Minggu lalu, saya berkesempatan untuk menghadiri tur buku “You Do You” bersama penulisnya, Fellexandro Ruby di Surabaya. Senang sekali dapat berjumpa secara langsung dengan mas Ruby, setelah selama ini berkomunikasi via daring saja. Di dalam acara tersebut, sesi tanya jawab berlangsung seru. Demografi penonton yang mayoritas berusia 20an, membuat saya merasa bercermin dan melihat diri saya sendiri di masa lalu, di usia tersebut. Permasalahan yang dihadapi memiliki ciri khas, nampak dari pertanyaan yang diajukan. Artikel ini ingin membahas 2 pertanyaan yang saya anggap penting dan menarik untuk diulik lebih dalam.
Motivasi untuk Hal yang Tidak Disukai
Pertanyaan ini diajukan oleh audiens yang sedang dalam pengerjaan skripsi di semester akhir perkuliahan. Di saat yang sama, ia memiliki pekerjaan sampingan yang dijalani sehari-hari. Ia mengaku kesusahan untuk tergerak mengerjakan skripsinya dan cenderung mendahulukan perihal lain. Ia secara spesifik menanyakan: bagaimana memotivasi diri untuk mengerjakan kewajiban yang tidak disukai, sehingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi tersebut?
Mas Ruby menjawab: cari bagian yang kamu sukai, ada kuasa untuk merubah agar lebih menarik untukmu, lalu cari bantuan untuk hal yang kamu tidak bisa atasi sendirian. Misal saja untuk skripsi, apakah temanya bisa kamu tentukan? Jika iya, maka pilih yang paling menarik buatmu. Dalam prosesnya, tentu saja boleh mencari bantuan, dari pembimbing, kakak tingkat, misalnya. Agar lebih mudah dalam menyelesaikannya dan tahu arah mana yang perlu ditempuh.
Alih-alih tentang motivasi, saya menyukai pendekatan fokus dan distraksi. Bagaimana jika untuk menyelesaikan skripsi yang tidak kunjung rampung, kita mencoba bertanya dulu: apakah selama ini saya dapat fokus saat mengerjakannya? Apakah saya mudah terdistraksi atau membiarkan distraksi hadir dan menanggapinya?
Catherine Price dalam bukunya “How to Break Up with Your Phone” memberikan salah satu pertanyaan sebagai jurus untuk menangkal distraksi dan mampu berfokus pada apa yang perlu kita lakukan. Dalam buku ini distraksi yang dimaksud adalah kebiasaan untuk meraih gawai kita dari waktu ke waktu, semata-mata karena terbiasa. Jurus ini juga dapat diterapkan untuk bentuk distraksi lain. Ia menyingkatnya menjadi W.W.W.: what for, why now and what else?
Dalam konteks audiens yang merasa kesulitan bertahan mengerjakan skripsinya, maka ketika akan melakukan hal lain, bertanya kepada diri sendiri ketiga pertanyaan ini akan membantu mengembalikan ‘kesadaran’ atau awareness terhadap apa yang ia lakukan, apakah akan bermanfaat untuk tujuan besar yang ingin ia capai (menyelesaikan skripsi dan lulus), atau justru semakin menjauhkan dari tujuan tersebut. Kesadaran lain yang ditekankan W.W.W. adalah waktu yang digunakan. Apakah betul harus dilakukan sekarang? Mengapa tidak nanti? Apakah sudah sejalan dengan apa yang ingin kita capai? Juga apakah ada hal lain yang lebih penting?
Rasa Bosan dan Mandeg
Pertanyaan kedua datang dari seseorang yang baru memasuki umur 20 tahun. Ia menanyakan bagaimana cara mengatasi kebosanan dalam menjalani pekerjaan atau bidang yang sedang ia geluti.
Jawaban mas Ruby: coba cari apa yang kamu anggap menarik dari pekerjaan tersebut. Ia menceritakan dari pengalaman kerjanya sebagai sales alat berat, bagian yang paling menarik buatnya adalah bertemu dengan orang yang sukses yaitu para kliennya. Secara finansial, klien-kliennya dapat membeli alat berat/konstruksi yang harganya ratusan juta rupiah. Mereka memiliki masing-masing cerita yang unik. Momen ini selalu mas Ruby nantikan dan cukup menjadi “bahan bakar” untuk menjalani bagian lain dari pekerjaan yang tidak terlalu ia sukai.
Bosan menurut saya manusiawi, wajar saja untuk kita alami. Umumnya, kita sering tergelincir dan tidak mampu membedakan bosan (bored) dan mandeg (being stuck). Menurut Jake Knapp dan John Zeratski dalam bukunya “Make Time”, perbedaan utama dari kedua hal tersebut adalah dalam kebosanan kita tidak harus melakukan apa-apa, sedangkan saat mandeg kita sudah tahu betul apa yang perlu kita lakukan tetapi otak kita seolah tidak tahu harus mulai dari mana.
Menurut Knapp dan Zeratski, bosan dan mandeg adalah hal yang baik. Kebosanan dapat membuat pikiran kita mengembara, dimana dalam prosesnya kita kerap menemui hal-hal yang menarik. Dalam studi yang dilakukan terpisah oleh peneliti di Penn State dan University of Lancashire menunjukkan bahwa subyek penelitian yang bosan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyelesaikan masalah secara kreatif dibandingkan subyek yang tidak bosan.
Lalu bagaimana solusi yang mereka tawarkan? Just sit there. Just be bored. Just be stuck.
“Don’t give up. Stare at the blank screen, or switch to paper, or walk around, but keep your focus on the project at hand.”1
Percayalah, meskipun ketika pikiran sadar kita merasa frustrasi, tetap ada bagian otak kita yang memproses apa yang kita hadapi dan membuat kemajuan (progressing).
Dari kedua pertanyaan ini, mana yang paling dekat dengan kehidupanmu?
Knapp, Jake; Zeratsky, John. Make Time (p. 158). Transworld. Kindle Edition.