Bagaimana kamu memperkenalkan diri? Apakah dengan menyebutkan nama, umur lalu pekerjaanmu? Biasanya hal ini yang disebut dengan identitas: hal-hal yang melekat pada manusia yang menjelaskan apa atau siapa dia. Ada identitas yang nampak & mudah diketahui, tetapi ada pula yang bersifat imajiner & intangible. Saya tertarik untuk ngulik identitas lebih dalam setelah sering menemuinya selama 2 tahun terakhir. Artikel ini membahas dalam 2 contoh aspek yaitu habit & politik.
Habit
Saat membangun habit, kerap kali kita berhenti di tengah proses atau gagal melanjutkan kebiasaan tersebut. Di Atomic Habit, disebutkan bahwa jika ingin perubahan yang permanen atau lebih mudah melekat dalam diri, maka “kaitkan habitmu dengan identitas yang ingin dibangun”. Contohnya saat ingin berhenti merokok dan ditawari teman rokok, akan berbeda jika menolak dengan bilang “Tidak, saya bukan perokok” dibanding “Tidak, saya sedang mencoba berhenti merokok”.
James Clear berargumen bahwa motivasi intrinsik yang kuat akan muncul ketika habit tersebut menjadi bagian dari identitas yang menunjukkan dan menjelaskan siapa dirimu. Identitas berkaitan erat dengan beliefs, apa yang kamu percayai sekaligus menjadi pride. Ketika manusia disinggung pride-nya maka ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankannya.
Tetapi secara paradoks, di bagian akhir Atomic Habits, Clear menyebutkan untuk tidak terlalu terikat dengan satu identitas. Karena ketika tidak bisa lagi menjalankan identitas tersebut akan kebingungan atau hilang arah. Ia mencontohkan bagaimana ia mengidentifikasi dirinya sebagai atlet selama ia muda. Setelah karirnya di olahraga baseball berakhir, ia pun perlu berjuang untuk ‘mencari’ dirinya sendiri. Untuk itu, saran yang ia berikan adalah: keep your identity small.
Politik
Term identity politics sering kita temui jika kita mempelajari perilaku pemilih dalam pemilihan umum, karena memang pendekatan ini yang paling sering digunakan untuk memenangkan pemilu. Identitas ras, kelas, agama, gender dimainkan betul agar sosok calon dapat menarik hati para pemilih. Tidak salah jika Andhyta F. Utami melemparkan pertanyaan mengapa presiden di Indonesia selalu dari Jawa, muslim dan laki-laki, di podcast Thirty Days of Lunch. Jawabannya bisa kita pinjam dari konsep biologi kin selection sebagai dasar altruism.1 Dengan memilih seseorang dengan identitas (yang nampak memiliki kemiripan genetik) sama dengan diri pemilih, maka seolah-olah kita memiliki alasan untuk berbuat baik, berbuat yang benar kepada kerabat kita sendiri (kinship).
Begitu pula identitas bentukan imajiner lain seperti patriotisme atau nasionalisme. Manusia memiliki dorongan untuk menjadi bagian dari tribe atau kelompok, tidak ingin tersingkir sendiri. Hal ini membuat lambang-lambang kenegaraan seolah-olah menjadi bagian dari identitas & pride individu.
Jika politik identitas terdengar ‘kurang baik’ dalam pemaparan di atas, mengapa ia masih terus digunakan? Karena ia efektif. It works. Di sisi yang lain, politik identitas mampu memberi suara & semangat kepada yang tertindas untuk bergerak bersama. Ia juga dapat menjadi bahan bakar untuk menuntut perubahan dalam bentuk kebijakan pemerintah terkait. Contohnya pergerakan suffragette, Black Lives Matter dapat menjadi gelombang kuat untuk mengubah peraturan & hukum yang berlaku.
Maka apa yang perlu kita lakukan atas identitas dari sisi politik? Hashi Mohamed dalam People Like Us2 menjelaskan bahwa identitas itu perlu digunakan sebagai titik mula/starting point dalam mengidentifikasi dan menghadapi masalah. Adalah hal yang percuma & mustahil untuk melepaskan diri dari identitas. Maka lebih baik ketahui identitas apa yang menjadi friksi dan apa yang menjadi katalis. Jika sudah mampu meletakkan identitas pada proporsinya, selanjutnya akan lebih mudah mengetahui apa yang bisa kita lakukan.
Epilog
Untuk mengakhiri artikel ini, saya ingin membagi sedikit cerita masa kecil. Ketika Ibu menempuh pendidikan strata 1, ada tugas kuliah yang terkait bahasa & membahas pohon keluarga. Beliau kemudian menelusuri silsilah pohon keluarga dari Bopo (Bapak) saya. Bopo besar di Kediri, Jawa Timur. Ketika dirunut, sampailah pada fakta sejarah bahwa kakek moyang keluarga Bopo, Mbah Draman, berasal dari desertir, pelarian anak buah tentara Pangeran Diponegoro yang tercerai berai menyelamatkan diri saat beliau ditangkap Belanda.
Cerita kecil lainnya adalah anekdot. Pernah suatu kali saya curhat dengan Bopo, ada teman yang menyombongkan diri karena ia keturunan bangsawan dengan gelar tertentu. Pertanyaan Bopo singkat saja: “Dia bisa bahasa Jawa nggak?”. Tidak, jawab saya. “Kalau begitu, lain kali jika menemukan yang sombong tentang kasta, bilang begini:
“Opo kowe ngerti yen aku isih tlatah tedhak rembesing andhono warih kerajaan Kediri?”
Terjemahannya kira-kira, apa kamu tahu kalau aku masih keturunan darah bangsawan kerajaan Kediri? Tentu ini candaan saja. Karena kita sama-sama tahu dari cerita pertama bahwa tidak ada darah biru di keluarga kami. Tapi jika diucapkan dengan meyakinkan, percayalah, banyak yang menyangka saya betul-betul bangsawan.
Kedua cerita itu membentuk pandangan saya terhadap identitas. Bagi saya, ia adalah bentuk yang cair, yang bisa kita pilih gunakan sebagai alat bantu. Dari cerita pertama, saya merasa bahwa diri ini juga bagian dari sejarah peradaban manusia. Kakek moyang yang berjuang & bertahan untuk hidup, sedikit banyak memberi semangat untuk bisa maju ke depan. Cerita kedua, mengajarkan saya untuk tidak menjadikan satu identitas sebagai alasan untuk jumawa. Juga untuk tidak menganggap identitas adalah segala-galanya. Toh, ia bisa dipelintir & dijadikan bahan bercanda saja.
Identitas adalah konsep yang terkadang samar dan imajiner (patriotisme & nasionalisme, contohnya), kadang terang benderang (ras, warna kulit, hijab yang dipakai, tanda salib). Mengetahui dampak dari identitas yang melekat, atau dengan sengaja dilekatkan itu penting, karena kita terus menerus menerima akibat dalam kehidupan sehari-hari. Identitas yang bisa kita pilih, seringkali efek negatifnya tak terlalu besar, jika kita bisa menjaganya tetap ‘kecil’. Sedangkan identitas yang tersemat dan tidak bisa kita pilih, perlu dipahami, diterima kemudian diletakkan dalam proporsi yang sesuai dengan hidup kita dan menentukan tindak lanjut apa yang paling tepat.
Bisa cek The Selfish Gene oleh Richard Dawkins
halaman 85
Pembahasan yg menarik Vin. Yg tentang tribe, jd teringat juga bukunya Johnathan Haidt yg The Righteous Mind.