Sudah belajar banyak teori, hafal di luar kepala, tetapi sulit mengaplikasikannya di kehidupan nyata? Seperti kutipan di atas, dari buku The Great Mental Models karya Shane A. Parrish & Rhiannon Beaubien, kegagalan kita dalam berinteraksi dengan realita biasanya berawal dari 3 sebab:
Tidak memiliki perspektif yang tepat,
Adanya penolakan yang dipengaruhi ego,
Keberjarakan dari konsekuensi-konsekuensi keputusan kita
Pertanyaannya, “Bagaimana cara mengetahui atau mendeteksi bahwa kita sedang mengalami salah satu, dua atau bahkan ketiganya?”. Saya menemukan beberapa hal tentang jarak yang dapat membantu kita menjawab pertanyaan ini.
Memberi Jarak dengan Pikiran Kita Sendiri
Minggu lalu saya berbincang dengan Eugene, psikolog di tempat saya bekerja. Ada sebuah pemikiran yang selama sebulan terakhir terasa mengganggu bagi saya. Diawali dengan sebuah kejadian yang disruptif dalam kehidupan, pemikiran ini kemudian muncul berkali-kali di banyak aspek, menyebabkan banyak pertanyaan terbentuk dan menghantui. Setelah menaksir dengan mendengar cerita dari saya dan beberapa pertanyaan assessment, simpulan dari Eugene membuat saya tercenung:
“You have thoughts and questions because now you have a reason. Previously, you don’t.
This event gives you a reason to ask questions and requestioning all of the things that happened in your life. Just because you have reasons, doesn't mean that all of them are equal. Just because you have a reason, doesn't mean you have to react to all of them. You have a space to decide if you want to respond or to let it go.”
Kalimat darinya ini saya akui membuat saya paham, bahwa saya tidak menyadari jika saya dapat memilih untuk merespon atau melepaskan pikiran tersebut. Ada ruang-jarak yang saya abaikan di sana. Eugene kemudian menjelaskan lebih lanjut, emosi-emosi besar (kemarahan, misalnya) memang dapat membuat ruang ini menjadi kabur dan tidak dapat dikenali. Di sinilah biasanya praktek mindfulness seperti meditasi dapat membantu, karena ia dapat melatih otak kita untuk menyadari ruang untuk memilih, merespon, melepaskan pemikiran yang sebenarnya selalu kita miliki.
Eugene juga menyarankan analogi stasiun kereta untuk mengumpamakan benak kita. Di stasiun, banyak kereta yang datang dan pergi. Kita tidak perlu naik ke semua kereta tersebut. Kita bisa sekedar mengetahui kedatangannya lalu membiarkan mereka pergi. Begitu pula pikiran-pikiran kita. Tidak kesemuanya perlu kita ikuti atau larut di dalamnya.
Memahami Jarak yang Terlipat
Saat membaca Secrets of Divine Love karya A. Helwa, ada narasi sederhana tentang ketidak-mampuan manusia untuk membangun persepsi tentang Allah/Tuhan.
Although Allah created our sense perceptions, He is closer to us than anything we could ever experience. Similar to how the iris in our eyes is so close to us that we cannot perceive it and yet we see because of it, God is so close to us that we cannot witness Him directly, but our ability to witness is because of His proximity and love for us.
~ Secrets of Divine Love, A. Helwa
Ketika membaca kutipan ini, saya merasa bahwa analogi iris (selaput pelangi) ini tidak hanya dapat menjelaskan keterbatasan persepsi & perspektif manusia terhadap Tuhan, tetapi juga realita. Tak jarang kita tidak menyadari batasan tersebut karena terlampau dekat atau bahkan berada di dalamnya. Contoh saja, seperti bahasan privilej yang saya tulis 2 minggu lalu, saya sendiri mungkin tidak bisa memahami dengan persepsi yang luas dan beragam karena saya termasuk yang memiliki, tumbuh dan mendapatkan privilej itu sendiri.
Dengan memahami jarak yang terlipat antara diri sendiri dan realita yang ada, paling tidak kita mengakui apa yang kita tidak tahu & tidak berlagak sok tahu.
Berjarak dengan Kebenaran
Ada pembahasan yang cukup panjang tentang seseorang yang dihukum karena kasus korupsi. Ketika di kemudian hari praktek korupsinya ketahuan, ia memohon-mohon di proses persidangan, bahkan menangis, menyatakan bahwa ia adalah korban.
Pertanyaan sederhana, mengapa ia menerima uangnya? Tidakkah ia paham, bahwa keputusannya untuk menerima uang korupsi tersebut tentu memiliki konsekuensi logis: menjalani proses hukum, dipenjara, terpisah dari keluarga & tidak akan dipercayai lagi oleh banyak orang dan seterusnya. Jawabannya tragis dan terdengar tidak masuk akal. Ia bilang bahwa dulu konsekuensi-konsekuensi itu seperti sangat jauh, tidak riil dan bahkan tidak terbayang di pikirannya. Ia merasa aman, tidak ada kemungkinan untuk ketahuan dan merasa dapat mengontrol semua konsekuensi tersebut.
Contoh ini menunjukkan secara telak poin kedua dan ketiga dari kutipan yang mengawali tulisan ini. Karena ego, ia menolak kebenaran yang kemudian membuatnya gagal memahami akibat dari keputusannya.
Hal ini juga selaras dengan pendapat James O’Brien dalam bukunya, How Not to Be Wrong, penyangkalan hanya akan mengaburkan segala hal. Kebenaran bisa saja kita sangkal terus menerus dan membohongi diri sendiri. Tapi akibatnya nyata, kesakitan dan rasa sakit.
Epilog
Jika kita sudah tahu & mendeteksi salah satu celah berpikir kita, apa yang perlu dilakukan? Parrish & Beaubien menekankan untuk terus menerus meng-update apa yang kita yakini. Mempertanyakan kembali, menjadikannya dalam bentuk aksi dan menerima feedback. Kesemuanya akan menjaga pemahaman kita tetap membumi, terbuka pada kritik, memudahkan mengakui kesalahan persepsi dan mengakar pada realita.
Semoga penulis & pembaca dapat memerdekakan jarak yang terbatasi sempitnya perspektif, terkungkung penyangkalan yang bermula dari ego dan kegagalan memahami konsekuensi-konsekuensi pilihan kita.