Fokus & Atensi: Sudahkah Kamu Melindungi Aset Terbesarmu?
Memahami Distraksi, Prioritisasi & Langkah Praktis untuk Tetap Fokus
We're living at a time when attention is the new currency.
~Pete Cashmore, Founder & former CEO Mashable
Kutipan di atas barangkali bisa meringkas situasi yang sedang kita hadapi sekarang, tapi belum cukup sampai di situ saja. Jika kita tahu bahwa atensi adalah "mata uang" yang baru, apa yang sudah kita lakukan untuk memanfaatkannya? Apakah kita sudah menabung, menyimpan, menginvestasikan atau menghamburkannya sia-sia?
Pertama, mari kita artikan dulu apa yang saya maksud atensi & fokus di judul artikel ini. Atensi adalah perhatian, energi, waktu yang kita habiskan untuk sebuah aktivitas. Fokus adalah spektrum atensi itu sendiri. Mengapa spektrum? Karena fokus memiliki intensitas, mulai dari yang paling tinggi hingga rendah. Sepanjang artikel ini, kedua istilah akan digunakan bergantian.
Kedua, ada beberapa fakta terkait atensi yang perlu diperhatikan untuk membahas lebih dalam:
Atensi itu terbatas, baik karena faktor waktu ataupun energi.
Saat ini dengan adanya teknologi, atensi kita tertarik ke banyak ujung-segala arah, yang belum tentu bermanfaat.
Biasanya, atensi kita terserap pada apa saja yang by default saja, tanpa sering disadari. Jika kita menginstall aplikasi marketplace, maka by default kita akan menerima notifikasi sejumlah X dalam seminggu. Betul, bahwa kita bisa mengaturnya sendiri, tapi mengapa by default-nya justru bukan tanpa notifikasi?
Dua paragraf ini cukup menjadi pengetahuan dasar untuk kemudian mengulik topik ini. Argumen Pete Cashmore di awal artikel berangkat dari fakta bahwa banyak bentuk ekonomi baru yang berbasis atensi audiens. Mari ambil contoh YouTube yang mentranslasikan jumlah waktu tonton dengan imbalan uang untuk para YouTuber. Tapi, jika untuk diri sendiri, mengapa kita perlu memahami & menindaklanjuti ke mana perginya fokus & atensi kita?
Menurut Cal Newport di Deep Work, fokus adalah komponen penting dari sebuah karya yang berkualitas tinggi dapat dihasilkan. Ia merumuskannya seperti ini:
High-Quality Work Produced = (Time Spent) x (Intensity of Focus)
Bagi Cal, fokus sangat krusial, karena jika kehilangan fokus, maka pikiran kita akan bergeser pada apa yang salah dibanding dengan apa yang benar. Berikut kutipannya:
"[Among them is the notion that] 'the idle mind is the devil's workshop'...when you lose focus, your mind tends to fix on what could be wrong with your life instead of what's right." A workday driven by the shallow, from a neurological perspective, is likely to be a draining and upsetting day, even if most of the shallow things that capture your attention seem harmless or fun.1
Alasan selanjutnya adalah, harus diakui bahwa teknologi di sekitar kita didesain untuk menjadi distraksi & membuat atensi manusia "kecantol" serta tidak beralih. Nir Eyal dalam bukunya Indistractable mendeskripsikan hal ini dengan gamblang. Kebanyakan orang tidak ingin mengakui uncomfortable truth bahwa distraksi selalu merupakan pelarian yang tidak sehat dari dunia nyata. Di bukunya yang lain, Hooked, Eyal menekankan bahwa teknologi didesain untuk memenuhi hasrat manusia untuk mencari kesenangan & menghindari rasa sakit (pain), mencari harapan dan menghindari ketakutan, juga yang terakhir untuk mencari social acceptance & menghindari penolakan. Bukankah ini semua bagian yang kita temui di teknologi social media, misalnya? Likes, comment & algoritma adalah bentuk pemenuhan "instan" dari kebutuhan manusia di atas. Semakin banyak distraksi, maka semakin menantang & semakin substansial untuk mempertahankan fokus & atensi itu sendiri.
Maka jika kita bisa sepakat bahwa fokus & atensi itu penting, apa yang dapat dilakukan untuk memanfaatkannya secara maksimal serta menjaga dari bocor halus di sana-sini?
Pahami & sadari apa itu distraksi.
Distraksi seringkali luput dari perhatian kita karena sifatnya yang kecil/remeh (notifikasi dari macam-macam app tiap harinya, misal); jumlahnya yang banyak, di mana-mana & dianggap wajar (popped up email, tv yang dibiarkan menyala); atau sebaliknya, salah sangka bahwa apa yang dianggap distraksi sebenarnya adalah "alarm" dari tubuh yang butuh rehat.
Prioritisasi
Dengan mengetahui area hidup mana yang menjadi prioritas, memudahkan manusia untuk menentukan seberapa banyak bujet fokus & atensi yang disiapkan. Hal ini seringkali beririsan dengan perihal balance/keseimbangan. Banyak yang memburu work-life balance & mengartikannya secara harfiah bahwa seimbang berarti 50:50. Prioritisasi lebih bersifat fleksibel, karena lebih kepada rasio (unik & personal untuk tiap individu). Akan ada masa dimana pekerjaan bisa mendapatkan atensi hingga 80, atau sebaliknya.
Tetapkan 1 highlight tiap harinya
Beberapa buku produktivitas menyarankan untuk membuat daftar apa saja yang perlu kita kerjakan setiap harinya, dan 3 adalah angka yang umum disarankan. Sedangkan dari Jake Knapp & John Zeratsky di buku Make Time, mereka menyarankan untuk fokus pada 1 highlight saja tiap harinya. Dengan menetapkan hanya 1, hal ini memaksa kita untuk menaruh fokus sepenuhnya di situ. Mindset yang diterapkan adalah "just enough". Lakukan & beri atensi pada hal yang paling penting (highlight) maka just enough is already enough. Mengapa hanya "cukup"? Hal ini untuk membiasakan agar tidak membuat suatu hal mengikat pada ego & identitas kita. Yang mana ketika telah menyentuh ego, ada kecenderungan untuk fatalistic & self-blaming.
Dance around the process
Aristoteles memiliki penggambaran 2 konsep untuk pergerakan: kinesis & energeia. Kinesis berarti pergerakan yang memiliki titik berangkat & titik henti/tujuan. Energeia adalah pergerakan yang "on forming" atau sedang terbentuk. Jika kita meletakkan fokus & atensi kita pada proses yang sedang terjadi, maka seperti energia, ia akan selalu "on forming". Kita tidak terpancang pada tujuan akhir, karena seringkali salah meletakkan fokus dapat membuat anggapan bahwa diri kita "gagal" dan menafikan proses yang telah dijalani sejauh ini.
Keempat hal ini bisa mulai diterapkan salah satu tanpa harus berurutan. Selamat mengamankan aset fokus & atensi masing-masing!
Deep Work by Cal Newport, 2016. Halaman 82