Baru-baru ini saya membaca buku Ratio karya Michael Ruhlman. Subjudulnya mencuri perhatian: The Simple Codes Behind the Craft of Everyday Cooking. Kode? Memasak ada kode-nya? Itu yang terlintas pertama kali dalam kepala saya. Ternyata yang dimaksud adalah semacam rumus perbandingan yang mendasar untuk memasak menu-menu tertentu. Misalnya untuk pasta, perbandingan antara tepung : telur = 3:2. Untuk roti, perbandingan tepung : air = 5 : 3 (+ragi+garam). Perbandingan ini foolproof, anti gagal. Tentu teknik & jam terbang berpengaruh pada kualitas hasil akhirnya, tetapi jika sudah paham rasio ini maka kamu bisa (paling tidak) mencapai standar ‘good enough’.
Saya kemudian berpikir, apakah prinsip ini bisa diterapkan dalam kehidupan? Punya rumus atau perbandingan di area tertentu dalam hidup? Karena hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan Greg McKeown dalam bukunya Effortless. Untuk mempermudah hidup kita, kita perlu menentukan batas atas & batas bawah dari sebuah aktivitas. “Never less than X, never more than Y”. Jangkauan ini akan membantu kita untuk mengatur ritme & mencapai kemajuan yang konsisten. Ia juga mencegah kita kehilangan rasionalitas dengan mentargetkan hal yang di luar jangkauan.
Berangkat dari sini saya melihat lagi catatan dari apa yang pernah saya pelajari. Apakah ada hal yang bisa punya rasio atau rumus tertentu? Jawabannya ada!
Magic Ratio in Relationship based on John Gottman = 5:1
Dalam relasi, terutama relasi romantis, John Gottman pernah menyimpulkan dari penelitiannya bersama Robert Levenson di tahun 1970-an, bahwa ada perbedaan pada bagaimana pasangan yang mampu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dengan yang tidak. Sederhana, ternyata yang membedakan adalah rasio interaksi positif dan interaksi negatif antara pasangan tersebut. Rasionya adalah 5:1. Artinya, di setiap 1 interaksi negatif saat berkonflik, pasangan yang bahagia memiliki 5 interaksi positif (atau bahkan lebih).
Tingkat kesulitan untuk mencapai flow
Konsep flow atau in the zone ketika melakukan suatu aktivitas, cukup ramai diperbincangkan di ranah produktivitas. Ketika mengalami flow, orang akan lupa waktu, enjoy dan menikmati aktivitas tersebut. Salah satu syarat tercapainya flow adalah ada kenaikan tingkat kesulitan dari waktu ke waktu, sehingga kita bisa merasakan tantangan ketika menjalaninya. Sebaliknya, jika terlampau sulit, flow bukan saja tidak tercapai, tetapi malah muncul kekhawatiran, bahkan anxiety. Maka, seberapa besar tingkat kesulitan yang harus kita tingkatkan? Stephen Kotler menjawabnya di buku The Rise of Superman, bahwa reratanya adalah 4% dari kemampuan saat ini. Angka ini bisa dibilang relatif kecil, tetapi terbukti dapat membuat upaya kita mencapai flow ini konsisten & berkelanjutan.
Berbuat Baik
Selaras yang ditulis Devon di Lagi Ngulik edisi ini, saya mau mengutip sitasi yang sama dari buku Give & Take karya Adam Grant. Kerap kali kita didera rasa bimbang ketika mengaplikasikan sikap memberi (giving) dalam relasi. Ada yang bilang, ‘tidak boleh terlalu baik, nanti dimanfaatkan’, atau ‘nice guys finish last’. Kalimat-kalimat ini memberi kesan peyoratif terhadap orang-orang yang berbuat baik. Adam Grant menawarkan solusi untuk bersikap sebagai Otherish Givers, dengan perbandingan sikap memberi:menyesuaikan = 2:1. Jadi kira-kira, setelah 2 kali bersikap memberi, sesuaikan sikap yang ketiga dengan bagaimana orang lain tersebut memperlakukanmu. Loh, kalau ada yang Taker1, apa kita perlu ikut jadi Taker juga? Tidak. Jika ada yang bersikap ambil untung doang, kamu bisa memadani sikapnya dengan menolak melayani permintaannya.
Kalau kamu, pernahkah menemukan rasio serupa di bidang ilmu yang kalian senangi atau asyik diulik? Bagi dong! Tulis di kolom komentar ya biar bisa dibaca juga oleh teman-teman lainnya.
Konsep Giver, Taker dan Matcher bisa teman-teman baca di artikel ini: