Rasanya dalam 10 tahun terakhir, minum kopi jadi pop culture yang sangat menjamur di Indonesia. Mungkin ini bermula ketika kopi-kopi retail mahal seperti Starbucks menjadi mainstream. Ketika minum Starbucks atau at least megang gelasnya aja jadi simbol status sosial.
Setelah itu pun, muncul beberapa brand “Starbucks” Indonesia yang memakai konsep kata-kata dengan “hati” saat “generasi galau” lagi naik-naiknya seperti Kopi Kenangan, Janji Jiwa, Kopi Lain Hati, bahkan kalau mau dicari nama-nama yang tokonya lebih kecil, pasti ada semacem Kopi Janji Manis, Kopi Teman Hati, atau Kopi Main Hati.
Kemudian, tren yang gw liat adalah tiba-tiba orang bikin kopi sendiri di rumah dan menjadi barista dadakan. Pekerjaan barista di cafe pun jadi bisa dibilang seksi hingga mungkin saat ini.
Melihat hal-hal ini, ya gw pun juga sebenernya juga ikut-ikutan untuk meminum kopi atau nongkrong di cafe untuk bikin tugas atau kerja, tapi ga pernah mendalami ilmu pembuatan kopi atau ikut-ikutan jadi barista.
At least, ada 3 hal yang buat gw rasa gw ga mau ikut-ikutan terjun ke dunia kopi. Pertama, mahal. Karena kalau kita lihat harga mesin, alat, dan biji kopi, bisa ada yang ratusan ribu, dan bagi gw, apa sih bedanya. Kedua, gw melihat kopi itu sangat eksklusif dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu. Terlebih lagi, kopi itu feel di gw ya feel “anak senja”, orang-orang yang pakai baju hitam, nongkrong ngomongin politik di cafe, Instagram Story penuh dengan foto langit sore disertai kata-kata puitis sambil memutar lagu indie yang kita ga tau band-nya ternyata ada. Beda banget sama gw yang feel-nya lebih colorful seperti pakaian dari Power Rangers. Dan terakhir, gw berasa too much aja, udah banyak kopi-kopian, kenapa gw harus masuk ke kategori ini juga.
Tapi, di awal tahun ini, gw mencoba untuk membuka kesempatan untuk belajar hal baru, yaitu kopi menjadi salah satunya. gw merasa, bisa jadi 3 hal yang gw sebutin di paragraf sebelumnya adalah limiting beliefs gw. Jadi, why not untuk mencoba.
Sebulan ini, gw akhirnya mencoba beli alat-alat kopi sederhana, yaitu untuk manual brew dengan dibantuin temen gw, Wibi, yang udah masuk ke dunia kopi terlebih dahulu.
Beberapa progress-nya udah gw sampaikan juga di beberapa video Instagram ini:
Di post ini, gw mau lebih highlight apa jawaban gw terhadap limiting beliefs tadi, mari kita bedah satu per satu.
KOPI ITU MAHAL
Sesudah mencoba mengulik kopi, jawaban untuk hal ini adalah iya dan tidak. gw elaborasikan. Jawabannya tidak, karena sebenernya untuk membuat kopi yang kopi, basic gitu, ga perlu alat yang mahal. Misalnya di postingan instagram di bawah, gw menjelaskan kalau dengan budget di bawah Rp500.000 sebenernya udah bisa membuat kopi.
Nah, tapi, ketika mau terjun lebih dalam, maka jawabannya bisa iya. Karena sepertinya sama ya dengan hal-hal lainnya, ada harga ada barang. Misalnya saja dari biji kopi, mau merasakan biji kopi yang aromanya beraneka ragam, tentu lebih mahal harganya. Atau mau buat menu-menu kayak latte, cappucino, magic, dan machiato, nah itu butuh alat-alat yang ga murah. Anggeplah, alat-alat yang lebih pricey bisa ekstrak kopi sampai di level 8 dari skala 1-10. Sementara alat-alat yang murah cuma di level 3.
So, sebenernya limiting belief gw yang ini bisa terbantahkan. Bisa jadi, kalau gw masuk lebih dalam dan bahkan bisa menghasilkan dari kopi, belief-nya jadi invalid.
KOPI ITU EKSKLUSIF
Kopi itu cuma buat “anak senja”, gw rasa itu yang ada dipikiran gw selama ini. Tapi, bukan berarti orang-orang yang penuh warna ga bisa ikutan. Kalau ini, gw bisa bilang lebih ke pikiran gw aja. Ternyata, setelah gw mulai belajar, ga banyak orang yang udah berpengalaman mau ngajarin juga kok. Misalnya, di video ini gw tanya-tanya sama barista, dia mau ajarin. Terus juga ada sepupu yang punya cafe juga mau kasih insight-nya dia.
Ya jadinya, gw rasa ketika kita mau belajar benar-benar, menghormati industrinya, orang pun juga mau menerima kita walaupun berbeda, atau bahkan sebenernya kesan itu cuma ada di pikiran kita aja. Justru mungkin gw yang akan nambahin warna di industri kopi yang monokrom.
KOPI UDAH TOO MUCH
Selama sebulan ini, gw justru merubah cara berpikir untuk “too much” ini. Justru malah pengen pelajarin lebih banyak lagi tentang kopi. Ternyata perasaan “too much” ini ya karena emang sebenernya teknik atau rasa kopi itu memang banyak. Dari biji kopi aja, gunain biji kopi yang berbeda udah jadi beda rasa. Menggunakan perbandingan air dan gilingan kopi yang berbeda aja udah berubah rasanya. Gelas yang dipakai buat minum sampai kasar atau halusnya gilingan biji kopi. Elemennya banyak banget.
Apalagi ketika gw menambahkan bumbu gamification, “gimana kalau gw ubah perbandingannya?”, “gimana kalau gw ganti dari gelas beling ke keramik?”, itu udah akan ada catetan yang berbeda.
Makanya, ini juga terbantahkan, “too much” sekarang berubah jadi “banyak banget yang belum gw cobain ya.”
Udah hampir sebulanan gw ngulik, walaupun ga tiap hari, next-nya apa? Saat ini gw pikir, kopi ya udah jadi hobi aja, tapi juga bukan yang into banget. Lebih jadi opsi untuk mengisi waktu luang dan gw jadi punya topik pembicaraan baru juga, soal mau belajar kopi.
Kalau mau gw dalemin lebih, gw bisa mulai dari seriusin si gamification tadi, gw bikin jurnal kopi, kayaknya menyenangkan. Dan yang lebih jauh lagi, gw ada kepikiran untuk bikin brand kopi yang terkonsep, tapi ini masih jauh banget, gw stick ke hobi manual brew aja dulu.
Ngulik basic coffee tercapai, gw masih ada rencana ngulik hal lain di bulan depan.
goodbye 😚👆and good night 👉💥