Pernahkah kalian memasang target tertentu untuk dicapai, lalu merasa terpukul karenanya? Saya baru-baru ini merasakan hal yang seperti itu. Sebentar lagi cuti melahirkan saya usai dan saya akan kembali bekerja. Meskipun pekerjaan saya di BBB Bookclub adalah paruh waktu, tetapi ada saja kegiatan-kegiatan yang mengharuskan saya berfokus penuh atau luring dan tidak dapat dilakukan sembari menyusui anak. Oleh sebab itu, ketika berkonsultasi dengan dokter laktasi, beliau menyarankan agar saya mulai memompa ASIP (Air Susu Ibu Perah) tiap hari sebanyak 80-100ml. Sebuah target yang moderat dan sudah dihitung berdasarkan kebutuhan bayi, sekaligus dengan fase menyusui saat ini. Sejak awal menyusui, saya juga sudah mulai pumping karena ASI sering merembes. Jadi saya tidak khawatir akan target ini.
Siapa sangka, seminggu berturut-turut sepulang dari waktu konsultasi, bayi kecil saya ini meningkat secara kuantitas dan frekuensi menyusunya. Jauh dari pola sebelumnya. Hal ini membuat saya gelagapan dan akhirnya tidak dapat memompa ASIP. Di hari pertama setelahnya, saya mencoba memerah dan hanya mendapatkan 30ml. Kejadian ini membuat saya merasa gagal dan tidak kapabel sebagai ibu. Sebenarnya hal ini tidak perlu karena, secara rasional, jika sudah berusaha sebaik mungkin, apakah si bayi akan menuduh saya sebagai ibu yang buruk? Tentu tidak. Lalu apa ketakutan terbesar saya sendiri? Atau kesalahan saya dalam berpikir hingga merasakan perasaan seperti itu?
Perfectionism & Valuing Worth through Achievement
Salah satu bias berpikir yang umum dimiliki manusia adalah perfeksionis, hanya mau yang sempurna, sesuai standar pribadinya, atau yang ideal saja. Hal yang disebut oleh Julia Cameron sebagai menolak untuk maju. Ia menjebak kita dalam perasaan yang selalu 'not good enough'. Padahal, bisa jadi faktor yang menyebabkan tidak tercapainya target berada di luar kuasa kita sendiri.
Menjadi perfeksionis juga biasa diperparah dengan perspektif bahwa nilai kita ditentukan oleh seberapa banyak yang kita capai1 Jika kita tidak berhasil mencapai sesuatu, perasaan unworthy muncul. Persis ketika hasil pumping ASIP hanya menunjukkan kurang dari yang saya ingini, perasaan ini pun sempat terlintas. Jika saya terperangkap dalam pola pikir ini, mudah sekali untuk spiralling down. Merasa kurang -> stress -> hormon oksitosin turun -> ASIP lebih turun lagi -> merasa kurang lagi; dan seterusnya. Beruntung, menulis di waktu journaling harian membuat saya 'menangkap' situasi ini dan memaksa saya berhenti sejenak. Saya kemudian berefleksi, apa saja yang bisa saya lakukan agar tidak terjebak pada target yang saya tentukan?
Reframing targets
Alih-alih melihat target sebagai aturan yang jika tidak tercapai maka menerima hukuman, saya akan meletakkannya sebagai kompas. Ia adalah panduan yang mengarahkan, bukan layaknya hakim atau polisi. Rentangan target yang diberikan oleh dokter laktasi juga perlu dilihat sebagai spektrum, bukan seperti kutub berlawanan antara 'gagal' dan 'berhasil'. Kekakuan biner yang muncul di pikiran tidak akan membantu, seperti penjelasan spiralling down di atas.
Saya juga mengingatkan diri sendiri, bahwa cinta tidak sesempit itu, mendefinisikannya hanya dengan mililiter ASIP yang tercapai. Tiga puluh mililiter pun, sebenarnya patut dirayakan karena ia adalah bukti dari rasa kasih sayang yang tak kurang-kurang. Situasi yang seperti ini memang memaksa diri untuk menghadapi keterbatasan, dan tentu hal ini tidak nyaman2. Menyandarkan semua kepadaNya setelah memberikan usaha terbaik, adalah jurus terakhir untuk menghadapi 'kutukan' target ini. Karena dengan bertawakkal, saya mengakui hal-hal yang berada di luar kuasa saya sendiri, menyadari keterbatasan sebagai manusia dan menyerahkannya kepada Sang Pencipta.
Hersey, Tricia. Rest Is Resistance: A Manifesto. Little Brown Spark, 11 Oct. 2022.
Burkeman, Oliver. Four Thousand Weeks. Random House Uk, 2022.