#AbisNgulik: Diskusi Letting Go
Di hari Rabu, 15 September 2021 lalu, Lagi Ngulik mengadakan diskusi bersama teman-teman dengan tema Letting Go. Melepaskan, seringkali berkaitan dengan rasa sesal, pilihan dan ketika diperbincangkan di sini, sangat erat dengan penerimaan. Berikut pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan dijawab dengan perspektif yang beragam1
Pengalaman letting go apa yang terberat buat teman-teman semua?
“Bagiku pengalaman ketika orang tua bercerai tanpa melibatkan aku.”
“Melepas mimpi atau cita-cita.”
“Melepaskan jurusan kuliah yg dipengenin banget & udah diterima.”
“Letting go nenek meninggal.”
“Berpisah dengan anak.”
Tips ambil keputusan biar ga ujungnya nyesel mulu, kepikiran mulu jadinya sedih dan berujung berandai-andai yang ga sehat kayak “coba dulu gw pilih itu ya idup gw lebih baik kali ya”
Kalo aku, berusaha untuk menjalani setiap keputusan dengan percaya bahwa keputusan yg diambil sudah yang terbaik dan yang paling cocok dengan kondisi saat itu. Artinya, berusaha memahami bahwa pilihan-pilihan lain yang tidak aku ambil itu belum tentu membawaku ke titik seperti saat ini. (Sitta)
Apapun keputusannya, pasti akan ada rasa sesal sih, justru memikirkan “seandainya pilih yg lain” itu jebakannya. Dengan berpikir “seandainya”, hanya menambah kebingungan, seakan-akan hal tersebut adalah opsi yang tersedia. Padahal tidak. Proaktif terhadap pilihan yang tersedia sekarang bisa mengurangi sedikit “rasa bersalah”. (Zaid)
Ketika menghadapi kegagalan, bagaimana cara kita mengetahui bahwa ini adalah 'tanda untuk stop' atau 'tanda untuk berjuang / mencoba lebih keras lagi'?
Jika bicara perihal kegagalan, berusaha memisahkan antara kegagalan & diri sendiri. Yang gagal adalah usahanya, bukan orangnya. Lalu minta pendapat sama orang lain yang tidak punya ikatan emosional dengan hal tersebut, agar bisa lebih objektif & bisa refleksi, ke depannya bagaimana agar tidak terjadi hal yang sama. (Vinka)
Dengan membuat visualisasi batas akhir, bisa berupa deadline atau hasil akhirnya dan mengenal sinyal hati karena yang bikin kita sanggup lanjut atau berhenti itu hati (dengan syarat kalau hatinya sudah terlatih untuk rutin dijernihkan). Jangan lupa berdiskusi dengan orang terpercaya, pertimbangkan ulang juga dan berdoa. (Sita)
Planning semuanya dari plan A sampai Z, saat satu persatu sudah dilakukan dan kita tetap gagal, ya berarti itu belum jatahku. (Wulan)
Mencoba untuk memberi tenggat waktu dan goals kecil apakah bisa tercapai, jadi ketika gagal, kita juga tahu sampai di mana proses kita. Dan hal ini membuat kita menyadari bahwa tidak pernah “sepenuhnya” gagal, karena sebenarnya sudah memiliki pembelajaran & mencapai goals kecil tadi.
I just read this article by Mark Manson2 and feeling like want to discuss with more people about letting go & surrender. [Secara singkat artikel tersebut memiliki pandangan bahwa ada batas ketika kita berusaha. Tidak perlu terlampau keras/ngoyo dalam mengejar suatu hal]
Karena emang baru bisa disadari hikmahnya setelah keluar dari sebuah cobaan/ujian/proses. Kalau dilihat maju, kita nggak bisa tau pasti tentang masa depan. Ada analogi yang dipelajari dari podcast Thirty Days of Lunch bersama Reza Gunawan. Bahwa ketika kita sedang di dalam masalah, itu sama halnya seperti dalam lorong gelap. Yang terpenting saat itu adalah tahu bahwa ada cahaya terang di ujung sana & melewati lorong tersebut. Pembelajaran/hikmah, hanya dapat didapat setelah melewati lorong itu. (Sita)
Melepaskan itu butuh pegangan pengganti, saat transisi ketika kembali sendiri itu menjadi sulit, apalagi harus sadar bahwa satu persatu yg diharapkan tidak terwujud. Lalu tiba tiba yg terburuk justru muncul. Melepaskan, mudah. Tp berdamai? Bisa kembali mengingat tanpa harus berdrama penuh air mata? Seketika bengong ketika ada satu barang yg mengingatkan.
Pengalaman letting go yang terkait relasi & menimbulkan rasa sedih setelahnya, aku memilih untuk tidak apa-apa bersedih, karena sedih/bengong/termenung itu wajar. Yang cukup membantu misalnya dengan memberi batasan waktu (1 hari, misalnya). Keesokan harinya mulai lagi, meski masih ada rasa sedihnya sedikit-sedikit pun gakpapa. Emosi itu naik turun, timbul tenggelam. If I resist, it’ll only persist. (Vinka)
Pengalaman letting go yang paling berat adalah berpisah dengan anakku karena dibawa ayahnya, aku cuma punya harapan kalau suatu saat akan bertemu lagi dan berkumpul seperti dulu. (Wulan)
Dari pengalamanku, proses untuk berdamai dibantu dengan psikolog. Karena dulu aku cenderung memendam emosi, menganggap ‘aku baik-baik aja, aku gapapa’. Dari emosi yang ku pendam, jadi stres berkepanjangan jd memang butuh terapi untuk bantu berdamai dan praktik filsafat Stoa. (Sitta)
Gimana belajar let go buat kesalahan saat trading?
Menganggap sebagai biaya belajar tapi dari awal sebelum masuk ke trading uda memastikan pakai uang dingin, kalo profit ya anggap saja itu sebagai bonus belajar + ke depannya disiplin sama trading plan yang dibuat. (Odit)
Apa pelajaran terbaik yg didapatkan dari proses Letting Go yang teman-teman lakukan?
Bisa move on. (Namira)
Belajar bisa menerima ga semua yg direncanakan akan berjalan apalagi kalo menyangkut orang lain. (Odit)
Belajar pasrah dan menyerahkan semua kepada yang Di-Atas. (Wulan)
Belajar berusaha melihat sesuatu lebih dalam, mengenal diri lebih jauh. (Zaid)
Terima kasih untuk teman-teman yang hadir di diskusi: Namira, Sita, Zaid, Sitta, Wulan, Odit, Prima. Sampai jumpa di diskusi-diskusi selanjutnya!
P.S.: Jika belum subscribe newsletter kami, klik tombol di bawah ini ya.
Pertanyaan dituliskan tidak berdasar urutan kronologis saat diskusi