Membangun Sistem Link & Match dalam Komunitas
Memetakan Jalannya Free Ears dalam Platform Discord Negeri Pembelajar
Bagaimana cara untuk mempertemukan 2 orang yang tidak saling kenal di waktu yang disepakati? Di mana di dalamnya seorang berperan sebagai pendengar dan seorang lainnya bebas menceritakan apa saja.
Bagaimana membuatnya anonim, aman & rahasia?
Dua pertanyaan inti di atas adalah yang terlintas di kepala, saat saya membaca “curhat” salah satu warga Negeri Pembelajar (NP) di platform Discord. Topiknya adalah kebingungan, bagaimana bisa cerita hal-hal yang tidak bisa diungkapkan kepada keluarga, sahabat dekat. Respon yang muncul cukup hangat, banyak yang menawarkan diri untuk bisa dihubungi via pesan personal jika ada yang butuh bercerita. Tapi, tunggu, apa betul kita atau saya pribadi cukup berani untuk tetiba meminta waktu seseorang karena saya butuh bercerita? It needs a system.
Bayangkan kalian berada di depan papan pengumuman penerbangan di bandara atau papan pengumuman jadwal dokter di rumah sakit. Kalian tidak bingung harus ke mana atau berada di ruang apa, karena sudah ada sistemnya: lihat jadwal yang tersedia >> daftar di loket >> datang sesuai perjanjian >> menjalani sesi >> pulang. Dari alur inilah sistem yang kemudian diberi nama Free Ears diadaptasi.
Jika di rumah sakit ada manajemen & dokternya, maka untuk pertama kali peran ini butuh diisi dulu. Saya mengambil peran sebagai manajemen atau Admin lalu membuka rekrutmen Volunteer untuk Free Ears. Gayung bersambut, 37 orang tertarik bergabung. Rekrutmen ini dapat kalian lakukan dengan menggunakan Google Form untuk mempermudah.
Jika dokter yang baru bekerja di rumah sakit, tentu perlu pemahaman apa tujuan RS tersebut, bagaimana proses dan Standard of Procedure apa yang harus dilakukan dalam setiap pemeriksaan pasien. Poin paling mendasar yang berbeda dari Free Ears adalah tentang bagaimana kesiapan pendengar jika ada hal-hal yang bersifat membahayakan, terutama dari sisi kesehatan mental.
Apakah hal ini ada petunjuk atau guidance-nya?
Yang terlintas di benak saya, praktek yang paling mendekati dengan proses ini adalah psikolog, maka saya bertanya pada Gracia Hanna, yang sedang menempuh program Magister Psikologi di Universitas Indonesia. Ternyata ada beberapa materi seperti dasar konseling, active listening & Psychological First Aid yang tepat kiranya diketahui oleh Volunteer sebelum mulai mendengarkan orang yang butuh bercerita (selanjutnya disebut sebagai User). Seluruh materi dikompilasikan dalam page aplikasi Notions, karena kemudahan menyusun dan membagikannya kepada Volunteer.
Untuk berkomunikasi dengan Volunteer, server Discord tersendiri dibentuk. Kami membuat penjadwalan dengan media Google Sheet yang bisa diisi oleh Volunteer, slot waktu mana yang sesuai dengan jadwal masing-masing. Awalnya schedule ini dibagikan tiap 2 minggu sekali, tetapi setelah ada bantuan tambahan dari Sitta & Nathania, tim Admin dapat mengumpulkan schedule tiap minggu secara teratur. Data tersebut kemudian dimasukkan ke Strawpoll, website yang memfasilitasi schedule meeting dengan mudah. Kemudahannya adalah sistem berbentuk kalender dengan opsi yang bisa diatur & dapat membatasi berapa banyak slot sesi yang boleh dipilih, serta otomatis sesuai dengan zona waktu masing-masing (mengingat tersebarnya warga Negeri Pembelajar di 3 zona waktu di Indonesia).
Setelah siap di Strawpoll, Admin membagikan di channel #mental-wellbeing di Discord NP. Atas kerja sama dari Support Team NP, admin Free Ears memiliki akses untuk dapat memberi notifikasi kepada seluruh warga Discord NP yang berjumlah kurang lebih 1300++ orang di bulan terakhir keberadaannya. Dari situ, warga yang berminat untuk menjadi User dapat langsung mendaftar, memilih slot sesi yang sesuai dengan waktu yang luang. Tiap warga dibatasi maksimal 2 sesi di tiap minggunya.
Setelah User mendaftar, admin membuatkan 1 on 1 meeting via Google Meet antara User yang telah memilih slot waktu yang ditetapkan Volunteer. Invitation dibuat anonim sehingga dapat menghindari prejudice atau judgment yang mungkin muncul.
Di tiap sesi dimulai juga diminta kesediaan User untuk mengisi Form of Consent dan ketika diakhiri baik Volunteer & User diminta untuk mengisi Feedback Form untuk evaluasi Free Ears secara kontinyu dan menyeluruh. Urutan apa saja yang dilakukan ini telah ditulis dalam Standard of Procedure sesi untuk Volunteer, sehingga Volunteer memiliki panduan berupa skenario untuk tiap sesinya.
Untuk menjadikan sesi nyaman & aman untuk kedua pihak, User & Volunteer, kami menerapkan rules of thumb: Confidentiality, Neutrality, Respectful & Aware of the Roles.
Di akhir bulan, Feedback Form direkapitulasi oleh Admin dan dibagikan kepada Volunteer. Dari saran yang masuk, dievaluasi apakah ada yang bisa langsung diaplikasikan atau perlu didiskusikan tentang teknis, kesediaan dan juga pertimbangan perlu tidaknya masukan tersebut dalam sistem Free Ears. Salah satunya adalah durasi tiap sesi. Di awal, kami menerapkan batas minimum yaitu 30 menit. Dari feedback diketahui bahwa 30 menit dianggap terlalu pendek oleh User. Sehingga selanjutnya Volunteer dapat mempertimbangkan untuk menjadwalkan 1 sesi dengan durasi lebih lama (45 menit, misalnya), dibanding 2 sesi berdurasi 30 menit secara berturut-turut.
Selama 10 minggu berjalan, Free Ears berhasil mengadakan 2 kali rekrutmen Volunteer dengan total berjumlah 49 orang. Sebanyak, 70++ sesi dijadwalkan, dengan tingkat kepuasan User di angka 3.48/4 sampai akhir program. Cukup fantastis, jika melihat bagaimana semua proses ini dibangun secara daring, tak saling kenal & belum pernah bekerja satu sama lain.
Sistem ini bisa direplikasi untuk komunitas dengan kebutuhan yang lain seperti mentorship, coaching, pitching, thinking buddies, accountability partner atau bahkan blind date (ha!). Keseluruhannya menggunakan tools yang tersedia gratis dan dapat diakses siapa saja (Google form-sheets-meets, Strawpoll & Notions), plus tak perlu kemampuan khusus seperti coding, misalnya. Jika kalian tertarik menggunakan sistem ini dan ada yang perlu didiskusikan, sila isi kolom komentar di bawah. Semoga bermanfaat!