Resolusi disusun rapi, jadwal sudah tertata dan siap dilaksanakan, tetapi ketika waktunya datang, kok rasanya mager banget yah? Banyak yang membahas dan mengidentifikasi permasalahan ini sebagai procrastinating, menunda-nunda pekerjaan atau aktivitas tertentu. Tetapi kali ini kita coba dari perspektif yang lain yaitu action-inaction (melakukan-tidak melakukan). Perspektif ini dipilih agar tidak terjebak dalam perangkap 'ah, emang dasarnya aku males aja', tetapi mencoba untuk mundur sedikit lagi.
Apakah ada hal-hal yang mempengaruhi mengapa seseorang memilih tidak melakukan sesuatu, meski hal tersebut penting?
Langkah pertama atau lompatan pertama?
Ketika menetapkan satu tujuan/aktivitas yang ingin dilakukan, seringkali saya terlampau menyederhanakan hal tersebut dan tidak memperhitungkan hal-hal lain yang perlu dipenuhi terlebih dahulu. Contohnya ketika pertama kali menetapkan yearly reading challenge 4 tahun lalu, dengan penuh percaya diri menargetkan menyelesaikan 25 buku dalam setahun. Di saat yang sama, saya tidak menetapkan berapa alokasi waktu yang disediakan tiap harinya, mengatur jadwal, darimana bujet atau sumber buku sebanyak itu. Bisa diduga, target pun tak tercapai dan hanya membaca 4 buku di tahun tersebut.
Hal ini persis seperti yang disebut oleh Greg McKeown dalam buku Effortless. Kesalahan yang acap kali terjadi saat memulai sesuatu adalah yang kita pikir sebagai langkah pertama ternyata terdiri dari beberapa langkah. McKeown menyebutnya sebagai first viable step to start. Karena perkiraan yang meleset, kita kemudian merasa kewalahan (overwhelmed) dan memilih untuk tidak melanjutkan hal tersebut.
Strategi atau Taktik?
Untuk mencapai tujuan, ada berbagai macam framework yang bisa digunakan. Salah satunya adalah OST: Objektif, Strategi, Taktik.1 Mari kita pakai contoh yang sama:
Objektif: 25 buku dalam 1 tahun
Strategi: menjadikannya habit
Taktik: time management, habit stacking
Kesalahan yang sering terjadi adalah kurang memahami perbedaan strategi & taktik, atau malah terbalik satu sama lain. Strategi bersifat tetap, sedangkan taktik lebih fleksibel. Strategi adalah fase yang perlu dipikirkan dalam-dalam atau bahkan diperdebatkan (misal, dalam goal berskala besar seperti kampanye pemilihan presiden), sedangkan taktik adalah fase pelaksanaan. Just get the tactics done. Fase taktik ini seperti kutipan dari Jack Welch, adalah saat kita untuk 'Don't overbrain things to the point of inaction'.
Taktik juga bersifat pragmatis. Jika memang sudah mencoba satu taktik tidak berhasil, tidak masalah. Coba yang lain. Asal tidak melenceng dari strategi. Selain manajemen waktu dan habit stacking2, masih banyak opsi lain untuk diterapkan untuk mencapai 25 buku dalam 1 tahun. Memiliki accountability buddies agar bisa kontinyu, misalnya. Dengan memahami karakter dari strategi dan taktik, kita akan lebih memahami bahwa poin terpenting dari taktik bukanlah untuk dipikirkan terus, tetapi dilakukan.
Epilog
Jika dirangkum dalam poin-poin, maka apa yang perlu kita lakukan ketika muncul rasa mager adalah bertanya:
Apakah aku sedang overwhelmed karena terlampau banyak yang harus dilakukan? Apa first viable step-nya?
Apakah ini fase strategi atau taktik? Jika taktik, maka lakukan.
Untuk menutup artikel ini, sekaligus mengingatkan kembali pentingnya aksi, saya mengutip tulisan Steven Pressfield di bukunya, Do The Work.
Dibaca di Winners, karya Alastair Campbell hal. 40.
Menumpuk atau mengaitkan habit baru dengan habit yang sudah dimiliki. Misal, terbiasa untuk minum teh di sore hari. Lalu ditambah dengan membaca di saat minum teh.