Konteks: Saya muslimah, dengan keilmuan dalam bidang teologi Islam yang dangkal. Saya masih belajar beragama dengan lebih baik, belajar memahami ayat-ayat Tuhan yang sifatnya qauliyyah (tercatat dalam teks) maupun kauniyyah (tidak tercatat). Tulisan ini saya buat berdasarkan pemahaman saya yang terbatas, sekaligus kemauan saya mengetahui ada kemungkinan tafsir baru yang non biner.
Secara umum, queer merujuk pada segala perihal yang nyentrik, eksentrik, dan mempertanyakan apa yang dianggap normal. Sementara itu, dari ruang akademisi, queer didefinisikan sebagai keterbukaan terhadap pelbagai kemungkinan (possibilities), celah (gaps), kebertautan (overlaps), ketidaksinkronan (dissonances), juga kesinkronan (resonances) yang membuat identitas—terutama gender dan seksualitas seseorang—tidak dapat lagi dipahami secara simplisitis (Sedwick 1993:7).1 Sedangkan dalam teologi queer, segala cara pandang keagamaan yang menempatkan heteronormativitas sebagai ‘satu-satunya yang suci dan ilahi’ justru mengingkari prinsip tauhid yang mengabarkan bahwa satu-satunya pusat kesucian adalah Allah, sedangkan manusia tak punya hak untuk mengatakan dan mengimani bahwa dirinya lebih ‘akbar’ dibanding manusia lainnya (hal viii).
Amar Alfikar mendeskripsikan dirinya sebagai queer activist dalam laman podcast miliknya. Ini pertama kalinya saya membaca tulisan Amar Alfikar, selepas membaca buku ini saya lanjut menonton Podcast Love Buzz Season 42 juga Podcast Ngaji Diri3 milik penulis agar lebih paham konteks. Saya tertarik membeli buku ini setelah membaca Nalar Kritis Muslimah dari Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. Bagi saya, justru Queer Menafsir yang banyak mengajarkan cara 'mempertanyakan' tafsir tunggal dari ayat Al Qur'an dibanding Nalar Kritis Muslimah. Setelah mempertanyakan, penulis juga membeberkan melalui tuntunan siapa saja ia membaca tafsir yang berbeda, sesuai dengan pengalaman pribadinya bergelut dengan identitasnya.
Penulis mendeksripsikan bagaimana privilese yang ia miliki membuatnya berani melela (coming out) pada keluarga dan menjalani transisi sosial sebagai transpria. Penulis dibesarkan di lingkungan, keluarga, dan tradisi khas pesantren. Pada awal ia melela, kakaknya yang kesulitan menerimanya sowan ke seorang habib asal Kudus untuk minta mendoakan agar penulis disembuhkan dan kembali ke kodrat. Tanpa diduga, habib tersebut justru menasihati kakak penulis tentang takdir Allah yang beragam bentuknya. Mengingkari ciptaan Tuhan yang tidak umum, sama saja mengingkari takdir-Nya di jagad raya (hal 112). Tidak semua queer memiliki privilese seperti penulis: orang tua dan keluarga berlatar belakang Islam yang taat yang juga memahami takdir dan irisannya dalam identitas gender. Privilese ini yang lantas membuat penulis banyak bersuara di publik dan merangkul sesama queer yang dianggap liyan dan terpinggirkan.
Saya terharu membaca subbab Luka adalah Tempat di mana Cahaya Menjemput Kita. Bagi penulis, menjadi queer adalah ujian dalam konteks melawan berbagai bentuk penindasan, diskriminasi, dan persekusi yang kerap menimpa tubuh-tubuh queer yang tidak berdosa (hal 61). Saya jadi punya gambaran betapa membingungkannya bagi queer untuk memahami apa yang terjadi dalam ketubuhannya, juga harus berhadapan dengan kebingungan orang lain atas mereka. Belum lagi saat harus berhadapan dengan stigma-stigma, hujatan dan pemaksaan tak berkesudahan yang datang dari berbagai arah, dari mulai keluarga, hukum akses pendidikan, akses kesehatan, akses fasilitas publik, negara, dan agama (hal 62).
Judul subbab ini memang seakan ditujukan untuk queer agar menjadikan "luka" yang berupa pengalaman pahit sebagai jalan cahaya Tuhan dalam menemaninya. Tetapi sebenarnya subbab ini banyak membahas bagaimana seharusnya masyarakat luas memahami pentingnya penghargaan dan penghormatan atas keragaman identitas manusia. Penulis mengutip Buya Hamka dalam memaknai takwa yang diambil dari rumpun kata wiqayah, yang berarti memelihara (hal 65). Ketakwaan bukan saja dihayati dalam ibadah-ibadah vertikal semisal salat, puasa dan sebagainya, tetapi juga mesti diwujudkan dalam ibadah-ibadah horizontal manusia dalam memberi dan menyebarkan rahmat, welas asih, tepa selira, serta berbagai wujud kemanusiaan di mana setiap orang dituntut untuk bersedia berbagi ruang secara adil dan setara dengan seksama (hal 66).
Ada beberapa komunitas yang disebut penulis dalam buku ini, seperti GAYa Nusantara dan Pesantren Waria Al-Fatah. Daftar pustaka dalam buku ini juga menarik bagi saya, akan saya gunakan sebagai referensi jika nantinya ingin tahu lebih banyak tentang sejarah queer yang mungkin saja ternyata bukan budaya Barat. Salah satu kisah diambil dari kitab al-Qusyairi yang ditulis pada tahun 1046 Masehi, tentang jenazah seorang transpuan.
Saya menyukai buku ini karena penulis memberi banyak informasi baru tentang queer dalam teologi Islam. Selama ini saya menerima bahwa secara sosial manusia memang tidak terbatas hanya pada gender sebagai perempuan dan laki-laki saja. Buku ini memantik pertanyaan "seberapa liar batas dalam pembacaan tafsir Al Quran?" juga "apakah cara membaca tafsir yang dilakukan penulis sudah dilakukan dengan tepat?"
Jika demikian, apakah artinya saya bisa menerima tafsir ayat-ayat yang dilakukan penulis? Sampai tulisan ini dibuat, belum. Saya memutuskan untuk memisahkan penerimaan secara sosial dan teologis. Saya tidak yakin apakah dengan latar belakang pendidikan formal penulis membuat ia punya kapabilitas dalam menafsir kitab suci. Saya punya kekhawatiran penafsiran ini dilakukan secara cherry picking4, sebab tidak semua nukilan ayat yang ditasirkan penulis ia konfirmasi kembali pada ustaz, ustazah, maupun cendekia Muslim yang ia nukil dalam buku. Rasa khawatir ini akan saya gunakan sebagai motor untuk belajar lebih dalam lagi tentang ilmu agama Islam, dari para cendekia yang ilmunya lebih mumpuni.
Sedang secara sosial, bagi saya buku ini adalah pengingat yang baik agar saya tidak mengingkari prinsip tauhid dalam beragama. Pusat kesucian adalah Allah, sedangkan manusia tidak punya hak untuk merasa lebih dibanding makhluk-Nya yang lain, utamanya kaum marjinal. Seperti kutipan penulis: Bagaimana mungkin fitrah tanah membuat kita jumawa mewakili 'langit' yang tinggi, hingga membuat kita merasa paling suci, memandang rendah kepada bumi, kepada sesama kita sendiri? (hal 106).
4 Cherry-pick Definition & Meaning - Merriam-Webster
dkk, Hendri Yulius Wijaya. (2021) Queer etc. DIY: EA Books