PERCAKAPAN PUKUL EMPAT SORE: UANG, NILAI DIRI, DAN TELADAN DEKAT
Cuitan Selepas Membaca Buku THE PSYCHOLOGY OF MONEY-MORGAN HOUSEL
Saya baru selesai membaca audiobook Psychology of Money dari Morgan Housel via Storytel Juni lalu. Buku yang terbit 1 Januari 2020 ini mendapat rating 4.37 di goodreads1. Saya membaca sambil penasaran, sebagus apa buku ini hingga banyak dikutip oleh (setidaknya) influencer2 yang saya ikuti di media sosial? Oh ya, karena saya membaca versi Bahasa Inggris, dalam tulisan ini beberapa kata akan saya terjemahkan ke Bahasa Indonesia dalam konteks yang paling cocok dengan pemahaman saya. Sebagai tambahan, buku ini membahas tentang uang dalam skala paling kecil (milik pribadi) hingga skala besar (investasi jumlah besar). Kali ini saya akan membahas skala kecilnya, karena saya belum punya pengalaman berinvestasi dalam nominal besar.
Keseluruhan buku ini bagus sekali, tapi dalam tulisan ini saya akan membahas tiga kata dalam sampul: Wealth, Greed, dan Happiness. Ketiganya beririsan, sebaiknya dibaca berurutan.
Wealth (kemapanan)
Penulis membahas wealth pada chapter 9, sedangkan pada chapter 1 hingga 8 ia telah terlebih dahulu menjelaskan mengapa setiap orang bisa memiliki persepsi berbeda tentang uang. Beda generasi, beda pola asuh, beda kondisi ekonomi saat dibesarkan, dan beda pengalaman atas uang adalah beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut. Penting untuk memahami bahwa memiliki uang artinya tidak sebatas pada berapa banyak uang yang kita hasilkan, melainkan juga bagaimana kita mengelola dan menyimpannya.
Lantas bagaimana cara agar menjadi mapan? Some combination of frugality3 and paranoia4, kata penulis. Tidak perlu membelanjakan seluruh penghasilan, tetap tahu beda antara keinginan dan kebutuhan. Menjadi paranoid (tentunya dalam derajat yang tidak besar) atas kemalangan yang mungkin terjadi, ternyata membantu untuk memotivasi diri memiliki simpanan uang (dalam bentuk apapun).
Greed (keserakahan)
Bagaimana cara agar rasa syukur atas kepemilikan uang tidak menjadikan kita pribadi yang serakah? Knowing enough is the key to not taking the risk that will harm these things, kata penulis. Membandingkan harta sendiri dengan harta orang lain, bisa memotivasi diri untuk lebih giat bekerja. Tapi bisa juga membuat diri menjadi tidak bersyukur, seperti ungkapan mahsyur Theodore Roosevelt: Comparison is the thief of joy.
Penulis membeberkan paradoks atas kepemilikan benda mahal seperti mobil dan rumah. Apakah kita benar-benar ingin punya barang mahal tersebut, atau yang kita ingini sebenarnya rasa kagum dan respek dari orang lain karena kita punya barang-barang mahal? Padahal, kata penulis bukan begitu cara mendapatkan respek. Humility, kindness, and empathy will bring you more respect than horsepower.
Happiness (kebahagiaan)
Penulis mengutip hasil penelitian seorang psikolog bernama Angus Campbell mengenai faktor-faktor yang membuat seseorang merasa bahagia. He found that more than income, education or geography, having control over one time no matter what conditions of life are is the common denominator of happiness. Memiliki opsi untuk memecahkan masalah pada kondisi apapun, bagaimana caranya? Dengan punya simpanan uang. Lalu bagaimana cara punya simpanan uang? Dengan menabung, hidup frugal, berjaga atas kemalangan, dan punya rasa cukup. Kembali ke poin 1 dan 2, begitu seterusnya.
Saya menamatkan buku ini dengan perasaan tetiba rindu pada teman-teman di indekos saat kuliah dulu. Percakapan Pukul Empat Sore (PPES), begitu kami menyebut kegiatan bercakap-cakap hangat itu. Anggotanya siapa saja yang tinggal seatap, yang pada jam tersebut tidak sedang berkegiatan di luar. Biasanya kami duduk di balkon lantai dua, atau di ruang tamu dengan televisi yang kami biarkan menyala hanya agar ruangan tidak sepi. Kami bercakap tentang apa saja, dan satu yang saya ingat benar: kami pernah bicara tentang uang dan nilai (value).
