Topik personal knowledge management telah menjadi topik favorit saya selama beberapa tahun terakhir. Second Brain, seperti apa yang dicetuskan oleh Tiago Forte adalah fokus yang saya sering bagikan dari waktu ke waktu. Saat mengadakan ‘Ngulik Bareng’ di awal berdirinya Lagi Ngulik tahun 2021, sharing session tersebut hanya dihadiri sedikit kawan karena masih sangat asing. Setahun berlalu, berkolaborasi dengan komunitas Lingkar Baca, kami dapat membagi topik ini dengan lebih banyak orang dan tambahan akumulasi pengalaman yang telah kami lalui. Pun juga begitu, saat buku karangan Tiago Forte, ‘Building a Second Brain’ terbit dan kami diskusikan bersama Hestia, semakin banyak yang mengetahui dan tertarik tentang personal knowledge management.
Salah satu bagian di dalamnya yang sering mengundang rasa penasaran dari teman-teman saat ingin mulai membuat-menggunakan Second Brain adalah aplikasi atau software yang dipakai. Di awal membangun Second Brain, saya menggunakan Roam Research sebagai aplikasi utama. Meski berbayar, saat itu ia sudah mumpuni dan memenuhi apa yang saya butuhkan. Sekarang saya beralih menggunakan aplikasi Obsidian dengan berbagai pertimbangan.
Akses & Keamanan
Salah satu alasan utama mengapa saya mencari alternatif selain Roam Research adalah keamanan. Saat menggunakan Roam, seluruh data diletakkan di server milik Roam. Meski sudah dijamin keamanannya oleh developer Roam Research, mau tak mau saya berpikir juga tentang kemudahan dan keamanan saya terhadap catatan yang saya miliki. Untuk Obsidian, kita dapat meletakkan catatan kita di dalam folder penyimpanan lokal seperti di drive laptop atau telepon genggam kita.
Synchronizing
Dengan natur bawaan Obsidian yang ‘hidup’ dan tersimpan di penyimpanan lokal, banyak orang yang sempat menyangsikan kemudahan sinkronisasinya, termasuk saya sendiri. Obsidian menawarkan jasa sinkronisasi dalam bentuk berlangganan, tidak berbeda dengan Roam Research. Akan tetapi, karena bentuk data yang ia ‘bawa’ terdapat dalam folder seperti data yang lain, maka ia dapat disinkronisasi dengan mudah dengan memanfaat data cloud seperti Google Drive, Dropbox, dst. Untuk sinkronisasi dengan gawai pun lebih mudah dengan bantuan aplikasi seperti FolderSync.
Plugins
Hal lain yang membuat saya ‘kepincut’ untuk menggunakan Obsidian untuk saat ini adalah adanya plugins yang dikembangkan tidak hanya oleh developer Obsidian sendiri, tetapi juga oleh komunitas atau orang per orang. Plugins tambahan dari komunitas sangat beragam, misalnya menambahkan timer & tracking teknik Pomodoro, journaling harian, dll. Fungsi-fungsi plugin yang ditawarkan juga didukung penuh oleh developer aplikasi yang lain, yang juga dekat dengan fungsi note-taking. Misalnya aplikasi Readwise, yang membuat pencatatan highlights bacaan lebih mulus lagi.
Linking Idea
Layaknya Roam Research, Obsidian mengakomodir kebutuhan saya untuk dapat menyambungkan satu catatan ke catatan yang lain dengan tautan yang mudah dilacak. Hal ini mendukung saya untuk mengetahui gagasan mana yang mulai banyak ‘muncul’, emerge dan secara spesifik dapat saya bagikan dalam bentuk tulisan ataupun post di social media.
Dari perjalanan saya berproses mempelajari Second Brain, membangun, mengadaptasi dan kemudian berganti aplikasi, ada beberapa hal yang bisa saya pahami dan aplikasikan dalam proses belajar topik lain:
Pentingnya punya tujuan saat mempelajari dan membuat sesuatu. Saya punya tujuan untuk dapat menulis dengan mudah dan secara teratur lewat Lagi Ngulik, dan berharap Second Brain dapat membantu saya mencapai tujuan ini. Tanpa tujuan (dan output) yang jelas, barangkali akan lebih sulit untuk konsisten mengulik satu topik yang sama dari waktu ke waktu.
Selama mampu membawa & deliver the goal, tidak masalah untuk tidak nampak ideal. Kadang yang menahan diri kita untuk bisa terus konsisten bergerak dan berusaha bukanlah ketidak-mampuan kita, tetapi target muluk dan tidak realistis yang kita pasang untuk diri sendiri. Hal ini saya sadari betul sehingga saya mencoba untuk tidak memasang ekspektasi berlebihan, ingin punya Second Brain serapi-semulus Ali Abdaal misalnya. Target saya hanyalah untuk bisa mencapai goal menulis, seperti yang saya tulis di poin 1. Selama itu sudah tercapai, it’s okay.
Mengingat apa yang paling penting dari semua proses ini: resiliensi dari pelajaran & catatan yang kubuat. Aplikasi boleh berubah, tetapi yang paling penting tentu pengetahuan yang terkandung dalam catatan itu sendiri. Ia adalah kumpulan kesabaran dan konsistensi untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit pengetahuan dalam buku-buku yang telah saya baca.
Kalau teman-teman tertarik dengan Obsidian, mungkin video di bawah dapat menjadi pengantar untuk berkenalan dengan Nick Milo, YouTuber yang mengulik Obsidian.
Kak apakah masih aktif komunitas nya? Izin mau bergabung butuh teman diskusi saya juga mulai aktif menggunakan obsidian
karena membaca ini saya menconvert zim saya ke obsidian. memang ada rencana bersih2. sekalian udah ada pakai zim 5 tahun.