#AbisNgulik: Membangun Habit Menulis
Di hari Jumat, 19 November 2021 lalu, Devon, Vinka, Velika, dan Yudha sharing bagaimana mereka membangun habit menulis dari pengalaman #writingtap, menulis seratus hari berturut-turut di internet.
Ada beberapa pertanyaan yang masuk dan dijawab selama sesi, berikut adalah hasil rekapnya dari pertanyaan-pertanyaan yang masuk dan dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: Habit dan Komitmen, Percaya Diri, dan Mindset.
Habit dan Komitmen
Apa yang membuat kalian memutuskan untuk membangun habit menulis? Apakah ada moment/kejadian yang membuat kalian tidak ingin melanjutkan habit ini?
Ada 2 hal: melatih alur berpikir karena writing is thinking & untuk bikin data untuk diri sendiri yang sering self-doubt tidak bisa konsisten. Setelah melakukan #writingtap jadi ga bisa self-judge terus, karena ada buktinya kalau aku bisa konsisten. Ketika selesai #writingtap sempat ngerasa ingin berhenti dulu, dan memang stop sementara aja. Pada prakteknya tetap menulis setiap hari meski tidak semuanya dipublish tiap hari layaknya saat #writingtap. (Vinka)
Karena menulis adalah basic dari banyak hal, ketika menguasai menulis, akan lebih mudah mengerjakan hal lainnya. Waktu #writingpat tentu ada kejadian yang membuat ga mau melanjutkan, yaitu jenuh, atau udah lagi capek kerja masih harus nulis, itu yang buat malas nulis, tapi akhirnya nulis juga walaupun seadanya. (Devon)
Jawabanku sangat personal. Pertama, aku adalah orang yang kurang mahir dalam menyampaikan sesuatu secara lisan, tapi ketika itu dalam bentuk tulisan rasanya lebih nyaman. Kedua, bagiku menulis adalah hal paling mudah untuk aku lakukan ketika aku berada dalam momen kehidupan yang membuatku merasa gak tau harus berbuat apa. Berteriak butuh ruangan yang kedap, berbicara butuh teman, tapi menulis cuma butuh 2 modal yang udah aku miliki; otak yang bergejolak, dan tangan yang bergerak. Setiap orang butuh mengeluarkan sesuatu dari dalam kepalanya, dan untukku pribadi cara yang paling nyaman dan mudah adalah menulis. Kalau momen yang bikin gak mau nulis lagi sih sepertinya gak ada, tapi momen dimana gak memosting tulisan tentu ada. Tapi untuk menulis, aku tetap melakukannya walaupun sekedar di note hp, laptop, atau buku saku. (Yudha)
Kurang lebih ada di post #writingtap pertamaku. Dulunya since as long as I can remember, aku sudah suka nulis apapun. Scribble anything. Selalu keep note. Lalu ikut jurnalistik sekolah waktu SMP, memutuskan ga lanjut di SMA tapi tetep nulis untuk personal. Di satu titik, aku berhenti menulis, dan aku progress down. Banyak yang berubah malah ketika aku tidak menulis, and I missed feeling well again, feeling connected to my own thoughts. That’s why I re-build my writing habit again. It helps me a lot to cope up with things. (Velika)
Gimana caranya stay committed?
Bagiku, punya tujuan/alasan yang sederhana adalah salah satu hal yang bisa membuat kita komit terhadap sesuatu, termasuk menulis. (Yudha)
Punya goal yang jelas. Seperti menulis 100 hari, jelas tujuannya, 100 hari. Akan memudahkan untuk komitmen. Jadi di otak kepikiran “oke, cuma 100 hari nih” dan lama-lama jadi terbiasa. Kalau goalnya masih belum jelas atau terlalu jauh, coba pecah-pecah, misalnya dari 100 hari, fokus dulu ke 30 hari, atau seminggu, atau sehari. (Devon)
Menambahi 2 poin di atas, kenali pola diri. Selama ini komitmen jangka selama apa yang bisa dipertahankan? Kalau tidak bisa terlalu lama, ya ubah kalimat berpikirnya aja. Kadang mungkin memang diri ini ga bisa komitmen yang di-state jangka panjang, tapi bisa jangka pendek; and it’s okay that it doesn’t work for us. Artinya kita tinggal cari jalan lain aja. Kalau sebulan ga bisa, sebut aja: berkomitmen untuk melakukan/menjadi X selama seminggu. Terus dilanjutkan lagi, lagi, lagi. Sampai ya itu jadi bagian diri. Another tip: make it as your identity statement; when it is your identity, it means you just simply act out as yourself (reference to Atomic Habits, it helped me). (Velika)
Bisa dibalik juga untuk menjawab: Dari yang sudah-sudah, kenapa susah berkomitmen? Why is it so hard (for me) to commit? Ketika sudah bisa jujur apa yang berat, kemudian hal ini dikurangi perlahan agar lebih mudah. (Vinka)
Bagaimana meluangkan waktu untuk menulis?
