa topik seperti pernikahan & kematian sebagai contohnya. Pertanyaan ini masih berhubungan dengan penerimaan, tetapi lebih kepada bagaimana menyelaraskan fakta yang ada dengan apa yang ada di benak kita. Contohnya gimana tuh Vin? Misal saja, saya menganggap diri saya sebagai pembaca buku kelas berat, (atau dalam istilah trendy) seorang bookdragon. Kenyataannya, waktu yang saya sisihkan untuk membaca ‘hanya’ 30 menit per hari. Fakta ini, apakah sejalan dengan konstruksi yang ada di kepala saya? Ataukah itu bayangan atau asumsi saya saja (bahwa saya adalah seorang bookdragon)?
Menurut Burkeman, saat seseorang dapat menghadapi keterbatasannya, menerima dirinya sendiri sesuai dengan fakta (dan bukan ngotot dengan apa yang ada di kepalanya), maka hidup tidak lagi terasa tidak pasti (uncertain) dan lepas kendali (out of control). Saya juga memaknai pendapat Burkeman ini bahwa dengan semakin selarasnya apa yang riil dengan asumsi yang saya miliki, maka akan semakin mudah dalam menjalani hidup. Sebab kontradiksi yang menyebabkan ketidak-nyamanan, keresahan karena perbedaan antara yang nyata & di kepala itu semakin kecil.
Yang pelik, terkadang hal ini seperti lingkaran setan yang terus berputar. Masih berhubungan dengan pembahasan di bagian awal tulisan ini, konstruksi yang ada di kepala kita, kerap kali banyak dipengaruhi oleh pihak eksternal. Kita merasa perlu menjadi seseorang dengan standar tertentu, agar mendapat pengakuan di mata masyarakat, orang tua, standar politik dan lain sebagainya. Seolah-olah hidup ini adalah perjalanan mencari satu validasi ke validasi yang lain. Padahal, situasi dan kondisi masing-masing orang sangat berbeda dan tidak bisa disapu ratakan dengan standar yang sama.
Adalah sebuah postingan dari Kalis Mardiasih berikut ini terasa segar & jujur. Ia mengungkapkan bagaimana banyak sekali komentar & pesan yang sampai kepadanya, dengan nada berterima kasih karena ia bercerita tentang proses lamarannya yang ‘biasa’, dibungkus dengan kotak kardus mi instan. Ia mengkritisi bagaimana kita merasa perlu memenuhi hajat hidup dengan paparan ‘standar lifestyle’ yang kita temui setiap hari di media sosial & kehidupan sehari-hari. Padahal dengan menjadi ‘biasa’ saja, sesuai dengan kemampuan kita (yang riil), justru membuatnya spesial.
Apakah kalian juga mau mencoba menjawab 2 pertanyaan ini?