Mimpi dan Pilihan yang Perlu Diambil
It's really understandable reaction to feel and be disempowered. On the global level, it's easy to be distracted. You should address it in a very specific level area. (Tomas Frederiksen)
Kalimat di atas adalah kalimat dari dosen yang saya ikuti kuliahnya minggu lalu. Kalimat ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan, yang terdengar putus asa, dari kawan seperkuliahan: 'Then, what to do?'. Sebelumnya beliau menerangkan tentang political ecology, salah satu rumpun studi yang berusaha melihat permasalahan ekologi tidak sekadar dari sisi keadaan alami, faktor ekonomi, tetapi mundur selangkah dan melihat bagaimana jika dilihat dari lensa politik dan kebijakan-kebijakan yang telah diambil. Mengapa putus asa? Karena permasalahan-permasalahan tersebut pelik sekaligus masif. Seolah-olah tidak ada jalan keluar. Ataupun jika ada usaha-usaha yang dilakukan secara global, pergerakan menuju hasil yang diharapkan seakan nihil. Kalaupun ada, ia sangatlah kerdil.
Maka Tomas menawarkan gagasan di atas. Alih-alih tergoda untuk menyelesaikan semua dalam waktu seketika dan secepat-cepatnya, maka kita perlu mengalihkan fokus pada area tertentu. Area ini adalah ruang yang dapat diperkirakan, bagaimana suatu tindakan dapat efektif dan mengena. Di sinilah ruang 'bermain' kita, untuk memikirkan upaya-upaya yang terukur dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki.
Prinsip serupa sebenarnya telah banyak saya tuliskan di ranah produktivitas dan secara spesifik di Lagi Ngulik. Kali ini saya ingin mengulik lebih dalam, bagaimana prinsip ini dapat membantu menggapai mimpi dan memilih konsekuensi yang ditempuh.
Saya pernah berbagi tentang bagaimana memutuskan untuk melanjutkan studi di artikel ini. Saya menjelaskan bahwa berangkat dari rasa penasaran tetapi belum mendapat jawaban, dari sumber-sumber yang tersedia di sekitar saya, adalah alasan utama. Hal yang tidak dijelaskan adalah konsekuensi-konsekuensi yang saya tindak-lanjuti sebelum dan sesudah keputusan tersebut diambil. Dulu, tidak lama setelah menikah, orang tua saya pernah bertanya, apakah tidak ingin menempuh S2? Mumpung bapak-ibu masih sehat, bisa membantu sebagian biaya untuk studi di tingkat lanjut. Tentu ingin, tetapi tidak sekarang, jawab saya. Saya merasa, belum ada 'rasa butuh' mempelajari subjek tertentu. Saya berjanji pada beliau berdua, saat 'rasa butuh' itu hadir, maka akan saya usahakan dan realisasikan.
Janji ini tertanam menjadi sebuah kesadaran yang mempengaruhi bagaimana saya mengambil keputusan di banyak lini kehidupan. Misal saja, untuk finansial, ada tabungan tertentu yang diperuntukkan upgrade diri, termasuk biaya kursus-kelas online, membeli buku, menghadiri seminar yang diisi narasumber yang mumpuni, dst. Saya sadar betul bahwa menempuh studi lanjut terutama setelah menikah akan membutuhkan banyak biaya, bahkan jika saya mendapatkan beasiswa, ada banyak hal yang masih perlu ditanggung. Untuk itu, saya pun berhemat dan mengurangi pos-pos tertentu: konsisten membuat meal plan, menetapkan anggaran dan disiplin mengikutinya. Bertahun-tahun menjalani ini, buahnya dapat dirasakan saat saya mendapatkan beasiswa LPDP. Komitmen kami untuk bersama-sama sebagai keluarga ke manapun dapat dipenuhi, karena biaya untuk visa, tiket dan lain-lain sudah ter-cover dari tabungan yang terkumpul.
Bagaimana dengan konsekuensi yang dirasakan setelah bersekolah? Memilih bersekolah di usia 30an tentu berbeda dibandingkan dengan 20an. Begitu pula dengan status dan peran yang diemban. Di awal-awal masa studi, ada rasa FOMO (Fear of Missing Out) saat kawan-kawan di jurusan merencanakan hang out, tetapi di malam hari saat biasanya saya perlu mengalokasikan waktu bersama dengan anak. Atau saat acara-acara societies atau unit mahasiswa yang menarik dan ingin saya ikuti, waktunya bertabrakan dengan tanggung jawab lain sebagai istri dan ibu. Di saat seperti itu, saya mengingatkan diri sendiri pada alasan mengapa saya ingin belajar. Dengan kembali pada tujuan awal, menyadari bahwa selalu ada yang harus dipilih.
Kembali pada kalimat Tomas, akan mudah merasa tersesat dan hilang arah saat berada dalam perjalanan mewujudkan mimpi. Tetapi perlu kita ingat kembali, di mana area bermain kita, yang realistis, dan dapat diubah dengan usaha sendiri semaksimal mungkin.