Kenali waktu produktif, make time within that. 30 menit aja gapapa, asal beneran nulis. 1 paragraf pun gapapa. Kalau aku: produktif mikirku malam karena lebih jernih berpikir ketika sunyi dan sendiri. Jadi kadang lewat tengah malam baru kelar nulis. (Velika)
Jawaban simpelnya: pilih waktu (aku biasanya pake alarm juga penanda waktunya nulis), lalu saat waktunya udah tiba, jauhkan distraksi yang mengganggu. Tambahan dariku, ada 1 habit yg sangat membantu untuk hal ini yaitu kebiasaan segera menulis sesuatu yang sekiranya jadi keresahan kita secara tiba2 (gak harus tersusun rapi, asal tuangin aja semua pikiran). Biasa aku catat di notes hp ataupun buku saku. Dengan begini agak sedikit membantu karna saat jadwal menulis tiba, kita bisa liat ‘catatan’ yang kita buat tentang apa yang kita rasakan atau pikirkan yang ingin kita sampaikan, jadi mulainya gak dari nol banget. (Yudha)
Bikin jadwal dan to-do list sih secara umumnya. Tiap hari gw punya to-do list untuk mengambil ide dari orang lain untuk dicatet. (Devon)
Saya mau bertanya apakah membangun habit menulis akademis sama dengan membangun habit menulis fiksi?
Yang bisa membuat berbeda barangkali dalam tahapannya. Menulis akademis yang memerlukan uji teknis & metodologi riset tertentu akan berbeda dengan fiksi. Misalnya perlu FGD dulu, cek dokumen fisik, etc. But usually this is exception, not rules/norm. Kalau sudah punya habit akan lebih mudah untuk tune-in lagi. (Vinka)
Gimana caranya untuk bangun habit menulis yg bener2 bisa automatically “ah ini bagus buat dijadiin tulisan” padahal lingkungan sekitar juga sudah mendukung kita untuk membiasakan menulis?
Ini cuma soal ‘sense’ sih, serupa kayak fotografer yang jam terbangnya udah tinggi, pas ngeliat sesuatu bisa tiba-tiba mikir “ini kayaknya bagus deh buat difoto”. Dan itu didapat setelah sekian lama menggeluti itu dan memotret sekian banyak objek. Gak beda dengan tulisan, kalo mau punya sense buat ngerasain itu, ya harus sering-sering nulis aja. (Yudha)
Banyak-banyak nulis. Karena ini: (Devon)
Untuk menjawab bagaimana caranya, maka aku setuju dengan pendapat teman-teman di atas. Selain itu, bangun kebiasaannya satu persatu aja. Biasakan menulis dulu. Baru biasakan pertajam sense. Itu hal kebiasaan yang beda. (Velika)
Percaya Diri dan Ketakutan
Bagaimana supaya bisa percaya diri dalam menunjukkan hasil tulisan kita di publik. Meskipun kemungkinan dibaca orang lain sangat kecil sekali karena bukan penulis, namun tetap saja sulit sekali buat saya untuk berani "bersuara" dalam bentuk tulisan.
Bikin tulisan untuk dibaca kita di masa depan. Dan sebagus-bagusnya tulisan kita pasti ga cocok untuk semua orang (Devon).