Kami sepakat bahwa uang adalah alat tukar, yang sebaiknya tetap dimaknai demikian. Tukar uang dengan gawai, dan gunakan gawai untuk membantu aktivitas agar efisien. Tukar uang dengan tiket pesawat, dan gunakan tiket itu untuk mengunjungi tempat yang berbeda dengan rumahmu. Uang tidak sebaiknya diartikan lebih dari itu, lebih-lebih melekatkan nilai diri dengan uang. Tidak perlu berlomba-lomba membeli gawai terbaru yang super canggih, agar dinilai sebagai orang kaya; tanpa tahu fungsi kecanggihan gawai. Tidak perlu membeli tiket pesawat untuk liburan, hanya agar sama dengan orang lain; tanpa peduli bagaimana cara mendapatkan uangnya.
Saya bingung, bagaimana mungkin celotehan para gadis di awal umur 20 itu bisa sama dengan (paling tidak) chapter awal buku The Psychology of Money? Lebih-lebih, saat itu kami masih bergantung pada uang saku dari orang tua, belum berpenghasilan tetap. Dalam kebingungan ini, saya menemukan kesamaan di antara anggota PPES: kami berasal dari keluarga yang secara sosial ekonomi hampir sama, bahkan beberapa dari orang tua kami adalah pemilik kapital. Kami tumbuh besar dengan menjadi bahagia sesuai deskripsi penulis: the ability to do what you want, when you want, with who you want, for as long as you want is priceless. It is the highest divident money pays. Kami punya pilihan atas apa yang kami mau, dan melalui uang milik orang tua kami seringkali mendapat apa yang kami mau (dengan cara-cara yang benar).
Tapi apa privilese secara finansial ini serta merta adalah alasan mengapa saya merasa kebijaksanaan dalam buku ini adalah common sense5? Secara pribadi, saya teringat almarhum ayah saya dan bagaimana beliau mengelola uang semasa masih hidup. Ayah bukanlah pribadi yang berlebih-lebihan dalam memiliki barang, walaupun barang yang ia punya pastilah berkualitas bagus. Saya ingat betul ayah punya sepasang sandal jepit untuk dipakai ke masjid, sepasang sandal formal untuk dipakai berkegiatan, juga sepasang sepatu formal untuk menghadiri undangan resmi. Masing-masing sepasang saja, dan akan dipakai hingga butut sebelum membeli sepasang yang baru. Saya lantas ingat bagaimana Greget Kalla Buana, seorang Islamic Finance Specialist, membahas perspektif ini dalam konteks zuhud dan qana’ah dalam laman instagramnya6. Hidup merasa cukup, tetapi tidak ragu menampakkan nikmat dari Allah. Ayah adalah teladan yang membuat saya pun mengadaptasi nilai-nilai yang saya kenal sebagai minimalism dan frugal living di kemudian hari.
Saya rasa, teladan dari orang terdekat ini pula yang membuat sesama anggota PPES memiliki persepsi yang sama tentang uang. Buku The Psychology of Money dan Percakapan Pukul Empat Sore membuat saya sampai pada sebuah kesimpulan. Privilese tertinggi tentang uang ini adalah teladan dari orang terdekat: children see, children do. Saat sekarang saya berpenghasilan tetap, saya tahu bahwa saya mau hidup merasa cukup agar di masa depan punya pilihan yang lebih banyak. Rasanya, teladan dekat ini pula yang membuat saya merasakan Joy of Missing Out, saya merasa tenang saat tidak bersenang-senang dengan cara yang persis sama seperti cara orang lain. Lalu bagaimana jika ingin belajar tentang uang tetapi tidak punya teladan dekat? Literasi finansial bisa dipelajari dari banyak sumber, ada banyak nama dan institusi yang berbagi ilmu baik gratis maupun berbayar. Selama kesadaran pentingnya mengelola uang sudah ada, pasti ada jalan untuk bertemu dengan teladan baik agar menjadi lebih bijaksana.
The Psychology of Money by Morgan Housel | Goodreads, diakses 05 Juli 2023
the quality of being careful when using money or food, FRUGALITY | English meaning - Cambridge Dictionary, diakses 09 Juli 2023
an extreme and unreasonable feeling that other people do not like you or are going to harm or criticize you, PARANOIA | English meaning - Cambridge Dictionary, diakses 09 Juli 2023