Bahagia & Keterbatasan
Saya baru saja menyelesaikan buku So Good They Can’t Ignore You karya Cal Newport. Sebagai pembuka, ia menceritakan perjalanan hidup Thomas, seseorang yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaan yang ia miliki lalu memutuskan mengikuti passionnya yaitu ingin menjadi biksu, untuk ‘mengejar’ kebahagiaan yang ia dambakan. Saat telah menjalani hari-hari di kuil dan mendapatkan beberapa tingkat pelajaran terkait Zen, tetiba ia merasa kosong. Merasa bahwa ia tidak mendapat kebahagiaan seperti yang ia idamkan. Dirinya tetap orang yang sama. Masih kebingungan dan mengharapkan rasa bahagia yang seolah-olah tak kunjung hadir. Titik itu membuat ia sadar, ada yang kurang tepat dari mindset yang ia miliki.
Di akhir buku, kisah Thomas kembali diulas sebagai penutup. Sepuluh tahun telah berselang dan Thomas berada di tempat yang jauh berbeda. Ia menjadi manager sistem perbankan yang mengelola aset investasi sebesar 30 juta dolar. Menceritakan perubahan yang ia alami, Thomas menjalani pekerjaan dengan fokus dan kesadaran yang berbeda. Pelajaran utamanya terdapat pada kutipan berikut:
Membandingkan diri sendiri di saat ini dengan angan ideal masa depan yang fana. Alih-alih menjadi bahagia, yang dimiliki adalah penyesalan, ‘I wish I did…’. Atau bisa juga berupa ekspektasi yang terbanting telak, karena apa yang kita bayangkan terlampau tinggi dan kenyataannya berbeda 180 derajat. Hal ini mengingatkan saya mengapa acceptance atau penerimaan atas realita diri dan keadaan yang melingkupi menjadi sangat penting.
Konsep serupa saya sadari saat membaca The Secret Divine of Love dari A. Helwa, terutama saat membahas ihsan di kutipan berikut.
Saat menjejak dan melakoni ihsan, maka seseorang tersebut sudah sadar betul posisinya sebagai hamba. Pemahaman dan pengejawantahan ihsan adalah saat memahami betapa rapuh dan terbatasnya manusia di hadapan Tuhan yang Maha Segalanya. Meski nampak counterintuitive, keterbatasan ini dapat membebaskan kita dari tuntutan yang tidak masuk akal dan berusaha sebaik mungkin menjalani masa sekarang tanpa perlu membebani dengan hal yang di luar kuasa kita.
Epilog
Saya ingin menutup tulisan ini dengan kalimat yang saya catat sebagai simpulan setelah membaca So Good They Can’t Ignore You:
When you could admit your fragile self & the uselessness of comparing yourself, moreover to your thoughts about yourself in the future, then you could focus on now. What you actually have and not stuck on pondering what you wish you have.