Mimpi dan Keluarga
Melanjutkan tema serupa di edisi lalu, saya ingin melanjutkan pembahasan tentang mimpi. Satu hal yang acap kali dicurahkan oleh kawan yang bertemu dengan saya, apalagi yang seumuran, adalah keluarga sebagai tantangan untuk mewujudkan mimpi. Seringkali, saya mendengar kalimat-kalimat ini:
"Aku juga pengen sekolah lagi."
"Aku juga pengen mulai usaha."
"Aku juga pengen ngejar mimpi yang sempat tertunda… tapi gimana, aku kan udah punya anak/keluarga."
Dan saya mengerti betul keraguan itu. Karena saya pun pernah berada di sana.
Setelah mencoba menjalani, saya merasa justru dengan adanya anak dan keluarga, kita bisa mendekati mimpi dengan cara yang lebih matang, lebih realistis, dan lebih penuh makna. Anak bukan penghalang. Mereka adalah saksi hidup perjalanan kita. Apa yang kita lakukan hari ini akan mereka ingat, tidak hanya sebagai “pengorbanan orang tua”, tapi sebagai keberanian seorang manusia yang tetap bertumbuh, meski hidup penuh tuntutan.
Jika bercermin pada masa kecil, saya memahami dan menyaksikan teladan itu dari orang tua. Untuk mewujudkan mimpi membangun rumah, Ibu saya memiliki usaha sampingan berjualan sprei dan kosmetik, selain pekerjaan penuh waktunya sebagai guru Sekolah Dasar. Seringkali saya harus ikut dengan Ibu untuk kulakan di Pasar Turi, Surabaya. Berangkat dengan mobil Carry yang kursinya dicopot semua, agar ketika pulang bisa membawa barang dagangan sebanyak-banyaknya. Sedangkan Bopo, mengatur jadwal cuti dari shift pekerjaannya di Pabrik Gula agar jatuh di hari Minggu. Minggu pagi, kami sekeluarga pergi ke tanah tempat calon rumah, dengan membawa cangkul, tikar dan bekal makanan. Tanah tersebut memiliki ketinggian berbeda dari ruas jalan di depannya, sehingga perlu untuk diurug atau ditimbun dengan tanah tambahan agar tidak lebih rendah dari ruas jalan. Bopo mencangkul dan meratakan tanah, anak-anaknya mengangkuti tanah yang sudah dicangkul, lalu "piknik" menyantap bekal yang kami bawa setelahnya. Tanpa beliau berdua perlu ucapkan berkali-kali, usaha dan kerja keras telah menjadi nilai yang mengakar buat kami, anak-anaknya.
Mimpi itu personal, tetapi bisa diwujudkan secara komunal
One day, she said: “I want to study abroad.”
One night, he said: “I want to be a world-class researcher.”
The little girl also said: “I want to be a football player!”
Setiap mimpi punya pemiliknya masing-masing. Tak peduli seberapa besar atau kecil, setiap mimpi berhak diperjuangkan. Ada mimpi yang tumbuh perlahan, seperti benih yang disiram terus menerus sejak kecil. Tapi ada juga mimpi yang muncul tiba-tiba, seperti petir yang menyambar di siang bolong. Yang mana pun, mereka sama-sama baiknya dan wajar saja.
Mimpi itu cair. Ia bisa berubah bentuk, bertambah besar, berpindah arah, atau bahkan diam tak bersuara sampai satu momen tertentu menyentil kesadaran kita. Maka tak pernah ada waktu yang “terlambat” untuk mulai bermimpi. Memupuk mimpi sejak kecil itu luar biasa. Tapi menemukan mimpi di usia 30-an sambil menemani anak tidur pun tak kalah bermakna. Jika kita bisa sepakat bahwa bermimpi tidak perlu kata telat, mari beralih ke pertanyaan berikutnya: bagaimana untuk menjadikan keluarga sebagai ekosistem yang mendukung mimpi tersebut dapat mewujud?
Salah satu yang saya lakukan secara pribadi adalah dengan sering membicarakan mimpi itu. Anak saya tahu betul (dan ia memang perlu tahu) mengapa saya ingin melanjutkan studi ke jenjang master. Ia tahu sejarahnya, hal-hal apa yang menarik di dalam studi yang saya pilih, ia terlibat dalam porsi yang ia bisa lakukan (tentu dengan cara memberitahu, apa yang bisa ia kontribusikan). Suami pun begitu, ia jadi sounding board yang jernih saat saya merasa perlu menguji ide yang ada di kepala tentang mimpi yang saya miliki. Di saat yang sama, dengan membuka topik mimpi dalam kehidupan sehari-hari, anak dan suami juga lebih nyaman untuk menyampaikan mimpi mereka masing-masing. Perlahan-lahan dari sana kami berdiskusi apa langkah yang bisa kami lakukan untuk mendukung mimpi-mimpi itu terwujud, apa saja resiko dan bagaimana memitigasinya. Meski mimpi itu sangat personal untuk yang menjalani, tetapi keluarga dapat menjadi support system yang tangguh agar ia dapat menjadi nyata.
“Kalau bukan sekarang, kapan? Kalau bukan aku, siapa?”