Minggu lalu, umur saya beralih ke angka 34. Momen yang pas untuk melihat kembali ke belakang, apa yang sudah saya pelajari selama setahun terakhir.
I never felt this ‘young’ before
Andai saya bisa meminta diri saya yang berumur 22 tahun dulu, mencoba untuk mengimajinasikan bagaimana rasanya berumur 34 tahun. Saya yakin, prediksi yang muncul akan meleset jauh dengan realita sekarang. Di awal 20an, umur 30+ nampak sangat tua, minim kesempatan, dikekang kewajiban dan ikatan yang berat untuk diatasi (pekerjaan, peran sebagai orang tua, dsb). Entah, apakah saya dulu berkumpul dengan orang-orang ber-mindset pesimistis atau bagaimana. Sering sekali saya mendengar “Wah, kalau aku ga bisa Vin, umur udah segini…”.
Saat berada di titik ini, justru banyak sekali kesempatan terbentang luas, opsi itu tersedia, perihal sulit itu bisa dibicarakan, and people are willing to help (if you ask for it nicely & properly). Saya jadi bertanya-tanya, apa ada yang salah dengan konstruksi pemahaman atas umur yang dimiliki masyarakat? Jika iya, apa yang perlu kita lakukan?
Hidup dan Tanggung Jawab itu Bergandengan
Di usia 20an, terdapat rasa kewalahan menghadapi kewajiban dan tanggung jawab yang bertambah. Barangkali ini yang disebut Quarter Life Crisis. Di satu sisi ada rasa senang karena mendapat kepercayaan lebih atas keputusan hidup yang telah dibuat, bangga karena telah memiliki pendapatan sendiri, tetapi merasa ‘kok banyak sekali yang harus diurus, dipikirkan dan dikerjakan’. Keinginan dan cita-cita tumpang tindih, tetapi sulit sekali untuk memutuskan jalan hidup mana yang betul-betul ingin ditempuh.
Di dekade ketiga ini, perasaan tersebut meluruh. Tidak banyak ‘melarikan diri’ lagi dengan keadaan-keadaan yang tidak nyaman.
“Hidup itu pasti ada senang, ada juga susahnya”.
Kalimat ini klise, tetapi jika bisa memahami dan menghayatinya, maka pergumulan dan kegelisahan yang muncul justru dapat berlalu lebih cepat. Bukan berarti hilang seluruhnya. Mereka masih ada (dan akan selalu ada), tetapi lebih mudah diterima dan bergeser dari hidup kita. Toh, saat menghadapi ketidak-nyamanan tersebut, kita boleh limbung, menangis, sedih, meminta-menerima bantuan, memeluk orang terkasih dan melakukan apa-apa yang memang perlu untuk melewati tantangan tersebut.
Disiplin, Komunikasi Asertif dan (Menjadi) Dapat Diandalkan
Tiga skill ini adalah bekal sehari-hari yang sangat bermanfaat selama setahun terakhir. Perpindahan tempat tinggal, proses adaptasi, berjumpa dengan orang-orang baru serta menjalin lagi relasi menjadi lebih mudah saat melakoninya dengan ketiga hal tadi. Disiplin sendiri mencakup banyak hal seperti habit, self-awareness dan prioritas. Untuk menjadi dapat diandalkan (reliable) maka perlu ketegasan, memegang janji, dapat dipercaya dan kejujuran. Sedangkan komunikasi asertif erat kaitannya dengan kemauan mendengarkan, keberanian dan rasa percaya diri. Kesemuanya saling melengkapi dan membuat hidup jadi lebih mudah.
Pagi itu, setelah mendapatkan ucapan dari Ibu, saya ganti bertanya: “Apa perasaan yang muncul sekarang, saat putri terkecil sudah berumur 34 tahun?”. Bahagia, kata beliau. Serta di saat yang sama mengingatkan diri sendiri untuk terus berikhtiar agar tetap sehat, sehingga dapat menemani anak-cucu sekuat yang Allah izinkan. Beliau sangat serius menjalani kalimat terakhir itu.
Selama 2 tahun terakhir, beliau konsisten mengajar yoga di ruang terbuka beberapa kali sepekan, secara cuma-cuma. Komunitas yang berawal 4 orang telah tumbuh menjadi 60-an peserta saat ini. Niat baik, ketekunan, konsistensi dan kemampuan komunikasi asertif membawa beliau ke tempat-orang-relasi yang tidak pernah diduga sebelumnya. Di komunitas sosial, komunitas agama, lingkungan tempat tinggal, beliau berperan aktif dan rezeki yang didapat darinya pun melimpah ruah. Acara beliau berderet-deret, rasanya jauh lebih sibuk dan lebih luas dibanding saat masih aktif mengajar. Di satu kesempatan, dalam acara audiensi dengan kepolisian dan pemerintah daerah, beliau bertanya bagaimana caranya agar bisa mengatasi kekurangan kursi roda untuk orang-orang yang mobilitasnya menurun karena penyakit. Komunitas sosial dimana beliau menjadi anggotanya hanya mampu meminjamkan beberapa dan permintaan itu terus datang. Jawaban yang diberikan terdengar normatif saja. Tetapi, kurang dari seminggu, hibah 10 unit kursi roda pun datang. Di video berikut, Ibu saya adalah yang menyambut kedatangan Ibu Bupati.
Tahun ini, Ibu berumur 63 tahun. Dengan melihat bagaimana beliau bertumbuh hingga sekarang, saya percaya bahwa kesempatan yang datang tak pernah dibatasi oleh umur. Di saat yang sama, tak perlu pula kaku membatasi definisi kesempatan hanya pada hal-hal yang kita inginkan. Terkadang, ia memiliki bentuk yang melebihi kemampuan imajinasi manusia.