Setelah 2 minggu lalu saya menuliskan tentang cara ‘menggali’ apa yang sebetulnya kita ingini dan menetapkan 5 prioritas dalam hidup a la Warren Buffett, kali ini saya akan membahas tentang mitos, persoalan yang biasa hadir mengiringinya. Mulai dari kesulitan untuk mengubah perilaku, memilih goal yang ambisius atau yang realistis, dan kebingungan atas alat yang digunakan. Yuk, langsung kita bahas satu-satu!
Mengapa berubah itu susah?
Setelah menetapkan goal, biasanya ada perubahan yang harus dijalani untuk mendukung proses mencapai goals tersebut. Misal saja punya target ingin lebih sehat, kemudian menetapkan untuk olahraga seminggu 3 kali. Jika sebelumnya tidak teratur berolahraga, maka tentu akan ada pergeseran jadwal, kebiasaan bahkan alokasi dana untuk mendukung goals ini. Kalau olahraganya di gym, maka butuh uang untuk transportasi ke gym atau paling tidak beli bensin. Terkadang, perubahan kecil seperti ini luput dan tidak diperhitungkan saat pertama kali memilih goal. Dan tidak jarang, menjadi friksi/gesekan dan merasa malas setelahnya.
Kita bisa mendapat penjelasan tentang perubahan manusia dari berbagai perspektif. Salah satu yang cukup ‘keras’ dan menggugah adalah dari buku The Courage to Be Disliked:
Di dalam buku tersebut, tokoh filsuf menjelaskan bahwa manusia dapat mengalami ketakutan ketika ingin berubah. Ada hal yang tidak pasti dan kemungkinan untuk ke arah yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Hal inilah yang kemudian membuat manusia cenderung menyukai keadaan status quo, yang pasti-pasti saja dan tidak memilih untuk berubah. Mengetahui hal ini menurut saya sangat powerful, karena kita kemudian tahu bahwa yang kita butuhkan adalah keberanian ditambah persiapan pada hal-hal apa saja yang bisa kita lakukan untuk cushion the blow.
Kembali ke contoh olahraga seminggu 3 kali, jika bujet ke gym menjadi masalah maka kita bisa cegah dengan alternatif olahraga apa yang bisa dilakukan di rumah. Jika yang kita butuhkan adalah ambience atau trainer, kita juga bisa mencari alternatif dengan biaya yang lebih ramah kantong. Setelah memiliki bermacam opsi, giliran kita bertanya lagi pada diri sendiri: am I choosing to not accomplish the goal by making the excuse?
Ambisius atau Realistis?
Saya akhir-akhir ini senang menonton televisi bersama keluarga, tayangan Masterchef Professional UK. Tayangan berbasis kompetisi masak-memasak antar chef profesional yang digawangi juri chef Marcus Wearing, chef Monica Galetti dan host ternama Gregg Wallace. Di salah satu episodenya, ada bagian dimana salah satu peserta tidak dapat menyelesaikan menu yang ia tulis/rencanakan karena terlampau banyak dan hal ini sudah diperingatkan sebelumnya. Ada komentar yang terngiang di kepala saya hingga saat ini:
It’s great to be ambitious. It’s good to have it when you could temper it with realities.
Menetapkan goal dapat menjadi tricky, apakah kita perlu menjadi ambisius dan mencanangkan mimpi setinggi langit? Atau bersikap realistis saja? Sejauh yang saya pelajari dan baca, konsep FLOW dari Mihaly Csikszentmihalyi masih dirasa cukup menjawab pertanyaan ini. Tujuan harus cukup menantang, tetapi tidak terlalu sulit sampai kita tidak enjoy. Steven Kotler juga melengkapi dalam bukunya The Rise of Superman bahwa tingkat kesulitan yang perlu dipasang untuk mendapatkan flow adalah 4%. Empat persen bukanlah peningkatan yang drastis, tetapi jika dilakukan terus menerus maka kita akan dapat mencapai goal yang ambisius sekalipun nantinya.
A.T.G.N.I - All The Gear, No Idea
Salah satu kesalahan yang berulang muncul saat menetapkan tujuan adalah yang dikritisi oleh akronim di atas: all the gear, no idea. Lebih fokus pada alat dan bukan pada gagasan. Contohnya saat saya di awal mempelajari tentang teknik anotasi Second Brain, kesalahan yang saya buat sebelumnya adalah terlalu fokus pada tools/gear-nya. Padahal yang lebih penting adalah melakukan atau praktik lebih dulu, memahami prinsip dan mindsetnya. Baru kemudian dapat diperbaiki sambil jalan, tools apa yang bisa menyelesaikan masalah yang saya hadapi.
Masih dengan konteks contoh yang sama, Tiago Forte dalam Building a Second Brain mengingatkan bahwa kita perlu paham bahwa tools yang kita miliki berfungsi untuk memperlancar kita dalam mencapai tujuan. Bukan malah repot dengan tools saja.
Dari ketiga mitos dan tantangan yang sudah kita bahas di atas, mana yang paling sering kalian hadapi, temans?