Beberapa hari lalu, saya mendapat pesan dari kerabat jauh. Menanyakan kabar pasca melahirkan, bertanya soal proses persalinan, berat badan bayi, perjalanan dinas suami ke luar negeri yang tepat seminggu setelah persalinan hingga beliau berkomentar:
“Setelah lahiran langsung ditinggal suami kerja dinas jauh? Wah Mbak, ibu yang hebat.”
Kalimat itu mungkin dimaksudkan sebagai pujian. Tapi jujur saja, saya merasa perlu menampiknya. Mengapa? Karena saya tahu betul, saya bisa menjalani masa krusial ini dengan relatif nyaman karena privilege yang saya miliki: ada Ibu yang mendampingi, ada akses pada layanan home care, dan sistem pendukung yang tidak dimiliki semua orang.
Namun di sisi lain, menjelaskan panjang lebar soal privilege kadang membuat saya merasa mengecilkan usaha sendiri. Bukan berarti tidak ada lelah atau tantangan, juga persiapan finansial yang sudah diusahakan jauh hari agar mampu menanggung sistem pendukung tadi. Menyusui lagi setelah 10 tahun berselang membuat saya berpikir dari perspektif yang berbeda. Misalnya, dari interaksi dengan kerabat ini, yang jadi pertanyaan besar di kepala saya adalah:
Kenapa kita lebih sering memuji perempuan yang ‘kuat’ menanggung beban, ketimbang berupaya mengurangi bebannya (secara sistemik)?
Rasa Kewalahan yang Sistemik
Berdasarkan banyak studi feminis, perempuan kerap mengalami triple burden: pekerjaan rumah tangga, pengasuhan anak, dan pekerjaan produktif (yang menerima upah). Beban ini tidak datang dengan dukungan struktural yang seimbang, baik dari pasangan, komunitas, maupun negara. Akibatnya, banyak perempuan yang mengalami 'time poverty'1, kelelahan kronis2, dan akhirnya kehilangan ruang untuk dirinya sendiri.
Pekerjaan domestik dan emosi sering kali dianggap "biasa aja", padahal tidak semua pekerjaan bisa didelegasikan ke orang lain tanpa kehilangan dimensi relasionalnya. Belum lagi, kita dididik untuk merasa bersalah jika meminta bantuan atau terlihat tidak sempurna. Padahal, conflict without will creates frustration. Konflik antara realitas dan harapan akan terus berputar di tempat, kalau tidak ada kemauan untuk mengubah.
Mengubah diri, mengubah kultur
Ada hal-hal yang bisa kita lakukan sebagai perempuan:
Menyederhanakan standar yang terlalu tinggi. Rumah sewajarnya saja tidak harus selalu kinclong dan rapi. Tak perlu menilai seseorang hanya dari tampilan luar yang persis seperti standar kita sendiri
Berani bicara soal beban kerja emosional dan domestik yang tak terlihat. Beban mental itu nyata adanya. Mengantar anak ke dokter gigi, berbelanja dan hal lain yang biasa disematkan pada perempuan saja itu tidak saklek, bisa diatur sesuai kesepakatan.
Menerima dan meminta bantuan tanpa rasa bersalah. Karena bantuan itu bukan perkara benar-salah, tetapi rela atau tidak. Sebagai perempuan, bisa juga mengkomunikasikan dengan jelas, bantuan apa yang saat ini diperlukan agar tepat sasaran.
Mengadvokasi perubahan budaya dan kebijakan secara kolektif. Jika ada campaign yang mendukung dekonstruksi beban perempuan, beri dukungan secara terbuka, baik secara materiil maupun mengangkatnya dalam perbincangan sehari-hari. Pelajari undang-undang yang terkait dengan perempuan seperti UU KIA (Kesejahteraan Ibu dan Anak), agar kita semakin paham hak yang dimiliki perempuan.
Namun, seperti yang ditekankan dalam banyak riset, perubahan yang berkelanjutan bukan hanya soal strategi individual, tapi sistem yang perlu dibongkar dan dibangun ulang. Karena “hebat” bukan soal bisa menanggung segalanya sendirian. Tapi soal bagaimana kita bisa membayangkan sistem yang lebih adil, dan bergerak bersama untuk mewujudkannya.
Jika kamu setuju bahwa perempuan tak harus selalu kuat sendirian, mungkin kita perlu bertanya:
Apa yang bisa kita ubah bersama agar tidak terus memuji ketangguhan tanpa mengubah struktur yang menindas?
Bradshaw, Sarah, et al. “Gender and Poverty: What We Know, Don’t Know, and Need to Know for Agenda 2030.” Gender, Place & Culture, vol. 24, no. 12, 13 Nov. 2017, pp. 1667–1688, https://doi.org/10.1080/0966369x.2017.1395821.
Caroline Criado Perez. Invisible Women. Random House Uk, 2019.