Di tahun 2022 lalu, saya yang (mengaku) suka baca mengenal sebuah klub Bernama Buibu Baca Buku Book Club (BBB Book Club). Saya memang bukan ibu, tapi klub ini terbuka untuk semua perempuan Indonesia yang menggemari literasi. Tahun tersebut, BBB Book Club membuat reading challenge yang disertai prompt yang bisa diunggah di websitenya (Reading Challenge 2022 – Buibu Baca Buku Book Club). Prompt ini berisi genre atau jenis buku yang kira-kira menarik dibaca sepanjang tahun itu. Saya tergelitik membaca prompt nomor 14: A biography/memoir. Kapan ya terakhir kali saya baca biografi, atau bahkan autobiografi?
Tanpa sengaja, akhir tahun lalu saya beli sebuah buku yang telah ada di waiting list akun goodreads saya selama beberapa tahun: Born A Crime dari Trevor Noah. Saat buku sudah di tangan saya tertawa, ini kan autobiografi, yang berarti saya bisa mencentang prompt nomor 14 itu? Saya sudah lama menggemari penulis, saya sering menonton penampilannya di panggung stand up comedy. Bagi saya ia adalah comic (atau komika dalam Bahasa Indonesia)1 yang menghibur. Lalu bagaimana dengan tulisannya?
Buku ini ditujukan penulis untuk Ibunya, Patricia Nombuyiselo Noah, seorang wanita suku Xhosa dari Afrika Selatan. Patricia berkulit hitam, Kristen yang taat, keras kepala, dan pekerja keras. Ia tidak menikah dengan Robert, pria kulit putih berdarah Swiss/Jerman, ayah penulis. Patricia adalah ibu tunggal yang membesarkan penulis dengan nilai-nilai Kristen yang kuat. Menurut saya komedi yang ia tawarkan di atas panggung maupun dalam buku ini sama lucu dan getirnya.
Saya teringat cuitan Sakdiyah Ma'ruf (Diyah), seorang stand-up comic Indonesia selepas membaca buku ini. 26 Januari 2020, Diyah mengenai apa itu stand-up comedy berdasarkan riset master dan conference papernya.2 Diyah mencuit tiga nilai yang ia pegang sebagai comic yakni pengetahuan relasi kuasa dan pengetahuan yang baik tentang topik, empati, dan niat baik.
Saya coba membedah kelucuan buku ini berdasarkan tiga nilai tersebut di atas:
1. Pengetahuan relasi kuasa dan pengetahuan yang baik tentang topik.
Tambahan dari utas Diyah pada tanggal yang sama: "Ini bukan persoalan apa yang boleh atau tidak boleh dibecandain, tapi SIAPA YANG BERCANDA TENTANG APA?"
Trevor Noah bercanda soal apartheid karena ia mengalaminya sendiri. Ia bercerita bagaimana keuntungan dan kerugian sebagai anak ras campuran, yang warna kulitnya terlalu putih untuk kulit hitam dan terlalu hitam untuk kulit putih. Sejak ia lahir, ibunya berbohong pada dokter bahwa ayah anaknya berasal dari Swaziland, sebuah kerajaan terpencil di bagian utara Afrika Selatan. Ibunya bahkan memakai seragam pembantu agar dikira sedang bekerja menemani anak majikannya bermain di taman bermain (hal 28).
Penulis cilik juga kerap bebas dari hukuman karena tidak sepenuhnya kulit hitam. Ia tidak diberi hukuman fisik oleh neneknya karena khawatir pukulannya akan meninggalkan luka lebam, luka yang tidak terlihat saat memukul cucu lain yang lebih gelap (hal 52). Juga bagaimana ia tidak ditangkap saat mencuri bersama kawannya, Teddy. Rekaman video menunjukkan pencuri adalah anak yang berkulit putih, sedangkan penulis tidak berkulit putih.
2. Empati
Trevor Noah yang lahir tahun 1984 sering bertanya soal identitasnya sejak kecil. Ia bertanya pada neneknya mengapa ia tidak boleh bermain dengan sepupunya saat usia lima atau enam tahun. Pada saat itu mata-mata polisi banyak menyisir daerah untuk menangkap anak-anak berkulit selain hitam. Saat ia kelas sebelas, ia menyadari bahwa penentuan kelas murid digolongkan berdasarkan warna kulitnya. Walaupun penulis terbiasa berbicara Bahasa Inggris dan juga banyak bahasa lokal Afrika, ia menolak masuk ke kelas A yang mayoritas berisi murid kulit putih. Ia memilih masuk kelas B yang isinya murid kulit hitam karena penulis merasa ia tumbuh di keluarga berkulit hitam.
Penulis banyak bercerita soal sistem dalam politik Apartheid. Perbudakan dipelihara agar orang kulit hitam tetap dapat dikontrol. Sekolah didirikan dengan kurikulum terbatas, orang kulit hitam diajarkan bagaimana menghitung kentang, bagaimana membangun jalan, memotong kayu, dan membajak sawah; namun tidak diajarkan sains, sejarah, maupun ilmu kewarganergaraan (hal 60). Penguasaan banyak bahasa terbukti menguntungkan, penulis berinteraksi dengan sesama tahanan saat ia berada di penjara. Tahanan tersebut hanya memahami Bahasa Tsonga, tidak bisa menjawab pertanyaan apapun dalam Bahasa Inggris, dan diberi hukuman berat.
3. Niat baik
Untuk poin ini, saya tidak bisa membuktikannya. Tetapi, sepanjang saya baca ulasan buku ini di goodreads, saya belum menemukan ulasan yang menyatakan pengalaman penulis terkait politik apartheid tidak benar. Yang pasti, masih mengutip cuitan Diyah yang terakhir dalam utasnya, penulis berhasil untuk membuktikan ia lucu karena ia tidak mengolok korban yang dirugikan karena politik apartheid:
"You can never be memorably funny before you offend the powerful and the complacent."
Saya belum pernah membaca autobiografi yang lucu. Biasanya autobiografi yang saya baca adalah buku serius, dan menggaungkan penulisnya sebagai sosok from zero to hero. Tapi Born A Crime berbeda, penulis menekankan pada nilai yang diajarkan ibunya (juga keluarga besar ibunya) yang membentuknya hingga hari ini. Apakah buku ini juga from zero to hero? Bisa ya, bisa tidak. Ya jika yang perspektif yang dipakai adalah status ekonomi. Buku dibuka mengenalkan sosok Trevor cilik yang hidup di kota kecil dan ditutup dengan momen Trevor yang menanggung seluruh biaya pengobatan ibunya di rumah sakit saat telah berpenghasilan. Tidak jika perspektif yang dipakai adalah kesuksesan penulis menjadi orang dengan titel mentereng yang patut diteladani pembacanya.
Pelawak yang membawakan lawakannya sendirian, biasanya di depan pemirsa langsung. (Hasil Pencarian - KBBI Daring (kemdikbud.go.id))