Setelah 2 edisi sebelumnya gw bahas mapping skill dan mapping content, hari ini gw mau bahas dalam mengambil keputusan dengan cara mapping apa yang gw rasakan.
Metodenya cukup sederhana, lagi-lagi dengan menulis, kali ini gw menulis apa yang jadi keresahan atau kebingungan gw dalam mengambil keputusan, lalu gw coba breakdown satu per satu apa yang gw suka dan nggak.
Indikatornya sebenarnya simpel, jadi gw kasih kode aja di setiap perasaan yang gw tulis, jika itu perasaan yang menyenangkan buat gw, akan kasih [FG] alias feel good, sementara kalau ada sesuatu yang kurang mengenakan buat gw, gw akan kasih tanda not feel good atau [NFG].
Kurang lebih contohnya seperti ini untuk membuat keputusan apakah gw seneng menjadi Community Strategist dari Komunitas A:
“Menjadi community strategist dari komunitas A”
→ Punya value yang sama dengan komunitas A (FG)
→ Bikin strategi dan build community (FG)
→ Jadi community manager-nya (FG)
→ Ngerjain day-to-day job (NFG)*
Nah, dari sini, gw lebih highlight di bagian yang gw tandain NFG, si not feel good. Kita langsung aja ya ambil dari contoh, “ngerjain day-to-day job”, dari sini kita bisa tanyain langsung ke diri kita, misalnya kalau belum jelas, “day-to-day job itu yang kayak gimana?” nanti akan terjawab, misalnya “melempar topik diskusi, menyambut anggota baru.” Dari sini udah terlihat berarti gw kurang merasa feel good dengan pekerjaan tersebut.
Setelah udah cukup jelas, kita kembali ke pertanyaan berikutnya, “Mengapa ga suka?” dari sini bakal keliatan apakah ketidaksukaan gw itu karena resource yang tidak memadai atau dari tingkat kesulitannya. Resource ini bisa seperti waktu, uang, tenaga, atau kemampuan ya.
Karena masalah pekerjaan yang perlu dipikirkan secara matang-matang, tahap selanjutnya adalah gw membuat tabel yang berisi resource dan tingkat kesulitan. Masing-masing gw kasih nilai bobot yang dikeluarkan dari 1 sampai 3. 1 berarti minimal, 2 yang ada di tengah, dan 3 paling consuming.
Setelah isi kurang lebih seperti ini:
Dari sini, gw bisa lihat anomalinya, lihat yang agak berbeda dari yang lain. Dalam kasus ini adalah waktu. Walaupun kemampuannya ada, gw ga usah keluarin uang, tapi ternyata kerjaan ini paling memakan waktu dan energi.
Nah, mulai keliatan kan polanya, kalau gw not feel good terhadap “day-to-day job” kemungkinan besar karena time consuming. Sebenernya jika masih belum terlalu jelas, kita bisa tanyain ke diri sendiri lagi, “mengapa time consuming?” dari jawaban-jawaban tersebut bisa kita turunkan. Tapi, dalam contoh ini gw stop sampai di sini dulu ya dan mulai mencari solusinya apa.
Kita bisa bikin daftar lagi, beberapa solusi yang bisa kita tawarkan ke diri kita atau komunitas tersebut. Apakah bisa nyari orang untuk mengerjakan day-to-day? Apakah eliminasi seluruh kerjaan tersebut? Atau ubah day-to-day ke weeklies.
Kalau udah ada daftarnya, kita baru pilih solusi yang paling tepat. Apakah bisa nyari orang lain? Ga bisa karena budget tight. Apakah eliminasi kerjaan itu? Ga bisa, kalau nggak, ga ada interaksi sama sekali dong. Apakah bisa ubah ke weeklies? Ya, ini cukup memungkinkan, interaksi masih ada tapi ga intens it’s ok.
Dengan gitu, jadi tercipta keputusan yang cukup logis walaupun diawalnya berdasarkan perasaan feel good atau nggak. Karena kalau berdasarkan perasaan aja, agak susah diukur dan dapet solusi yang pas.
Kalau ada pertanyaan, bisa comment aja ya di post ini atau DM gw di instagram @devonwiranata.
Jadi untuk sekarang,
goodbye 😚👆and good night 👉💥