Menunggu dan Prioritas
Di suatu kajian, saya pernah mendengar sang penceramah berujar, "Hidup itu sebenarnya hanya menunggu waktu sholat". Dalam agama yang saya anut, sholat adalah ibadah yang prioritas, wajib dan bahkan nanti menjadi yang "dinilai" paling awal dan utama. Ada hierarki di sana dan banyak pula penjelasan mengapa seperti itu. Hal ini membuat saya berpikir tentang prioritas, dan bagaimana relasinya dengan menunggu?
Apa yang ada di benak kalian jika berpikir tentang aktivitas 'menunggu'? Membosankan? Pasif? Tidak menyukainya? Saya yakin tidak banyak yang menaruh 'menunggu' sebagai aktivitas favorit. Saya sendiri mengalami perubahan seiring bertambahnya umur, atau lebih tepatnya ketika memiliki aktivitas kesukaan yang dilakukan saat menunggu. Saya dulu termasuk orang yang terganggu saat harus menunggu. Merasa cemas dan tidak sabar. Tetapi sejak punya hobi merajut, saya menganggap waktu tunggu adalah waktu yang tepat untuk merajut. Tentu saja, hal ini perlu persiapan untuk selalu membawa project bag kemana saja. Tetapi dari hal sederhana tersebut, saya kemudian belajar menikmati proses menunggu, bahkan ketika saat ini tidak membawa rajutan, buku untuk dibaca, jurnal untuk ditulis, dsb. Dan hal yang paling membantu adalah, ketika kita tahu apa yang sedang kita tunggu itu penting dan berharga. Dari sana, saya belajar banyak tentang prioritas.
Mula-mula, saya mengalami kesulitan untuk memilah mana perihal yang prioritas. Keluarga (inti) mudah untuk langsung dimasukkan ranking pertama, tapi setelahnya...? Pekerjaan, urusan domestik, keluarga besar, jadwal ke dokter gigi, semua berlomba mencuri perhatian dan waktu kita yang rasanya sangat sempit nan terbatas. Belum lagi dengan derasnya informasi tentang hal yang terjadi 'di luar' sana. Kembali ke prinsip sholat di atas, maka saya perlu bertanya pada diri sendiri mana yang paling rela untuk saya tunggu?
Sejujurnya, tak banyak dalam hidup ini yang betul-betul penting untuk ditunggu. It's only a handful. Kadang kita dikaburkan oleh hasrat dan rasa serakah. Keinginan yang bertumpuk-tumpuk, banyak mau, tanpa benar-benar kita saring dengan seksama dan tulus mana yang paling berarti untuk diri sendiri. Dan justru setelah mengakui mana saja yang penting, dan melepaskan yang lainnya, saya lebih mudah paham bahwa hal-hal yang lain itu bisa 'menunggu' kita, bukan sebaliknya.
Tulisan ini saya mulai beberapa hari lalu dan saya selesaikan di hari Jumat, dimana sejak kemarin saya berada dalam situasi menunggu yang berulang-ulang dan tidak pasti. Dokter yang tak kunjung datang karena keadaan gawat, petugas yang harus mendahulukan pasien tertentu (memang sudah seharusnya), juga menghadapi kecemasan anak di saat yang bersamaan. Apakah pandangan saya pada ‘menunggu’ berubah karena pengalaman ini? Alhamdulillah, ternyata tidak. Justru saya semakin yakin, bahwa yang penting dan prinsip itu sedikit dan pantas diperjuangkan serta ditunggu. Semakin jelas dan tegak dalam mengenali hal-hal penting ini, maka perasaan bimbang atas ‘banyak mau’ dan FOMO menjadi lebih mudah ditawar atau diterima.