Mimpi adalah bahasan yang saya tuliskan beberapa kali di Lagi Ngulik. Misal saja tentang bagaimana merealisasikan mimpi, konsekuensi yang perlu dipilih dalam proses mewujudkan mimpi dan merawat mimpi yang skalanya besar. Kali ini, saya mendapatkan insight menarik setelah membaca buku The E-Myth Revisited dari Michael E. Gerber. Penjelasan dari buku tersebut menjabarkan sisi dalam diri kita yang 'berani bermimpi'. Seperti apa maksudnya?
The Entrepreneur
Buku The E-Myth Revisited adalah buku yang membahas tentang small business, atau dalam bahasa Indonesia kita lebih akrab dengan istilah UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Sang penulis adalah konsultan yang mengkhususkan diri pada UMKM di Amerika Serikat dan telah memiliki rekam jejak selama beberapa dekade saat menuliskan buku ini. Dijelaskan dengan bentuk seperti percakapan riil antara ia dan kliennya (pemilik UMKM), buku ini mudah diikuti dan menggunakan analogi yang gamblang. Salah satunya ketika menjelaskan tentang 3 karakter yang ada dalam diri pemilik UMKM: The Entrepreneur, The Manager dan The Technician. Entrepreneur adalah karakter yang memiliki mimpi besar, visi ke depan dan berpikir tentang bagaimana mengembangkan bisnisnya. Sedangkan Manager berpikir tentang rutinitas, jadwal dan sistem yang diatur sedemikian rupa dalam bisnis. Teknisi berpikir bagaimana sebuah tugas itu dapat selesai, berfokus pada perihal teknis.
Alih-alih melihat ketiga sosok ini hanya dalam kerangka bisnis, menurut saya pribadi, ia bisa diaplikasikan pada semua orang. Dalam diri manusia, ada bagian yang berambisi dan memiliki visi, juga yang merindukan keteraturan, sekaligus yang ingin menyelesaikan tugas. Masalahnya, ketiganya tidak mau diatur. Lalu apa hubungannya dengan mimpi?
(Terus) Bermimpi
Dalam The E-Myth Revisited, E yang dimaksud di sini adalah Entrepreneur. Berger mengungkapkan data bahwa tiap tahunnya di Amerika Serikat, lebih dari 400 ribu UMKM gulung tikar. Dari pengalamannya menjadi konsultan, ia menengarai pola yang berulang dan terjadi pada bisnis yang gagal tersebut. Singkatnya, dalam bisnis-bisnis tersebut sisi Entrepreneur tidak dapat ‘memimpin’ dan diambil alih oleh peran lainnya.
Keputusan memulai bisnis biasanya dimulai oleh Entrepreneur dalam jiwa kita. Trigger-nya bisa macam-macam: dibilang jago bikin kue, membayangkan lepas dari rutinitas kerja kantoran, keinginan untuk bisa kerja yang diatur sendiri, dsb. Tetapi, ketika berhadapan dengan realita kebutuhan skill yang perlu dimiliki saat menjalani usaha, banyak yang buyar: Manager dan Teknisi berebut setir sang nahkoda untuk mempertahankan bisnis. Berger berargumen bahwa, Entrepreneur-lah yang perlu untuk dijaga agar selalu ‘nyala’ dalam diri pemilik bisnis jika ingin sukses dan bertahan lama. Mengapa? Karena peran Manager dan Teknisi lebih mudah untuk digantikan sistem yang baik dan juga didelegasikan pada orang lain. Sedangkan tanpa ruh Entrepreneur, bisnis yang telah dimulai hanya akan menjadi ‘job’, bukan ‘business’.
Prinsip yang dijelaskan Michael E. Gerber di atas tentang Entrepreneur terasa dekat bagi saya. Sebagai perempuan yang memiliki banyak ‘topi’ alias peran, merawat mimpi bukan urusan mudah. Standar ganda yang masih umum ditujukan pada seorang ibu, ekspektasi (dan juga judgment) terhadap peran istri, stereotip tertentu pada perempuan yang punya ambisi, serta banyak hal lain yang masih perlu dihadapi ketika memperjuangkan mimpi pribadi. Untuk itu, mewujudkan mimpi perlu didukung oleh kepemimpinan dari jiwa Entrepreneur kita. Dengan catatan, sisi Manager dan Teknisi sudah dipenuhi kebutuhannya dengan membangun sistem dan flow yang baik, sekaligus pengetahuan yang cukup untuk menyelesaikan tugas.
Tanpa disadari, hal ini mirip sekali dengan yang saya tuliskan dalam artikel tentang memilih konsekuensi. Bagian Entrepreneur menjaga janji saya kepada orang tua untuk menempuh pendidikan S2. Sang Manager membangun sistem meal plan, budgeting bulanan hingga kesepakatan tugas pengasuhan anak dengan suami. Sedangkan Teknisi hadir ketika tugas-tugas tersebut sudah tersusun dan perlu dilaksanakan. Tanpa kehadiran tiga elemen diri ini, tentu sulit menjalaninya. Tetapi, saya sepakat dengan Gerber, jika visi Entrepreneur itu hilang, maka kita akan terjebak dalam tirani rutinitas semata.