Kondisinya sama persis dengan yang aku alami, dan ada beberapa cara yang aku lakukan; Pertama, niatkan menulis untuk diri sendiri aja, jadi gak akan mikir “gak berani” lagi karna toh buat diri sendiri juga (ingat bahwa menulis dan mempublikasikan adalah 2 hal berbeda). Kedua, membalik mindset. Tadinya aku mikir “kalopun aku nulis toh gaada yang baca juga” lalu aku balik jadi “justru karna aku yakin gak ada/gak banyak yang baca harusnya aku gak perlu takut untuk bikin tulisan ini dong?”. Lalu terkait lingkungan yang udah mendukung, harusnya jadi jalan yang mempermudah kita, ibaratnya kita bisa “ngikut arus” aja, aji mumpung istilahnya. Contoh paling gampang, di antara kami berempat, aku adalah yang paling terakhir bikin challenge 100 hari menulis, aku tinggal ngikutin ‘ombak’ yang udah mereka bikin. (Yudha)
Bangun confidence ini banyak cara ya. Statement “kemungkinan dibaca orang lain sangat kecil sekali” itu bentuk ketidakPD-an. Bisa mulai dari diri sendiri dulu: nyaman ga dengan tulisan yang dibuat? Atau: bangga gak sudah berhasil menyelesaikan 1 piece tulisan? Bisa belajar dari membaca tulisan sendiri dulu. Percayalah: ada masa di mana orang tidak mau baca tulisan sendiri juga karena tidak PD. Aku pernah :D Banggalah dulu pada diri, itu cukup bantu boost confidence overall. Ketika look back nanti, kamu akan kagum dengan progress-mu. (Velika)
Apa tolok ukur tulisan yang bagus, apakah kita mesti meniru gaya orang lain terlebih dahulu sebelum mulai nyaman dengan gaya menulis kita sendiri?
Aku secara pribadi selalu menghindari diri dari niatan untuk membuat tulisan yang ‘bagus’. Menurutku kata bagus terlalu abstrak apalagi untuk sebuah tulisan, karna nilai sebuah tulisan bisa sangat personal dan subjektif. Maka dari itu aku selalu memulai menulis dengan niatan membuat tulisan yang ‘jujur’. IMO, ‘gaya menulis’ bisa timbul dari ‘kejujuran’ penulis saat membuat tulisan. Kalau dari segi teknis, aku merasa cukup dengan membuat tulisan yang ‘enak dan mudah dibaca’, entah dari segi pemilihan kata, peletakan jeda, atau terkadang penggunaan rima. (Yudha)
Ga mesti, tapi gw sendiri pake pendekatan ambil gaya orang lain lalu digabungkan sih, dan ini cara paling nyaman buat gw. Karena ini: (Devon)
Jawaban pertama: As shameless as it is, tulisan yang bagus adalah yang kamu bisa merasa PD terhadapnya. Kalau sudah PD dan suka, step up your game. Jawaban kedua: menurutmu, tulisan yang bagus itu tulisan seperti apa? (malah nanya balik) (Velika)
Mindset
Bagaimana efek dari habit menulis ke cara berpikir seseorang?
Sendirinya proses menulis itu proses berpikir. Pikiran kita itu abstrak dan jumbles of sentences and imageries. Ketika kita menulis, kita membuat suatu konsep abstrak menjadi “konkret”, jadi nyata. Seperti kalau kita ngomong. BEDANYA, kalau kita mendengar kita sendiri ngomong dari mulut kita sendiri, kita ga bisa review ulang apa yang kita katakan. Tetapi kalau kita ngomong, dan orang lain mengulang kembali (konfirmasi) apa yang kita katakan, kita jadi mendengar. Bahkan kadang seperti itu pun kita masih bisa katakan: “Oh bukan, maksudku tuh…”. Ketika kita menulis, kita sebetulnya berdialog dengan diri sendiri. Ketika kita menulis, kita melihat tulisan kita: pemikiran yang kita konkretkan. Sendirinya, kadang kita bertanya-tanya, “Bentar deh, kok gini ya… Mungkin A, B, C…” dan demikian bergulir. Menulis itu cross dan check our thoughts. (Hence why kita seringkali ngetik chat lalu hapus lagi, karena ragu, itu karena kita pikirin apa yang mau kita omongkan. Sama aja). Efek HABIT menulisnya… ya kita terlatih lebih perceptive terhadap diri, dan kalau bisa terhadap ide orang lain juga. (Velika)
Jadi terbiasa dan terstruktur. Ibarat sebuah buku, semakin banyak tulisannya, semakin berisi kan buku itu. (Devon)
Saat menulis, aku berpikir dengan sungguh2 soal apa yang disampaikan maupun cara menyampaikannya. Mikir “yang ini perlu gak ya disampaikan” lalu “lebih bagus pake bahasa/kata yang mana ya”, direview lagi beberapa kali sebelum dipost. Cara berpikir ini sedikit demi sedikit mulai menyerap ke diriku dalam menyampaikan sesuatu dalam bentuk apapun. (Yudha)
Seberapa sering kalian melihat kembali tulisan yang telah ditulis? Apa tujuan kalian ketika melihat kembali tulisan tersebut?"
