Random & Luck
Hi temans pembaca Lagi Ngulik! Bagaimana awal tahun 2023 kalian? Mine was random & lucky. Kok bisa? Tenang, saya akan ceritakan. Tidak biasanya, di artikel ini saya ingin untuk berbagi cerita dengan lebih informal. Barangkali terdorong tema yang saya jadikan judul ya. Let me tell you what's interesting with these two.
Random
Buku bacaan yang saya baca di awal Januari ini memiliki benang merah tentang sesuatu yang acak. The Black Swan karya Nassim Nicholas Taleb misalnya menekankan ketidak-mampuan manusia untuk memprediksi dan memperkirakan masa depan. Bahwa hal yang tak terduga itulah yang biasanya memiliki impact paling besar dalam kehidupan. Selain karena kenyataan yang ada di dunia ini memang bermacam-macam bentuk dan variasi atau variabelnya, bias pikir yang dimiliki manusia seringkali memperparah deviasi antara kemampuan kita dan realita yang ada.
Di Hell Yeah or No karya Derek Sivers yang juga saya baca bersamaan, saya mendapati satu chapter yang juga membahas keacakan ini dengan judul “What are the odds of that?”. Di sini ia mengamati banyak orang yakin bahwa tidak ada yang namanya kebetulan. Kebetulan bertemu kawan yang puluhan tahun tidak bertemu, misalnya, bisa-bisa saja terjadi meski probabilitasnya nampak tipis sekali. Derek menekankan betapa ia percaya bahwa semua hal itu kebetulan (coincidence).
Ternyata di keseharian pun, kejadian yang acak itu banyak saya rasakan dan temui. Misal saja ketika sore-sore naik sepeda motor bersama suami ke desa sebelah, mendadak bertemu rombongan drumband yang bermain untuk salah satu rumah di situ. Bertemu biawak lebih panjang dari 1 meter yang sedang menyeberang jalan, atau bahkan suami yang ‘disapa’ musang di sebelah rumah. Padahal menilik tempat tinggal yang bukan di hutan belantara, siapa yang sangka hal-hal ini akan terjadi. Saya kemudian menyadari, bahwa kans itu tentu tetap saja ada. Karena mereka juga makhluk hidup yang menghuni bumi ini.
Luck
Bicara keberuntungan, saya langsung teringat pemaparan Morgan Housel dalam bukunya The Psychology of Money tentang Bill Gates dan kawan SMAnya, Kent Evans. Bill Gates dengan bersekolah di Lakeside School, ia memiliki guru Bill Dougall veteran Perang Dunia II yang menjadi guru matematika dan sains di sana. Bill Dougall ini mengajukan proposal untuk menyewa satu komputer Teletype Model 30 di tahun 1968. Karenanya Bill Gates beruntung, karena punya akses ke komputer saat ia berada di kelas delapan. Ia punya waktu dan kesempatan untuk ngulik komputer di saat ratusan juta orang pada saat yang sama tidak memilikinya. Ia beruntung.
Kent Evans adalah kawan sekelas Bill Gates, bahkan diakui sebagai yang terpintar. Mereka membicarakan rencana bisnis, sama-sama menggandrungi komputer, merancang masa depan bersama. Tetapi semua itu tidak terjadi. Kent meninggal dalam kecelakaan ketika naik gunung sebelum lulus SMA.
Keberuntungan itu juga coincidence menurut saya. Ia adalah keadaan yang tak bisa diperkirakan karena variabel yang terlampau banyak hadir di dunia ini. Keberuntungan juga terkadang bisa menjadi relatif, karena ia tergantung kacamata yang melihat. Saya merasakan dan mensyukuri betul ‘keberuntungan’ yang saya miliki terkait proses mencari sekolah untuk anak. Baik saat ia masih di bangku PAUD, ketika berpindah ke Inggris dan kembali ke sini. Beberapa kali saya mendapati cerita anak-anak teman yang mengalami bullying, tetapi alhamdulillah kami beruntung menemui orang-orang yang tidak hanya baik hati tetapi juga sangat membantu proses yang terjadi di antaranya. Di hari pertama masuk sekolah saja tak terhitung hadiah pemberian dari teman-teman yang baru ia kenal.
Beberapa sumber menyarankan hal-hal yang bisa kita lakukan agar memperbesar kemungkinan hadirnya keberuntungan dalam hidup. Contohnya thread yang dituliskan Sahil Bloom berikut ini.
Lalu, apa kesimpulan dari tulisan ini. Tidak ada, haha. Saya lebih condong kepada mengingatkan diri sendiri untuk lebih bersyukur pada hal-hal dalam hidup, baik yang beruntung maupun yang acak. What’s your thought?