Ngga sering. Tujuan melihat kembali: cari inspirasi, Apa yang dulu aku tulis atau pikirkan ya? Kadang cari masalah aja sih WKWK (serius) pada dasarnya aku orang dengan banyak pertanyaan yang memang ga harus dijawab. It feels nice to see how I evolve thinking about certain things. Dari menuliskan pertanyaan itu bisa jadi tulisan lagi. (Velika)
Gak sering, hanya dikala aku ingin mengunjungi diriku di masa lalu atau momen tertentu aja. Tujuannya untuk refleksi diri sekaligus mencari tahu apakah aku masih jadi orang yang ‘sama’ atau sudah berbeda. Jangan kaget kalau suatu ketika kita melihat diri kita yang dulu melalui tulisannya, kita yang sekarang ‘gak setuju’ sama argumen atau cara berpikir diri kita yang dulu. (Yudha)
Kadang-kadang. Kalau lupa dengan apa yang ditulis, bakal kembali. (Devon)
Bagaimana cara supaya tulisan kita tidak terkesan cetek? Tapi lebih berdaging, dan yang membaca bisa mendapat insight
Write your first piece. Tulis aja dulu. There are many possibilities: ide jelek, tulisan jelek. Ide bagus, tulisan jelek. Ide jelek, tulisan bagus. Ide bagus, tulisan jelek. Any cases: tulis aja dulu. Latihan menulis, pendek dulu, lalu panjang, lalu pendek lagi. Ga ada tulisan yang langsung bagus, and it’s good to some extent that we feel like we’re still lacking, it leaves some space for awareness for improvements. Bisa lakukan paralel juga: bagusin ide dan tulisan. Kalau soal ide, write what you know best (circle of competence). (Velika)
Menurutku ada 2 sudut pandang, dari segi isi dan dari segi penyampaian (yg sifatnya teknis terkait menulis). Untuk yang bersifat teknis seperti pemilihan kata, bahasa, dll itu cuma bisa dilatih dengan cara terus menulis atau melihat tulisan orang yang sudah mahir. Kalau terkait isi, aku meyakini bahwa tulisan adalah perluasan dari isi kepala seseorang. Kalau isi kepala kita ‘daging’, ya isi tulisannya juga akan ‘daging’. Jadi kalau ditanya bagaimana supaya tulisannya tidak cetek, mulailah dengan membuat isi kepala kita tidak cetek. (Yudha).
Perbanyak sumber tulisan, nanti jadi lebih kaya tulisannya. (Devon)
Bagaimana tulisan yang ‘berdaging’ menurutmu? Apakah pake analogi? Apakah menjelaskan konsep rumit dalam bahasa sederhana? Bikin checklist karakter & kriterianya, simpan. Saat proses editing, checklist ini bisa kamu keluarkan & cross-check. (Vinka)
Menulis adalah hal yang biasa orang pikir adalah hal yang sepele. Bagaimana cara menunjukkan bahwa menulis merupakan hal yang bisa mengubah hidup/tindakan orang?
By theories, or by facts. Theories (made from observation): banyak terapi untuk kesehatan mental menyarankan pasien untuk menulis. Facts: try it out yourself. 100 days. Do it seriously. You’ll get to know yourself in more depth. Sudah cukup bukti, belum? (Velika)
Rasanya dengan begitu sulitnya nyari orang hebat di dunia yang gak punya kebiasaan baca buku, lalu banyaknya orang-orang hebat yang bikin konten tentang “buku yang mengubah hidupku”, udah cukup sih jadi bukti bahwa tulisan bisa mengubah hidup/tindakan seseorang. (Yudha)
Pertanyaan tambahan yang muncul spontan di forum adalah:
Bagaimana cara mencatat agar rapi & dapat calling out catatan yang dimaksud? Bisa cek artikel Lagi Ngulik “Mengelola Sistem Pengetahuan dengan Sistem Anti Lupa”.
Terakhir sebagai penutup, tweet dari David Perell ini mungkin bisa menjadi prinsip kita menulis juga.